Ei, Saengrekerei-lah yang menamai anjing itu Sistem, sebagaimana teteu Taksilitoni menamai anjingnya yang telah lama mati sebagai Pemerintah.
(Burung Kayu, hal.76)
Inilah sepenggal kisah kehidupan di Mentawai yang diceritakan begitu indah oleh Niduparas Erlang. Cerita tentang damainya hutan dan lekuk-lekuk sungai di Mentawai membuat napas pembaca merasakan kesegaran alam yang jauh dari hiruk pikuk kota besar.
Novel bernapaskan kearifan lokal seperti “Burung Kayu” ini, seakan membawa ingatan saya pada novel “Baiat Cinta di Tanah Baduy” karya Uten Sutendy, “Jamangilak Tak Pernah Menangis” karya Martin Aleida dan novel-novel sejenis karya penulis Indonesia lainnya. Karya sastra seperti ini sejenak membuat para pembaca menoleh kembali akan kearifan lingkungan dan permasalahannya yang terjadi di bumi Indonesia. Juga, karya sastra seperti ini sejenak memberikan para pembaca pertanyaan yang begitu menusuk, sudah tepatkah modernitas ini?
Dialog Antara Adat Istiadat, Alam, dan Modernitas
Sekilas napas Antroposentrisme di dalam novel “Burung Kayu” ini telihat mencolok, seperti mengibaratkan “sagu-sagu yang tumbuh” sebagai Ibu, sebagai pemberi makanan dan penerus kehidupan. Juga mengibaratkan “lembah dan air sungai” sebagai Ayah, sebagai pemberi kekuatan dan perlindungan. Melalui metafor seperti ini memang sekilas mengibaratkan alam seperti manusia, manusia sebagai simbol kekuatan dan pusat semesta, tetapi jika dilihat arti ibu dan ayah di dalam novel Burung Kayu, rasanya Niduparas Erlang sudah melampaui pandangan yang melulu menganggap manusia adalah pusat semesta. Melalui ritual para tokoh, Niduparas memperlihatkan bahwa dunia para roh (dunia di luar manusia) yang merupakan bagian dari penghuni alam semesta, dapat dengan mudah dimasuki dan berdialog dengan manusia melalui para Sakerei. Oleh karena itu, spirit Niduparas sudah mencerminkan semangat penyatuan manusia dengan alam. Di dalam cerita, para penghuni Uma juga memberikan persembahan bagi roh-roh leluhur berupa makanan dan kuping kiri babi, juga persembahan bagi Ulaumanua yang dianggap seperti Tuhan terpenting dalam kehidupan adat mereka. Sungguh ini adalah suatu pandangan ekosentrisme, di mana manusia menganggap dirinya hanyalah bagian kecil dari semesta.
Semangat para penghuni Uma dalam pemeliharaan dan penghormatan kepada lingkungan juga terlihat dalam perburuan dan cara menangkap hewan “Ikan dan udang dianggap cukup untuk makan sekeluarga” (hal.44), dengan tidak melakukan penangkapan hewan besar-besaran. Serta tidak diperbolehkannya “Menyebut langsung ‘ingin pergi buru’” (Hal. 79) yang merupakan pesan penghormatan kepada alam, bahwa bukan manusia yang menguasai alam, bukan manusia yang memburu binatang, membunuh binatang, menguliti binatang. Manusia membunuh binatang dan makhluk lain sekadar untuk meneruskan rantai alam, meneruskan kehidupan.
Konflik muncul di saat kearifan lokal yang hidup dan dihidupi turun temurun di antara penghuni Uma harus berhadapan dengan kehidupan modern serta agama-agama luar yang masuk ke Uma . Jalan apakah yang harus dipilih? Tokoh Saengrekerei yang lahir dan besar dari rahim Uma, harus mengalami perang batin: meninggalkan adat istiadat yang dianggap sebagai kebodohan dan “cuma hantu-hantu” (Hal. 143), ataukah menerima modernitas yang dianggap sebagai kehebatan. Dalam pergolakan batin itu, tokoh Saengrekerei memutuskan mengirim satu-satunya anak lelakinya yang bernama Legeumanai untuk bersekolah ke Tanah Minang. Dia memimpikan sosok Legeumanai yang berpendidikan kelak dapat menjadi marwah baru bagi Umanya, mengalahkan wibawa Uma lain dengan menjadikan Legeumanai dapat duduk bekerja di bangku pemerintahan. “Anak kami Legeumanai sudah bekerja di kantor pemerintah. Apakah anak-anak kalian cuma pisau yang patah? “(Hal. 120).
Dialog Perempuan: Sebagai Korban ataukah Bentuk Kepatuhan?
Di dalam novel “Burung Kayu”, perempuan diceritakan sebagai sosok yang pasif karena “Segala keputusan tetap mesti diputuskankan oleh para lelaki”, “Sementara para perempuan, hanya boleh mengikuti segala keputusan keluarga suami” (Hal.97). Terlebih lagi, jika para perempuan di dalam suatu Uma menjadi janda, maka hak ekonomi, hak anak keturunan, hak pernikahannya kemudian, hingga hak namanya sendiri menjadi hilang.
Banyak istilah bahwa karya sastra bukanlah alat pemecah masalah, tetapi karya sastra merupakan pintu menuju penghamparan keadaan. Karya sastra memberikan informasi, menggambarkan keadaan, serta melukiskan permasalahan yang begitu kompleks, seperti dalam novel Burung Kayu ini. Perempuan dalam novel ini digambarkan sebagai tokoh pasif dalam kehidupan, seperti dilahirkan, tetapi tidak ada hak untuk memilih, apalagi merdeka.
Permasalahan perempuan memang selalu kompleks untuk dikuliti. Walaupun kedudukan perempuan dalam tradisi di tanah air lebih tinggi jika dibandingkan posisi perempuan dalam kebudayaan barat, tetap saja perempuan seperti yang dikatakan Simone de Beauvoir sebagai “second sex”. Di dalam novel ini perempuan masih digambarkan menjadi gender kedua dalam definisinya di masyarakat dan budaya, politik, ekonomi, cara pandang, etika dan lain sebagainya.
Dialog Kebijakan: Sudah Tepatkah?
Dialog-dialog yang muncul di dalam novel “Burung Kayu”, membuat saya banyak menangkap keremangan pikiran dan kegelisahan jiwa penulis melalui dialog para penghuni Uma. Bagaimana kebijakan yang hadir di dalam kehidupan mereka, yang sudah diwarisi turun temurun, hidup dan dihidupi hingga ke dalam sumsum tulang dan aliran darah, harus berpeluh-peluh mereka hilangkan atas nama kebijakan pembangunan.
Sebut saja tidak boleh menebang pohon, padahal kebutuhan mereka akan pohon hanya sebatas kebutuhan rumah tangga, bukan untuk diperjualbelikan. Sehingga mereka bertanya-tanya, "Memang siapa yang menumbuhkan pohon-pohon dihutan?" (Hal.89). Belum lagi paksaan untuk mengawinkan anak-anak gadis mereka dengan para pemuda dari Minang. Juga pergeseran tempat tinggal mereka dari hulu ke hilir, tidak diperbolehkan memakai kabit, memanjangkan rambut, merajah tubuh dengan ti’ti, memilih agama baru yang sudah ditetapkan pemerintah, serta membuat pola kebijakan yang membuat mereka ketergantungan pangan, sehingga hilanglah kebiasaan berburu dan lain sebagainya. Hadiah jika mereka melawan? “Dijemur dan dipaksa mencabuti rumput di lapangan depan Pos Jaga di Muara” (Hal.22) serta kekerasan dan tekanan lainnya yang dapat mereka bawa pulang.
Penggambaran seperti ini sebenarnya dapat menjadi cermin bagi para pembaca dan para pembuat kebijakan. Walaupun novel “Burung Kayu” ini hanyalah sebuah cerita fiksi, tetapi karya sastra seperti ini juga bisa jadi merupakan cermin dari kehidupan masyarakat. Apakah kebijakan sudah berpihak pada kearifan lokal, atau keuntungan lain semata? Ataukah kebijakan justru menyelamatkan tradisi-tradisi lama yang berbahaya bagi manusia? Apakah campur tangan kebijakan, menjadi penyeimbang antara hidup tradisional dan modern? Saya rasa, di sinilah kekuatan Niduparas Erlang, yang juga seorang peneliti Tradisi Lisan, menghamparkan sebuah realita dan kegamangan dengan sangat ciamik dan berimbang dalam novel “Burung Kayu”.
Cahaya itu Masih Ada
Konflik yang hadir dalam novel “Burung Kayu” begitu kompleks, yaitu konflik antara manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam, serta manusia dengan lingkup yang lebih luar, yaitu konflik dengan negara. Tetapi penulis juga menyisipkan harapan dan optimisme dalam mengurai benang kusut konflik modernitas dan kearifan lokal.
Bagaimana Niduparas melukiskan, di balik suara-suara laki-laki yang merupakan suara Tuhan bagi perempuan penghuni Uma, masih ada laki-laki seperti Saengrekerei yang merupakan suami Bai Legeumanai yang terus berkompromi, serta mendengarkan suara hati perempuan di sampingnya itu. Juga bagaimana Niduparas menjadikan kearifan lokal dapat berjalan beriringan dengan modernitas, bagaimana penyakit serius yang dulu disembuhkan dengan cara berkomunikasi dengan roh, dapat digantikan dengan kepercayaan penghuni Uma untuk berobat ke Puskesmas, tentu saja tanpa mencederai kepercayaan penghuni Uma.
Lalu, sekali lagi seolah Niduparas hendak mengirimkan pesan bahwa “Betapa hidup sudah begitu sentosa”(Hal. 167). Ia seolah mengharapkan, sebenarnya kehidupan penghuni Uma sudah cukup damai tanpa harus memaksakan cara-cara dan perpindahan agama-agama sesuai dengan peraturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Akhirnya, cerita ditutup dengan perkataan Saengrekerei yang mengatakan bahwa kehidupan “Mesti menerima apa-apa yang menguntungkan bagi hidup dan kehidupan. Jiwa-jiwa kita mesti dibahagiakan. Dengan punen. Dengan lia. Dengan Tuhan. Dengan kemajuan zaman. Dengan apa saja yang menyebabkan kita tidak merugi." (Hal.168), serta kembalinya Legeumanai yang awalnya meninggalkan kehidupan Uma yang dianggap terbelakang, menjalani kehidupan di kota yang membuatnya berbusung dada, karena menurutnya hanya di Uma-nya lah kelahiran dirayakan dengan penghormatan pesta potongan daging babi besar, dan para turis menikmati kehidupan dan adat budaya Uma mereka. Walaupun, “Burung Kayu” sebagai simbol harga diri tidak lagi diletakkan di “Pohon katuka yang menjadi simbol "kemenangan" pako' yang paling tinggi” (Hal.13). “Burung Kayu” sekarang hanyalah burung kayu yang diikatkan pada batang-batang bambu, sebagai dekorasi panggung, sudah membuat Legeumanai dan penghuni Uma lainnya bangga, bahwa keberadaannya di semesta dapat membuat manusia lain berbahagia.
Selamat Kang Niduparas Erlang atas karyanya "Burung Kayu" menjadi pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2020, karena menjadi pemenang sesungguhnya untuk masa kini adalah pemenang yang telah jujur memberikan nafas penanya kepada penyatuan alam dan manusia. Dan "Burung Kayu" telah melakukan fungsinya dengan sempurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H