Mohon tunggu...
Woro Januarti
Woro Januarti Mohon Tunggu... Administrasi - Woro Januarti

Wuhan University

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

DIALOK EKOLOGIS SI "BURUNG KAYU"《木鸟》的生态话语

15 Januari 2021   22:51 Diperbarui: 16 Januari 2021   21:59 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak istilah bahwa karya sastra bukanlah alat pemecah masalah, tetapi karya sastra merupakan pintu menuju penghamparan keadaan. Karya sastra memberikan informasi, menggambarkan keadaan, serta melukiskan permasalahan yang begitu kompleks, seperti dalam novel Burung Kayu ini. Perempuan dalam novel ini digambarkan sebagai tokoh pasif dalam kehidupan, seperti dilahirkan, tetapi tidak ada hak untuk memilih, apalagi merdeka.

Permasalahan perempuan memang selalu kompleks untuk dikuliti. Walaupun kedudukan perempuan dalam tradisi di tanah air lebih tinggi jika dibandingkan posisi perempuan dalam kebudayaan barat, tetap saja perempuan seperti yang dikatakan Simone de Beauvoir sebagai “second sex”. Di dalam novel ini perempuan masih digambarkan menjadi gender kedua dalam definisinya di masyarakat dan budaya, politik, ekonomi, cara pandang, etika dan lain sebagainya.

Dialog Kebijakan: Sudah Tepatkah?

Dialog-dialog yang muncul di dalam novel “Burung Kayu”, membuat saya banyak menangkap keremangan pikiran dan kegelisahan jiwa penulis melalui dialog para penghuni Uma. Bagaimana kebijakan yang hadir di dalam kehidupan mereka, yang sudah diwarisi turun temurun, hidup dan dihidupi hingga ke dalam sumsum tulang dan aliran darah, harus berpeluh-peluh mereka hilangkan atas nama kebijakan pembangunan.

Sebut saja tidak boleh menebang pohon, padahal kebutuhan mereka akan pohon hanya sebatas kebutuhan rumah tangga, bukan untuk diperjualbelikan. Sehingga mereka bertanya-tanya, "Memang siapa yang menumbuhkan pohon-pohon dihutan?" (Hal.89). Belum lagi paksaan untuk mengawinkan anak-anak gadis mereka dengan para pemuda dari Minang. Juga pergeseran tempat tinggal mereka dari hulu ke hilir, tidak diperbolehkan memakai kabit, memanjangkan rambut, merajah tubuh dengan ti’ti, memilih agama baru yang sudah ditetapkan pemerintah, serta membuat pola kebijakan yang membuat mereka ketergantungan pangan, sehingga hilanglah kebiasaan berburu dan lain sebagainya. Hadiah jika mereka melawan? “Dijemur dan dipaksa mencabuti rumput di lapangan depan Pos Jaga di Muara” (Hal.22) serta kekerasan dan tekanan lainnya yang dapat mereka bawa pulang.

Penggambaran seperti ini sebenarnya dapat menjadi cermin bagi para pembaca dan para pembuat kebijakan. Walaupun novel “Burung Kayu” ini hanyalah sebuah cerita fiksi, tetapi karya sastra seperti ini juga bisa jadi merupakan cermin dari kehidupan masyarakat. Apakah kebijakan sudah berpihak pada kearifan lokal, atau keuntungan lain semata? Ataukah kebijakan justru menyelamatkan tradisi-tradisi lama yang berbahaya bagi manusia? Apakah campur tangan kebijakan, menjadi penyeimbang antara hidup tradisional dan modern? Saya rasa, di sinilah kekuatan Niduparas Erlang, yang juga seorang peneliti Tradisi Lisan, menghamparkan sebuah realita dan kegamangan dengan sangat ciamik dan berimbang dalam novel “Burung Kayu”. 

Cahaya itu Masih Ada 

Konflik yang hadir dalam novel “Burung Kayu” begitu kompleks, yaitu konflik antara manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam, serta manusia dengan lingkup yang lebih luar, yaitu konflik dengan negara. Tetapi penulis juga menyisipkan harapan dan optimisme dalam mengurai benang kusut konflik modernitas dan kearifan lokal.

Bagaimana Niduparas melukiskan, di balik suara-suara laki-laki yang merupakan suara Tuhan bagi perempuan penghuni Uma, masih ada laki-laki seperti Saengrekerei yang merupakan suami Bai Legeumanai yang terus berkompromi, serta mendengarkan suara hati perempuan di sampingnya itu. Juga bagaimana Niduparas menjadikan kearifan lokal dapat berjalan beriringan dengan modernitas, bagaimana penyakit serius yang dulu disembuhkan dengan cara berkomunikasi dengan roh, dapat digantikan dengan kepercayaan penghuni Uma untuk berobat ke Puskesmas, tentu saja tanpa mencederai kepercayaan penghuni Uma.

Lalu, sekali lagi seolah Niduparas hendak mengirimkan pesan bahwa “Betapa hidup sudah begitu sentosa”(Hal. 167). Ia seolah mengharapkan, sebenarnya kehidupan penghuni Uma sudah cukup damai tanpa harus memaksakan cara-cara dan perpindahan agama-agama sesuai dengan peraturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.

Akhirnya, cerita ditutup dengan perkataan Saengrekerei yang mengatakan bahwa kehidupan “Mesti menerima apa-apa yang menguntungkan bagi hidup dan kehidupan. Jiwa-jiwa kita mesti dibahagiakan. Dengan punen. Dengan lia. Dengan Tuhan. Dengan kemajuan zaman. Dengan apa saja yang menyebabkan kita tidak merugi." (Hal.168), serta kembalinya Legeumanai yang awalnya meninggalkan kehidupan Uma yang dianggap terbelakang, menjalani kehidupan di kota yang membuatnya berbusung dada, karena menurutnya hanya di Uma-nya lah kelahiran dirayakan dengan penghormatan pesta potongan daging babi besar, dan para turis menikmati kehidupan dan adat budaya Uma mereka. Walaupun, “Burung Kayu” sebagai simbol harga diri tidak lagi diletakkan di “Pohon katuka yang menjadi simbol "kemenangan" pako' yang paling tinggi” (Hal.13). “Burung Kayu” sekarang hanyalah burung kayu yang diikatkan pada batang-batang bambu, sebagai dekorasi panggung, sudah membuat Legeumanai dan penghuni Uma lainnya bangga, bahwa keberadaannya di semesta dapat membuat manusia lain berbahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun