Malam ini saya penasaran dengan siapa itu Ancika, sosok yang sedang viral karena serial film Dilan.
Kemudian membaca novelnya yang saya pinjam dari salah seorang teman. Semalaman saya membacanya dengan seksama, meski tak begitu menikmati seperti ketika membaca novel Re karangan Maman Suherman.
Alasan saya membacanya adalah, pertama karena saya sudah menonton 3 serial Dilan di Netflix. Dan sebelumnya rumor adanya kelanjutan film tersebut sudah mencuat.
Kemudian alasan kedua saya membaca novel Ancika ini adalah karena trending di berbagai media sosial, terutama TikTok. Hal itulah yang kemudian membuat semakin penasaran.
Pidi Baiq seolah mampu menghipnotis setiap pembacanya tentang cinta dan Bandung yang kekal. Apalagi visualnya di film Dilan, tepat seperti kebanyakan orang memandang bagaimana kota kembang.
Di novel Ancika ini, saya merasa tidak terbawa emosi dalam ceritanya. Bagaimana bisa? saya malah condong kepada beberapa point di luar konteks cerita, seperti bagaimana Dilan pergi ke Kuba di masa akhir Orde Baru.
Kita tahu sendiri bagaimana Kuba terbentuk dan sikap bangsa ini di era orde baru terhadap Fidel Castro.
Saya hanya penasaran bagaimana Dilan bisa mendapatkan izin pergi ke Kuba ketika politik dalam negeri sedang memanas. Selain itu, sikap Soeharto yang melarang pemahaman sosialis, komunis, dan leninisme.
Di film dan di novel ini, saya kagum dengan sosok Dilan yang mampu membuat segala sesuatu nampak sederhana dan menyenangkan. Itu merupakan kritik terhadap diri sendiri tentang bagaimana harus berperilaku.
Menurut saya, sosok Dilan seperti halnya air yang bisa berada di berbagai tempat. Ia bisa membaur dengan mudah dan menjadikan suasana menyenangkan.
Selain itu, ada satu hal yang menurutku aneh. Dalam novel tersebut diceritakan bahwa Dilan akan melamar Ancika pada hari Sabtu malam.
Diceritakan, Dilan hanya datang dengan Abah, kakek Ancika untuk menanyakan apakah ia diterima niat baiknya. Pada cerita tersebut cukup membingungkan, entah itu kisah nyata atau tidak, perbuatan Dilan itu dalam budaya Jawa seperti penghinaan.
Bagaimana mungkin, Dilan datang dengan kakeknya Ancika hanya menanyakan apakah ia diterima ingin melamar. Sedangkan keluarga si perempuan sudah menyiapkan kedatangan dengan baik.
Meski berakhir dengan bahagia, novel Ancika ini sepertinya antiklimaks. Di akhir cerita seperti hambar dan tidak ada sesuatu yang pecah.
Di sisi lain, saya malah membayangkan bagaimana situasi saat itu. Dalam arti, saya tidak berimajinasi terkait isi cerita dalam novel, akan tetapi melakukan kritik terhadap situasi sosial.
Terlebih dengan layar akhir orde baru ketika cerita itu terjadi. Ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan besar. Namun, sepertinya harus membaca beberapa kali untuk bisa memahaminya.
Pada intinya, saya tidak 100 persen berada dalam imajinasi di cerita Ancika tersebut. Melainkan berimajinasi terkait bagaimana kondisi orde baru dan Bandung yang dijelaskan begitu dingin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H