Mohon tunggu...
Amin Maulani
Amin Maulani Mohon Tunggu... Stor Manager -

newbie aminmaula.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ajaran Nenek Moyang

30 Juli 2017   06:38 Diperbarui: 30 Juli 2017   09:23 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Nah, Ardi. Kebetulan kau datang tahun ini. Sudah waktunya kau menggantikan Mbah Dardi, menjadi Imam tahlil. Yassalaam."

Aku hanya manggut-manggut mendengarkan usulan dan keluh kesah para tetangga. Duduk di kursi merapatkan kedua  tangan, takzim mendengarkan mereka yang jika kurasa-rasa malah seperti sedang menghakimi. "Jangan dengarkan mereka. Kayak tidak tahu saja kelakuan para tetanggamu." Kata Emak menghiburku saat para tetangga membubarkan diri. Seolah tahu keresahan yang sedang kupendam.

"Tapi alangkah baiknya jika kau tak kaku seperti itu. Bersosial yang baik  kan juga bagian dari ibadah. Begitu yang Emak pahami dari kajian Bopo Guru. Sudah, jika Industri Kreatif mu tak direspon penduduk, malah berharap kau jadi Kiai dusun, mungkin itulah jalanmu. Lalu, pergilah ke rumah Wak Rudi yang setiap hari mencarimu. Terima tawaranya menggantikan Imam dan guru mengaji. "

"Apa lagi itu, Mak. Mengapa jika mondok harus pulang menjadi Kiai? Menjadi Imam tahlil? Menjadi ..."

"Ya itu juga bagian dari ibadah kan, Le?" Kata Emak memotong pembicaraanku.

(***)

Hampir sebulan sudah aku  bermukim, pulang kampung,  berbaur dengan penduduk kampung yang seolah selalu awas padaku. Menatap telak setiap kali aku melintas, seolah mengaduk-aduk wajahku yang semakin kusut menanggapi mereka. Seperti dua mata koin yang saling berlawanan, di satu sisi orang-orang kampungku terlalu fanatik dengan ritual keagamaan, namun disisi lain tak sedikit pula teman-temanku yang kerjaannya hanya mabuk oplosan. Begitu kesimpulanku pada  orang-orang  kampung.

Pak Rw datang. Kebetulan rumahnya berhadap-hadapan tepat dengan rumahku. Jika rumahku menghadap ke utara, maka rumah Pak Rw adalah sebaliknya. Pak Rw Tohir masih muda, maka sering aku memanggilnya,  Kang Tohir.

Kang Tohir tersenyum ramah padaku, sebelum duduk mendampingiku melamun di siang hari. Waktunya santai sesaat habis beraktifitas rumahan. "Program yang kau bawa dari pondokmu sangat bagus, Ar. Mungkin saja orang-orang masih belum terbiasa dengan alumni pondokan seperti kamu yang pulang malah sibuk bekerja. Oh, mengembangkan produk UMKM tepatnya." Kata Kang Tohir sambil mengelus-elus pundakku. Masih kucium semerbak aroma getah karet yang masih menempel di tangannya.

"O. Ya! Mereka yang enggak mau belajar di pesantren,  menganggap alumni pondok rata-rata malas bekerja, bisanya cuma baca yasin waktu tahlilan, pulangnya bawa berkat." Kang Tohir terkekeh. Pundaknya terguncang dan menciptakan suara tawa tertahan.

"Aih, Kang. Ya memang bisa dibenarkan begitu. Makanya pengenku frame semacam ini dimatikan dari otaknya orang-orang." Jawabku datar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun