Semua orang yang melihat ke bersamaan mereka berdua yang begitu harmonis, terharu. Maringan sangat mencintai istrinya, bahkan rela mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan istrinya ketika gempa terjadi.
"Sama-sama, bang. Terima kasih sudah menyelamatkan aku tadi."
"Itu sudah menjadi kewajibanku menjadi seorang suami menjaga istrinya."
"Apakah kalian sudah memiliki nama untuk putri kalian?" tanya lelaki tua itu. Menganggu moment romantis sepasang suami istri itu.
Orang-orang yang berada di tempat itu pun ikut penasaran akan nama untuk putri Mariangan dan Tiur. Maringan menatap istrinya, Â meminta siapa nama yang akan di berikan. Lalu, istrinya geleng kepala, mengerti arti tatapan Maringan padanya. Sebab, Tiur belum mempersiapkan nama untuk anaknya. Melihat gelengan kepala Tiur padanya, Maringan pun jadi bingung. Sebab, dia juga tidak mempersiapkan nama untuk putrinya.
"Aku belum tahu." Jawab Maringan sedih menatap ke bayi mungilnya.
"Jika kau tidak keberatan. Izinkanlah, aku memberikan nama untuk bayi perempuan kalian." Kata lelaki tua itu penuh harap.
Tiur dan Maringan saling tatap satu sama lain. Apakah mereka akan setuju memberi izin kepada lelaki tua itu, memberi nama untuk anak pertama mereka.
"Aku terserah kaulah, bang." Kata Tiur. Sebab, dia tidak punya hak mengizinkan itu.
Maringan diam menatap bayinya. Lalu, menatap lelaki tua yang membantu menenangkan dirinya ketika cemas. Jika saja, dirinya tidak mendengar setiap perkataan lelaki tua itu. Mungkin, dirinya tidak akan bisa melihat istri dan anaknya sekarang. Mungkin juga, dirinya masih sibuk mencari kain di rumahnya yang cukup jauh dari tanah lapangan ini. Mungkin juga, akan terjadi sesuatu dengan dirinya. Oleh karna itu, Maringan memutuskan akan memberi izin kepada lelaki tua itu, memberi nama kepada putrinya.
"Tentu saja boleh, Pak." Lelaki tua itu senang mendengar itu.