Mohon tunggu...
Lola silaban
Lola silaban Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Baru lulus kuliah dari Universitas Negeri Medan Lulusan Sarjana Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Si Mata Coklat, Namanya Mikael

29 Mei 2019   10:57 Diperbarui: 30 Mei 2019   20:33 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mata itu, tidak bisa hilang dari pikiranku. Mata itu terus terbayang, merasuk jiwaku, hatiku. Mata coklat itu, terus menatap. Tatapan menusuk ke jantungku. Tak ada suara di antara aku dan dia. Hanya diam, berdiri di antara meja sebagai penghalang di antara kami berdua.

Mata itu, berpaling dariku. Ketika sebuah suara muncul memecah keheningan di antara kami berdua. Dia pergi tanpa mengucapkan satu kata. Aku menatapnya, hingga hilang dari radar penglihatanku.

Aku tersenyum. Apa yang telah terjadi pada diriku. Kenapa magnet tatapan matanya begitu memikat. Aku ingin melihatnya, lagi, lagi, dan lagi.

Akankah ada keajaiban bertemu dengannya? Semoga saja. Lalu, keajaiban itu pun terjadi. Aku bertemu dengan dia lagi. Di tempat berbeda, di sebuah kelas yang di huni para makhluk pintar di Negara sekolahku. Dia duduk di kursi paling belakang. Dia sedang membaca buku dengan raut wajah yang amat serius. Lebih serius dari aku yang menatap ke arahnya dan berjalan mendekatinya.

Dia fokus sekali membaca bukunya. Tidak sadar ada aku di depannya yang sedang menatapnya sambil tersenyum manis. Aku duduk, dia tidak terganggu sekali pun. Seolah aku adalah makhluk kasat mata. Aku mendekat, menunduk, menatap mata coklat yang aku rindukan. Tatapan itu, masih sama dengan hari kemarin. Hanya saja, dia sedang tidak menatapku. Tapi, tidak apa-apa bagiku. Asalkan, dia tidak memintaku pergi saat ini dan menjauhinya.

            "Puas menatapku."

            "Eh"

            Aku terkejut. Dia menyadari aku ada di depannya. Dia bicara tetap fokus pada bukunya. Tak menoleh sedikit pun padaku. Apakah bukunya lebih menarik dariku. Bisakah aku jadi buku untuknya. Di pegang setiap saat. Di lihat setiap saat. Pasti menyenangkan...

            "Tersenyum tanpa sebab disebut gila."

            Sakit mendengar itu keluar dari bibir mungil yang mengoda untuk ukuran cowok tampan seperti dia. Tapi, perkataan itu. Justru membuat dia menatapku. Aku senang di tatap lagi olehnya.

            "Maaf menganggumu. Aku datang menghampirimu karna tidak menyangka kita akan bertemu lagi."

            "Tentu kita akan bertemu. Kita satu sekolah."

            Singkat, padat dan jelas. Jawaban yang sempurna dari kalimat omong kosongku. Tapi, aku tidak boleh mundur sebelum tahu namanya.   

            "Ya.. kita pasti bertemu. Tapi, kita belum berkenalan. Namaku, Angel."

            Dia tidak langsung menjabat uluran tanganku. Dia hanya melirik sekilas, menutup buku yang di baca tadi dan meletakkan di sisi kanannya.

            "Jika aku memberitahu namaku. Apa yang akan kamu lakukan?"

            Aku menatapnya bingung. Kenapa dia harus bertanya seperti itu. Tentu saja, aku ingin lebih dekat dengannya dan menjadi kekasihnya.       

            "Jika aku jawab jujur. Apa kamu setuju dengan jawabanku?"

            Tanyaku balik. Dia berpikir sejenak dan kemudian dia mengangguk setuju. Aku tersenyum akan itu.

            "Aku ingin menjadi kekasihmu."

            Dia syok tanpa mengedipkan matanya sekalipun. Seolah aku adalah hantu cantik di depannya.

            "Aku tahu ini terdengar aneh. Tapi, tidak masalah jika seorang cewek mengatakan perasaannya kepada cowok."

            "Dalam waktu cepat?"

            Aku mengangguk "iya". Bagiku, kisah cinta di SMA tidak perlu waktu yang lama. Langsung katakan bila kamu suka padanya.

            "Bagaimana aku menolak?"

            Terima atau di tolak adalah hal yang bertolak belakang. Di terima aku senang. Di tolak aku harus ikhlas. Tapi, aku lega mengatakan ini. Tidak ada rasa penyesalan suatu saat nanti.

            "Senang berjumpa denganmu."

            Aku bangkit berdiri. Hanya kalimat itu yang dapat aku ucapkan. Setidaknya, aku sudah berkata jujur padanya.

            "Hei.."

            Aku berhenti melangkah di ambang pintu kelasnya. Kemudian, menoleh padanya.

            "Namaku, Mikael."

            Kedua sudut bibirku membentuk ukiran senyum senang. Begitu juga dengan dia, si mata coklat yang aku jumpain pertama kali di kantin. Namanya, Mikael.

TAMAT.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun