Mohon tunggu...
Lola silaban
Lola silaban Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Baru lulus kuliah dari Universitas Negeri Medan Lulusan Sarjana Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku dan Sang Pembuat Kotak Persegi Panjang

28 Mei 2019   14:40 Diperbarui: 30 Mei 2019   20:36 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hidup yang aku jalani adalah sebuah abstrak. Aku tak bisa menentukan apa yang ingin aku lakukan. Berbagai harapan dan keinginan terlintas di dalam otakku. Namun, yang aku lakukan tidak menguntungkan. Aku hanya berdiam diri di sebuah kotak persegi panjang. Mengharapkan ada pintu membuka kotak itu. 

Namun, itu adalah hal yang tak mungkin. Jika aku tak melakukan tindakan apapun. Aku justru menyusahkan orang yang bersedia menyiapkan aku sebuah kotak persegi panjang yang nyaman dan indah. Tapi, kenapa aku tidak bisa membalas perbuatan orang tersebut. Dia sudah bersusah payah membuatkan aku kotak tersebut.

Manusia macam apa aku ini. Aku di anugrahi sebuah gelar hormat. Tapi, aku tak tahu menggunakan gelar hormat tersebut. Aku malah bersikap bodoh dengan kemampuan yang harusnya di puji.

Tapi, apa mungkin. Aku melakukan itu di hadapan mereka semua. Mereka tak sama denganku. Setiap aku buka suara. Mereka mencemooh aku.

"Sudahlah. Gelar kau itu tak berguna. Lihat kami tanpa gelar punya uang banyak. Sedangkan kau, punya gelar tak punya uang. Buang saja gelar hormatmu itu kepada sampah yang berdiam diri di pinggir jalan. Di situ seharusnya gelar itu berada."

Cemoohan... Cemoohan sudah menjadi makananku setiap hari. Mereka berkata sama persis dengan gelar yang tak mereka memiliki. Tapi, cemohan itu juga menjadi tamparan keras untuk pipiku. Menyadarkan aku tentang dunia sebenarnya.

Aku punya gelar hormat. Aku berjuang mendapat gelar itu selama empat tahun dengan titik darah penghabisan. Gelar itu, aku kejar hanya untuk satu tujuan. Pendorong hidupku.

Salahkah aku punya ambisi? Ambisi orang yang hidup dengan prinsipnya sendiri. Ambisi dengan keinginannya hidupnya sendiri. Ambisi menjadi jati dirinya sendiri. Walau ambisiku di tertawakan semua orang.

"Ambisi.. cuihh... tak sudi aku mendengarnya. Ambisi macam apa itu. Hanya punya satu  tujuan yang tak jelas dan juga tak menghasilkan uang banyak. Bung... hidup ini keras. Ini Jakarta bukan Medan tempat kelahiranmu. Kau tak pantas punya ambisi macam tuh... di sini. Di daerah ini. Mending kau pulang dengan gelar hormatmu dan ambisi tak jelas itu."

Tidak ada satupun yang percaya akan ambisiku. Ambisiku bukanlah hal yang harus aku banggakan. Ambisiku hanya sebuah harapan yang tak nyata di kota ini.

Banyak mereka memintaku.

"Jangan terlalu optimis dengan ambisimu itu. Mending kau ubah ambisimu itu."

Mengubah ambisi seperti apa yang mereka bilang padaku. Bukanlah hal yang mudah untukku. Itu sangat sulit. Aku bukanlah orang yang gila akan materi. Meski manusia hidup di dunia ini membutuhkan materi. Tapi, aku tak menomor satukan materi itu dalam hidupku.

Meski, akibatnya aku selalu di cemoh orang tak berguna dengan gelar hormatnya.

Sangat sakit. Sakit sekali mendengar itu setiap hari. Tapi, aku ini manusia biasa. Bukan Tuhan. Kenapa kalian memintaku mengubah tujuan hidupku. Aku nyaman dengan apa yang aku jalani.

Maafkan aku tuan pembuat kota persegi panjang. Aku masih harus mempersulitmu untuk beberapa tahun ke depan. Aku bukan tak mau membantumu. Aku mau dengan caraku sendiri. Aku tak mau dengan cara orang lain yang menurutku sudah basi.

Jika kau marah padaku. Marahlah. Aku pantas mendapatkan itu. Aku telah mengewakanmu. Membuatmu lelah berkerja menciptakan kotak persegi panjang yang nyaman dan indah ini.

Aku memang manusia jahat yang ada dipikiranmu. Aku tak bisa mengubah harapanmu. Aku membuatmu menderita.

Maaf... seribu maaf...

Tapi, aku berjanji kelak pada diriku sendiri. Jika aku sudah berhasil akan ambisiku dengan gelar hormat yang aku dapatkan ini. Aku sendiri yang akan membuatkanmu kotak persegi panjang yang terbuat dari emas. Kau akan berhenti mengoceh padaku. Kau akan tersenyum padaku.

Tapi, aku mohon sebelum itu terjadi. Percayalah padaku walau kepercayaanmu itu hanya sebesar biji sewasi. Maaf.. aku mengambil kiasan dari kitab suci. Ku harap kau tak masalah akan itu.

Ini adalah harapan dan keinginanku kepadamu. Tuan pembuat kotak persegi panjang. Sebab, aku tak nyaman berada di kotak itu terus-menerus. Jika kau marah padaku. Menganggap aku malas tak melakukan apapun dengan hormat gelarku.

Kau salah jika berpikir seperti itu. Aku tak malas. Aku berjuang sampai darah penghabisanku.

Aku tak peduli akan cacian makian mereka padaku. Asalkan kau pembuat kotak persegi panjang. Janganlah hilang harapanmu kepadaku. Aku ini tetap manusia biasa yang tak punya apa-apa. Aku datang kepadamu hanya membawa harapan, keinginan dan ambisiku.

Inilah hidupku. Hidup penuh penderitaan. Polemik yang aku hadapin ini. Bisa membuat aku gila. Tapi, aku tak akan gila seperti orang gila di jalanan sana. Aku hanya akan gila bila ambisiku mengubah aku menjadi orang baru. Melupakan kau sang pembuat kotak persegi panjang.

Bila suatu saat nanti. Aku berhasil dengan ambisiku itu. Tapi, aku harap kau pembuat kotak persegi panjang. Datanglah kepadaku, tagih apa yang pernah aku katakan kepadamu. Dengan begitu, aku tak akan berubah jadi gila. Aku juga akan punya alasan pada mereka.

"Lihat.. aku si gelar hormat yang kalian cemoh dan hina. Aku datang membuktikan tentang ambisiku yang menjadi nyata. Hidup memang keras bung.. Tapi, aku tak mau menyerah hanya karna peluru menembus kulitku. Aku ini binatang jalang dari kumpulan yang terbuang. Ku mau tak seorang pun menyentuhku. Tak juga kau."

Sepintas bait puisi Chairil Anwar, aku masukan dalam kataku. Menunjukkan aku seorang pejuang bukan seorang pengecut yang takut akan ambisinya sendiri. Hidup abstrak yang aku jalani ini. Akan aku ubah menjadi nyata. Mulai detik ini. Kau tunggu saja, pembuat kotak persegi panjang.

TAMAT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun