Kesimpulannya, AFTA memang akan memberikan berbagai pilihan produk bagi konsumen dan membuka jalur pendapatan baru bagi distributor, tapi produsen harus didorong untuk terus berinovasi, mau belajar dari produk asing, dan jangan mudah menyerah agar tak tergilas dalam persaingan.
Produksi, distribusi, dan konsumsi adalah konteks ekonomi mikro. Dalam konteks makro, saya pribadi ingin menyarankan agar kita meninggalkan ukuran pendapatan nasional yang masih memakai standar GDP (Gross Domestic Product) dan mulai mengimplementasikan (Gross National Product). GDP hanya menghitung pendapatan yang dihasilkan di dalam negara itu dalam satu periode, tanpa menelusuri siapa pemilik modalnya, dari mana asal tenaga kerjanya, ataupun perusahaan milik siapa. Di dalam pasar bebas yang memudahkan mobilitas faktor produksi, maka akan terjadi tumpang tindih perhitungan pendapatan. Ke depan kita mungkin akan tertipu dengan nilai ekspor perkebunan sawit misalnya karena terjadi lonjakan produksi yang tajam. Namun jika ditelusuri, ternyata pengelolanya adalah perusahaan asal Malaysia, otomatis pendapatan riilnya lebih banyak lari ke Malaysia. Barangkali resor-resor di lokasi pariwisata semakin menjamur, tetapi jika ditilik pemiliknya ternyata bukan milik orang Indonesia. Eksplorasi pertambangan bertambah kencang, tetapi investornya orang asing, tenaga kerjanya pun lebih banyak mengundang karyawan asing yang lebih kompetitif. Lalu bagaimana jadinya wajah asli pendapatan nasional kita?
Poin penting dalam penghitungan pendapatan nasional adalah nilai tambah (value added). Entah impor atau ekspor, maka yang penting adalah nilai tambahnya. Oleh karena itu, masyarakat di dorong untuk meningkatkan nilai tambah suatu produk. Meskipun suatu barang diperoleh secara impor, asalkan diolah sedemikian rupa sehingga menjadi produk baru akan meningkatkan nilai tambah produk itu sendiri. Misalkan kita mengimpor komponen elektronik dari Vietnam, asalkan barang tersebut dirakit di Indonesia, maka akan timbul nilai tambah. Tapi jika barang yang diimpor sudah built in, tidak akan banyak nilai tambah yang ditimbulkan.
Demikian pula dengan produk ekspor. Sebenarnya kita sangat kaya dengan faktor produksi, terutama faktor produksi alam dan tenaga kerja. Bahkan negara kita mendapat embargo ekonomi pun kita masih bisa eksis karena pada dasarnya barang-barang yang ada di dunia ini merupakan produk turunan pertanian dan pertambangan. Kita bisa mendapatkan bahan bakunya dengan mudah di Indonesia. Jadi sangat disayangkan kalau produk yang kita ekspor adalah bahan baku mentah, minyak mentah, kayu gelondongan, TKI-TKW yang kurang terdidik karena nilai tambahnya kecil.
Kesimpulannya, dengan adanya kemudahan masuknya faktor produksi dari negara ASEAN lain, akan terjadi hentakan dalam aktivitas ekonomi, tapi kita harus berhati-hati dalam penghitungan porsi pendapatannya dan berupaya untuk meningkatkan nilai tambahnya.
Jadi, kata kunci dalam persaingan bebas seperti AFTA ini adalah adanya variasi pilihan, inovasi tiada henti, dan nilai tambah. Agar produk barang dan jasa kita eksis baik di pasar domestik dan negara ASEAN lainnya, maka harus ada upaya untuk terus berinovasi dan meningkatkan nilai tambah. Dengan begitu, aktivitas ekonomi baik mikro maupun makro akan terus sehat dan AFTA benar-benar sangat menguntungkan, tanpa ada 'tapi' lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H