ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang akan dimulai per Januari 2015 nanti akan membuat gebrakan besar bagi aktivitas ekonomi negara-negara anggota ASEAN. AFTA akan mengarahkan pasar regional di ASEAN menuju pada perwujudan pasar tunggal. Dengan begitu, produk-produk yang dihasilkan oleh anggota ASEAN relatif lebih bebas keluar masuk antar sesama negara anggota, seakan-akan pasar domestik sendiri. Demikian pula masalah arus investasi. Investor akan memeroleh kemudahan dalam menanamkan modalnya. Selain itu, mobilitas tenaga kerja lebih mudah dan cepat.
Dalam kondisi ini, ke depannya dapat dibayangkan kita akan gampang mendapati beras dari Vietnam tanpa prosedur impor yang berbelit-belit. Investor perkebunan dari Malaysia akan semakin bertebaran di Indonesia. Kita mungkin juga akan mendapati Nanyang Technological University of Singapore membuka cabang di Jakarta. Barangkali juga kita menemui perawat-perawat dari Myanmar bekerja di rumah sakit Indonesia. Sangat mungkin juga, warga negara Thailand menjadi pemilik resor di Labuan Bajo, tanpa harus berkongsi dengan WNI. Sebaliknya, produk barang dan jasa yang diproduksi oleh Indonesia juga akan leluasa menembus pasar anggota ASEAN.
Keberadaan AFTA jelas sangat menguntungkan, tapi harus dilihat terlebih dahulu siapa yang terlibat dan siapa yang menikmati perputaran aktivitas ekonominya.
Secara sederhana, aktivitas ekonomi dapat dibagi menjadi tiga mata rantai, yakni produksi, distribusi, dan konsumsi. Hal ini akhirnya memunculkan tiga pelaku seperti produsen di skala produksi, disebut distributor jika bermain di ranah distribusi, dan menjadi konsumen apabila hanya melakukan konsumsi. Di antara ketiga pelaku ekonomi tersebut, yang paling diuntungkan dari keberadaan AFTA adalah konsumen karena semakin beragamnya pilihan produk. Sebelumnya konsumen lebih banyak dihidangkan produk lokal, namun setelah implementasi AFTA, mereka memiliki pilihan yang lebih luas. Di samping itu, produsen akan semakin bersaing untuk memenangkan hati konsumen. Vendor suatu produk akan terus berinovasi dan memberikan harga yang kompetitif agar dapat terus bertahan.
Misalnya ketika produk China mulai menjamur di Indonesia setelah berlakunya perjanjian ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) pada awal 2010 silam, terjadi gelombang perubahan selera yang besar, terutama produk gadget dan hortikultura. Vendor gadget yang sudah memiliki brand besar di Indonesia pun akhirnya berupaya 'menyesuaikan diri' dengan produk asal China yang memang menyasar pada segmen konsumen kelas menengah ke bawah. Demikian pula produk hortikultura, terutama buah-buahan. Konsumen buah akhirnya semakin akrab dengan pear xiang lie, pear ya lie, apel fuji, jeruk sweet ponkam, dan sejenisnya. Pedagang sendiri mengakui, buah-buahan asal China tersebut lebih banyak dicari konsumen karena keunggulan penampilan, rasa, serta harganya murah. Nantinya, ketika AFTA sudah berjalan, konsumen Indonesia pun akan semakin familiar dengan produk pertanian dari Thailand yang sudah terkenal keunggulan varietasnya.
Lalu, bagaimana dengan distributor?
Distribusi juga akan menjamur dengan sendirinya asalkan permintaan konsumen terus mengalir. Apalagi dengan semakin mudahnya keberadaan toko online sehingga barang-barang luar negeri nan lucu menggemaskan lebih gampang diperoleh dibandingkan kerajinan lokal. Buah-buahan impor pun, asalkan permintaan konsumen tinggi, distributor akan dengan senang hati memasok buah-buahan tersebut meskipun mengandung bahan kimia berbahaya. Dengan kata lain, pelaku yang bergerak di jalur distribusi baik importir, pedagang besar, agen, dan pedagang eceran justru semakin diuntungkan karena dapat menjual produk yang relatif lebih tinggi permintaannya. Jika produk lokal sedang booming, maka produk asli Indonesia menjamur di pasar. Sebaliknya jika produk asing yang naik daun, maka distributor tak perlu bingung karena proses penjualannya pun lebih mudah.
Produsen bagaimana?
Sebenarnya keberadaan AFTA sangat diharapkan untuk menimbulkan iklim kompetisi yang produktif. Adanya persaingan akan memunculkan inovasi kreatif atau yang dikenal sebagai creative destruction, di mana hanya sesuatu yang terus berinovasi saja yang dapat bertahan dan menggeser sesuatu yang sudah mapan. Paradigma ini menekankan pentingnya suatu kerusakan pada 'tatanan lama' agar timbul pemikiran untuk membuat sesuatu yang baru. Hal inilah yang mendasari adanya inovasi. Produsen di Indonesia tentu akan sangat diuntungkan pula apabila dengan masuknya produk dari negara ASEAN membuat mata mereka terbuka dengan kelemahan produknya yang berujung pada timbulnya keinginan untuk membuat produk yang lebih baik. Â akan kontraproduktif apabila dengan masuknya produk impor, produsen menjadi kalang kabut dan memilih menghentikan usahanya.
Contoh terbaru misalnya aksi pemogokan pedagang tempe dan tahu pada Agustus-September 2013 lalu. Jika kita telusuri, penyebabnya memang ketersediaan bahan baku kedelai lokal yang setiap tahun kurang mencukupi, sehingga ditutup dengan impor kedelai yang harganya cukup murah dan ukurannya lebih besar. Selama bertahun-tahun kita melakukan itu sehingga terbiasa dengan pasokan kedelai impor. Baru ketika terjadi lonjakan harga kedelai impor tersebut, semua langsung ribut karena adanya ketergantungan yang tinggi. Produsen tahu tempe mogok berproduksi, sementara pemerintah baru 'terpikirkan' untuk mendorong kembali pertanian kedelai domestik.
Seharusnya kita berkaca pada Malaysia dan Thailand. Pada dekade 80-an sistem pendidikan mereka jauh lebih buruk dibandingkan Indonesia sehingga mereka harus 'mengimpor' tenaga pendidik dari Indonesia. Namun, Malaysia tidak terlena dengan keberadaan guru impor. Mereka terus membina sistem pendidikannya, belajar dari metode pembelajaran guru Indonesia. Dan hasilnya sekarang? Justru pelajar-pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Negeri Jiran itu.
Demikian pula dengan Thailand yang sangat termahsyur dengan budidaya dan rekayasa tanaman. Konon, buah-buahan induknya berasal dari Indonesia yang dikembangkan sedemikian rupa, sehingga muncullah berbagai varietas baru seperti saat ini, seperti durian monthong, jambu bangkok, dan beberapa buah lainnya. Sekarang ini, untuk jenis buah mangga saja lahir varietas mangga namdokmai, chokanan, mahachanok, mundenkau, dan nama-nama berbau Thai lainnya.
Kembali ke produksi dalam negeri, kita sering terlena dengan produk dan jasa asing sehingga lupa untuk mengambil pelajaran dari produk asing yang baik itu. Kerapkali yang terjadi di Indonesia adalah kurang adanya kebijakan dan insentif dari pemerintah yang mendorong pelaku domestik agar terus berinovasi. Produsen lain yang menggunakan produk mereka sebagai bahan baku malah balik badan dan memilih produk impor yang sedang murah serta stoknya melimpah. Distributor pun semakin gencar mengenalkan produk impor di gerai-gerainya. Konsumen pun dengan polosnya sumringah melihat produk impor yang murah dan menarik. Dalam kondisi ini, bukankah produsen lokal seakan-akan dikhianati 'keluarganya' sendiri? Tidaklah mengherankan apabila produsen tersebut memilih menyerah karena lapangan produk itu sudah tidak menjanjikan lagi.