Mohon tunggu...
Loganue Saputra Jr.
Loganue Saputra Jr. Mohon Tunggu... Farmasis -

Hobi baca, nonton, video game, dan sering kali sedikit narsis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Memupuk Dendam, Memendam Luka (1.1)

13 Mei 2016   09:11 Diperbarui: 13 Mei 2016   15:04 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun rekor kemenangan Samson itu harus usai, sebab ia harus raib entah kemana. Saban senja Pak Jaki menunggu Samson kembali, namun hingga hari ini Samson tidak pernah terlihat lagi. Mungkin sudah mati dan busuk disuatu tempat, atau diperut seseorang yang menangkapnya lalu menyembelihnya untuk dijadikan ayam panggang.

Pak Jaki selalu menaruh curiga dengan Mustafa, sebab tiap sabung ayam, Mustafa selalu bilang kalau kehadiran Samson membuat sabung ayam jadi tidak seru lagi. Kecuali Samson disembelih buat acara selamatan, atau mati terserang penyakit.

Tapi Pak Jaki tidak bisa menuduh tanpa bukti, dan bungki itu memang tidak pernah ada.

~~~

Bujang yang baru memasuki tahun pertamanya di SMA, harus berjalan kurang lebih 2 kilometer dari rumahnya menuju sekolah, demikian juga saat pulang. Dan hari itu ia terpaksa mengambil jalan pintas di tengah sawah orang, melewati hutan berhantu yang selalu dihindarinya. Sebab hari itu ia baru saja mengantarkan pacar barunya yang ada di kampung sebelah.

Terlambat pulang hanya akan membuat bapaknya marah dan berlaku kasar padanya, sebab biasanya bapaknya akan menyuruh bermacam hal. Salah satunya adalah menemani bapaknya sabung ayam hingga sore hari. Tapi Bujang tahu hari itu ia tidak akan pergi ke sabung ayam sebab Samson sudah tak ada lagi.

Ibu Bujang, Nuraini dan adek perempuannya, Laila—baru kelas 5 SD—biasanya ada dipasar hingga sore. Menjaga toko sembako yang mereka rintis bersama adek Ibunya, Miliarni. Usaha itu dibuka dari uang warisan kakeknya yang tidak seberapa.

Sambil berjalan cukup cepat di dalam hutan, Bujang menyalakan rokok yang tadi dibelinya beberapa batang. Mengisapnya cepat dan mencoba menikmatinya. Ketika sudah dekat dengan batas hutan dan lapangan bola tempat Pak Jahro berternak sapi, rokok tadi dimatikannya lalu sisanya yang separuh dimasukkan lagi ke dalam tas.

Ia mampir sebentar ke sumur yang ada di dekat kandang seberang lapangan bola, untuk berkumur agar aroma asap rokok dimulutnya tidak terendus oleh Bapaknya.

Kaget Bujang saat berpaling untuk melanjutkan langkah. Mustafa muncul macam orang gaib. “Hey, jangkrik bau. Minum di sini bayar!” Suaranya kasar dan mengancam.

“Bayar apanya, Bang?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun