Vonis hakim yang menyatakan Ahok terbukti sebagai ‘penista agama’ sangat tidak logis karena pada kenyataannya, tidak ada ‘penistaan agama’. Berikut alasannya.
Setiap prilaku, termasuk ucapan spontan, adalah cermin dari cara berpikir yang ada di alam bawah sadar. Pada khususnya, prilaku ‘penistaan agama’ oleh Ahok berupa ucapan “dibohongi surat Al Maidah 51” (mungkin) adalah cermin dari cara berpikir Ahok yang menganggap bahwa isi surat tersebut tidak benar atau bohong.
Apakah hanya Ahok sendiri atau cuma segelintir orang yang berpola pikir sama dengan Ahok? Silakan lakukan survey terhadap semua umat seiman/se-agama secara acak dengan memberi pernyataan “Kitab suci agama lain atau umat yang tidak seiman/se-agama isinya BANYAK yang tidak benar alias bohong”. Ingat, Ahok hanya menyinggung satu ayat Al Qur’an, bukan BANYAK ayat atau seluruh isi Al Qur’an.
Jika responden diberi dua pilihan 1. SETUJU, 2. TIDAK SETUJU, saya yakin lebih dari 50%, malah mungkin sekitar 90% akan memiilih jawaban 1. SETUJU. Mengapa saya yakin? Sebab selama lebih 60 tahun hidup di dunia ini, saya sudah mendengar sendiri dari banyak orang dan dari berbagai latar belakang agama ucapan2 yang berasal dari pola pikir tidak percaya ajaran agama lain yang tentu saja berimplikasi tidak percaya isi kitab suci dari agama2 yang tidak dianutnya.
Jika keyakinan saya ini bernar, berarti lebih dari 50% responden sudah berpola pikir sebagai “penista agama”. Sebenarnya tidak perlu sampai 50%, cukup 20% saja sudah membuktikan bahwa 20% ( = puluhan juta orang) dari seluruh penduduk dewasa Indonesia sudah berpola pikir sebagai ‘penista agama’, walaupun mereka tidak mengucapkannya di depan publik.
Apa kesamaan dan perbedaan status antara kelompok orang2 yang tidak mengucapkan dengan kelompok orang2 yang mengucapkan ketidak-percayaan kitab suci agama lain di depan publik berdasarkan UU yang menjerat Ahok?
Kesamaannya, kedua kelompok adalah sama2 ‘penista agama’. Perbedaannya, kelompok pertama TIDAK BISA DIBUKTIKAN secara hukum sebagai ‘penista agama’ sedangkan kelompok kedua BISA DIBUKTIKAN secara hukum sebagai ‘penista agama’. Jadi selain Ahok yang berada di kelompok kedua, ada puluhan atau mungkin ratusan juta penduduk di kelompok pertama sebagai ‘penista agama’ tetapi TIDAK/BELUM TERBUKTI sebagai ‘penista agama’.
KESIMPULAN 1. Jika hakim sudah benar menafsirkan UU di atas bahwa orang yg terbukti tidak percaya isi kitab suci suatu agama (kelompok kedua) adalah ‘penista agama’, maka ada puluhan juta (sekitar 20% penduduk) atau mungkin sekitar 150 juta (50 -i 90%) juta penduduk Indonesia yang JUGA ‘penista agama’ tetapi TIDAK TERBUKTI sebagai ‘penista agama’ karena tidak pernah ada bukti ucapan atau prilaku dari mereka. Kesimpulan ini kurang lebih sama dengan pernyataan: banyak (puluhan juta) atau mayoritas penduduk di Indonesia adalah penjahat yang belum bisa dibuktikan sebagai penjahat.
KESIMPULAN 2: Karena konsekuensi tafsiran hakim bisa berakibat adanya puluhan sampai ratusan juta penduduk Indonesia sebagai ‘peinista agama’ (tetapi belum terbukti sebagai ‘penista agama’), maka tafsiran hakin tersebut absurd dai tafsiran tersebut tidak valid. Tafsiran yang valid adalah, prilaku atau pola pikir tidak percaya ajaran kitab suci agama lain adalah prilaku yang umum dimiliki oleh kebanyakan manusia beragama, BUKAN prilaku penistaan agama.
KESIMPULAN 3: Perwujudan prilaku atau pola pikir tidak percaya ajaran lain secara fisik, khususnya dalam bentuk ucapan; adalah prilaku tidak etis, bukan priaku penistaan agama maka Ahok seharusnya hanya dianggap berprilaku tidak etis jika benar ia mengekpresikan ketidak-percayaannya pada satu ayat (BUKAN SELURUH ISI) Al Qur’an. Jadi bukan vonis hakim, tetapi tuntutan jaksalah yang sudah tepat. Tidak mungkin pola pikir umum yang dimiliki oleh puluhan sampai ratusan juta penduduk ini dinilai sebagai pola pikir jahat ( = pola pikir ‘penista agama’).
CATATAN:
Wajar jika berbagai UU penistaan agama di dunia dikecam oleh kelompok2 hak2 azasi manusia, kelompok2 free-speech dsb karena sesungguhnya yang dianggap prilaku atau pola pikir PENISTAAN AGAMA adalah prilaku atau pola pikir tidak percaya ajaran agama lain yang umum dimiliki oleh banyak manusia beragama.
Komisi Hak-Hak Azasi Manusia di PBB telah mengadopsi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1976 berisikan negara2 yang wajib menghapus atau tidak membuat aturan hukum penistaan agama. Penulis tidak tahu apakah Indonesia menandatangani konvensi ICCPR tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H