Perkembangan teknologi digital terkhusus internet termasuk media sosial berkembang sangat pesat. Peningkatan pengguna Instagram yang cukup signifikan menjadi indikator bahwa media sosial berkembang pesat.
 Fenomena tersebut berakibat muncul beragam masalah di media sosial seperti maraknya kasus-kasus berita palsu atau hoax. Media sosial menjadi ajang penyebaran hoaks yang paling banyak digunakan, penggunanya terhubung tanpa ada batas ruang dan waktu serta tidak ada batasan informasi yang memungkinkan berita-berita hoax berkeliaran dan susah dibendung (Febriansyah & Muksin, 2020).
 Perkembangan hoax yang sangat cepat pada media sosial ini menghantui masyarakat di seluruh dunia, termasuk masyarakat Indonesia. Informasi yang beragam membuat masyarakat bingung membedakan berita kredibel dan berita hoax yang mungkin sengaja dibuat untuk kepentingan emosional.
Kesulitan inilah yang menjadi tugas terberat bagi para jurnalis media sosial dalam memilah dan memilih informasi yang beragam. Kesulitan masyarakat dalam memilah dan memilih berita yang kredibel merupakan fenomena yang disebut 'Era Post Truth' yang dapat merusak demokrasi yang berjalan di berbagai negara, terkhusus Indonesia (Muqsith & Muzykant, 2019).
Salah satu contoh kasus hoax yang masih sering berkeliaran di Indonesia adalah ranah politik. Informasi palsu dalam dunia politik Indonesia dipercaya sebagai sebuah kebenaran yang terjadi ketika pemilu 2019.
Jurnalisme media sosial perlu menjunjung fakta dan independen, menajamkan perannya dalam memilah dan memilih informasi yang kredibel dan menangkal hoax yang berkeliaran di Indonesia. Belakangan ini produksi dan penyebaran hoax atau berita palsu semakin tidak terbendung dan media sosial menjadi sarana yang paling banyak digunakan untuk menyebarkan hoax.
Apa itu "Post Truth"?
"Post Truth" merupakan fenomena sosial yang mulai marak pada November 2016. Kamus Oxford memberi gelar kata "Post Truth" ini sebagai kata yang superior pada tahun 2016. Peningkatan pemberian sebutan "Post Truth" ini meningkat 2000 persen dari tahun sebelumnya yaitu tahun 2015.
Kamus Oxford mendefinisikan istilah "Post Truth" ini sebagai situasi ketika masyarakat sulit membedakan berita atau informasi yang kredibel dan berita palsu atau hoax dimana fakta tidak menjadi jaminan bahwa berita atau informasi yang beredar merupakan berita yang kredibel, hal tersebut dikarenakan kurang mampunya masyarakat dalam mencerna berita atau informasi yang benar.
Kebenaran sejati yang dimaksudkan dalam era post-truth tampaknya adalah kebenaran yang sesuai dengan emosi sosial (Ressa, Y. P. 2021, h.46). Pemahaman ini tidak menyudutkan kepada kesimpulan bahwa kebenaran itu tidak benar atau tidak relevan tetapi juga bisa mengajak masyarakat kepada pikiran bahwa informasi yang beredar penuh dengan kepalsuan.