Film dianggap sebagai salah satu bentuk media massa dipandang mampu memenuhi permintaan dan selera masyarakat akan hiburan dikala penat menghadapi aktivitas hidup sehari-hari.
Film dapat menggambarkan atau sebagai potret dari masyarakat yang kemudian diproyeksikan ke atas layar.
Film yang diproduksi memiliki pesan-pesan yang dikemas sedemikian rupa dengan tujuan yang berbeda-beda, ada yang menghibur dan memberi informasi, namun ada pula yang mencoba memasukkan keyakinan atau pokok ajaran tertentu yang secara perlahan mengajak pada penontonnya. Sehingga menjadi hal utama bagi isi film agar bisa diterima secara luas oleh khalayak dan juga diharapkan isi pesan dari sebuah film dapat memberikan dampak bagi masyarakat.
Film mendapat tempat tersendiri sebagai media hiburan, karena pesan-pesan yang terdapat didalam mampu menimbulkan imajinasi, ketegangan, ketakutan dan benturan emosional, seolah-olah khalayak penonton ikut merasakan dan menjadi bagian didalamnya.
Dalam produksi film tentu dipikirkan suatu paradigma yang akan disajikan oleh masyakarat, paradigm aini lah yang nantinya akan menjadi pandangan masyarakat kepada film yang dipertontonkan.
Selain paradigma, dalam produksi film juga memiliki pengkategorian genre dan subgenre, pengkategorian ini memungkinkan untuk mempermudah penonton untuk menemukan apa yang dia suka dan ingin mereka tonton.
Disini saya akan menganalisis sebuah film yang berjudul "Tjoet Nja' Dhien" yang diproduksi pada tahun 1988 dan film yang berjudul "Habibie dan Ainun 3" yang diproduksi pada tahun 2019.
Film "Tjoet Nja' Dhien" (1988)
Tjoet Nja' Dhien adalah film biografi sejarah Indonesia tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarot. Film ini menceritakan tentang perjuangan gigih seorang wanita asal Aceh (lihat Tjoet Nja' Dhien ) dan teman-teman seperjuangannya melawan tentara Kerajaan Belanda yang menduduki Aceh di kala masa penjajahan Belanda di zaman Hindia Belanda.
Perang antara rakyat Aceh dan tentara Kerajaan Belanda ini menjadi perang terpanjang dalam sejarah kolonial Hindia Belanda.
Film ini tidak hanya menceritakan dilema-dilema yang dialami Tjoet Nja' Dhien sebagai seorang pemimpin, namun juga yang dialami oleh pihak tentara Kerajaan Belanda kala itu, dan bagaimana Tjoet Nja' Dhien yang terlalu bersikeras pada pendiriannya untuk berperang, akhirnya dikhianati oleh salah satu orang kepercayaannya dan teman setianya, Pang Laot yang merasa iba pada kondisi kesehatan Tjoet Nja' Dhien yang menderita rabun dan encok, ditambah penderitaan berkepanjangan yang dialami para pejuang Aceh dan keluarga mereka.
Paradigma
Menurut Harmon (dalam Moelong, 2004: 49) paradigma merupakan cara pandang terhadap realitas yang berkaitan kegiatan secara khusus dan mempengaruhi dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku (Astuti, V. N. P., 2022: 17)
Dalam film "Tjoet Nja' Dhien" paradigma yang dipakai adalah paradigma transformatif. Paradigma transformatif ini mengangkat sebuah isu dari masalah-masalah sosial seperti kekuasaan, penindasan, ketidaksetaraan, penganiayaan dan perampasan hak. (Astuti, V. N. P., 2022:19)
Paradigma transformatif ini sesuai dengan film "Tjoet Nja' Dhien" karena dalam film ini mengangkat cerita perjuangan tokoh pahlawan Wanita Bernama Cut Nyak Dien yang berasal dari Aceh dalam melawan penjajahan tentara Belanda yang menduduki Aceh pada saat itu, serta mengangkat derajat Wanita.
Genre
Genre merupakan pengkategorian film menurut aliran film atau sebuah narasi cerita yang disajikan dalam sebuah film (Astuti, V. N. P., 2022: 23)
Genre dalam film "Tjoet Nja' Dhien" masuk dalam kategori film drama, karena mengkisahkan sejarah tokoh pahlawan Wanita dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Subgenre
SubGenre merupakan perkembangan dari sebuah tiga genre utama karena dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, sosial dan budaya. (Astuti, V. N. P,.2022: 29)
SubGenre dalam Film "Tjoet Nja' Dhien" ini adalah peperangan, sejarah dan biografi.
Film "Habibie dan Ainun" (2012)
Film Habibie dan Ainun merupakan film drama biopic Indonesia yang diproduksi pada tahun 2012 yang disutradarai oleh Faozan Rizal. Film ini diangkat dari "memoar berjudul sama"yang ditulis oleh presiden republik Indonesia yang ke-3 Bacharuddin Jusuf Habibie mengenai kisah hidupnya Bersama mendiang istrinya Hastri Ainun Habibie.
Paradigma
Paradigma yang dipakai dalam film "Habibie dan Ainun" ini adalah paradigma Fenomenologi. Paradigma fenomenologi ini mempelajari tentang perjalanan pengalaman manusia untuk melihat cara pandang, pemikiran, kemauan dan keyakinan. (Astuti, V. N. P., 2022: 22)
Paradigma ini cocok untuk film "Habibie dan Ainun" ini karena dalam film ini menceritakan sebuah kisah hidup presiden Indonesia ke-3 (Habibie) dan istrinya (Ainun) dalam menggapai kemauan dan keyakinan untuk berbakti kepada bangsa Indonesia yang terdapat banyak pengorbanan, rasa sakit, kesendirian dan godaan harta dan kekuasaan.
GenreÂ
Genre yang dipakai dalam film "Habibie dan Ainun" adalah Drama
SubGenreÂ
SubGenre film "Habibie dan Ainun" adalah Biografi.
Daftar Pustaka
Astuti, V. N. P. (2022). Buku ajar filmologi kajian film. Yogyakarta: UNY Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H