Mohon tunggu...
Linda SA
Linda SA Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Siapa Bilang Jadi Mahasiswa Psikologi Gampang?

21 November 2017   05:31 Diperbarui: 11 Desember 2018   08:40 2171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marching Band Tampil di konser pamit

"Kamu anak psikologi? Bisa baca pikiran saya dong"

Sudah ribuan kali pertanyaan itu terlontar dari setiap orang yang saya temui. Rasa-rasanya seperti paranormal saja ditanyai seperti itu. Orang yang akhirnya enggan mengekspresikan diri karena seolah "takut dibaca" oleh saya. Eits, padahal tidak semudah yang teman-teman bayangkan untuk sekedar menebak-nebak kepribadian, lho. Butuh pengalaman, pengetahuan dan kepekaan yang kuat untuk tahu kepribadian seseorang. Pada dasarnya kami butuh observasi dan pendekatan (cieeh) yang mendalam agar akurat mengetahui kepribadian kamu. Metodenya banyak, dan harus dilihat yang paling cocok untuk diterapkan ke masing-masing individu.

Ya, banyak stereotype dan ke-simpang siuran masyarakat memandang mahasiswa psikologi. Terlebih  jika mengetahui berasal dari mana universitas yang diemban. Berat? Jelas. Tapi, ini berkah sekaligus tantangan!

"Hidup ini tantangan", katanya.

Kali ini saya ingin bercerita mengenai beda. Saya, terlahir dari keluarga yang harmonis dan penuh cinta kasih. Menjadi putri ke tiga di keluarga saya, membuat saya memilih jalan yang berbeda dari kakak-kakak saya. Pilihan sekolah kami pun berbeda, karena saya menganggap, "GueBeda". Prinsip saya adalah setiap orang punya keunikan masing-masing. Individual differences. Kalau itu yang diusung, apa yang kamu lihat, orang yang duduk di samping, di depan, di belakang, bahkan kamu sendiri, membuat hidup ini berwarna; Indah. Tapi, ya, begitupun indahnya hidup terkadang tidak seindah mimpi. Kehidupan yang keras, dirasakan setiap orang, begitupun juga saya.

Saya yakin teman-teman juga memiliki banyak pengalaman menarik, atau bahkan pahit. Disini, saya ingin menyampaikan bahwa 

berbeda dengan orang lain tidak selalu buruk, karena Tuhan punya caranya sendiri untuk mendewasakan diri kita, hanya bagaimana kita melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda.

Saya, mendapatkan banyak keberuntungan selama saya sekolah. Bersekolah di sekolah favorit, mendapatkan nilai yang baik, dilengkapi fasilitas dari orang tua, serta semuanya yang serba cukup. Sampai tamat SMA, siapa yang menyangka saya mendapatkan amanah untuk dapat berkuliah di Yogyakarta, dengan banyak sudut romantis dan sejumput kenangan. 

Berkali-kali saya ke Yogya sebelum itu, tidak pernah bosan melihat keindahan kota ini. Memilih merantau menjadi agenda terbaik untuk di jalani selama perkuliahan. Banyak wejangan dan nasehat untuk selalu menjaga kesehatan, selalu berbuat baik, berani, dan sabar. Ujian memang selalu ditempatkan di waktu yang tepat, untuk menjadikan seseorang belajar.Begitu pun saya.

Saya sampaikan, bahwa berkali-kali saya mengalami kegagalan.  Tidak ada yang mudah di dunia ini, jadi mahasiswa psikologi pun abote pol(susahnya minta ampun). Sudah seleksi masuknya susah, pas masuk tugas yang menumpuk, presentasi, kunjungan lapangan, tidur pagi bangun pagi, kebiasaan sehari-hari kami. 

Dicurhati dan konsultasi teman-teman saya juga sering, karena memang saya sendiri tidak menutup diri untuk hal semacam ini, bahkan pernah sampai pagi mereka bercerita, rasanya bahagia bisa berbagi dengan teman-teman. Tetapi, saya menelan banyak pengalaman di masa perkuliahan ini, gagal dalam hal akademik, gagal mendapatkan beasiswa, gagal menjadi anggota suatu kepanitiaan, suatu organisasi. Begitu berbeda drastis dari apa yang saya harapkan dulu saat SMA. 

Saya akui, belajar keikhlasan adalah sesuatu yang paling sulit dilakukan, terlebih apabila itu adalah hal yang kita idamkan. Coba bisa teman-teman refleksikan ke kehidupan teman-teman, bagaimana perasaan teman-teman saat menerima hal-hal yang tidak sesuai perkiraan teman-teman? Sedih? Sakit? Atau pedih? Itu semua bisa dan sangat mungkin terjadi. 

Karena tidak mungkin kita dapat belajar keikhlasan tanpa pernah merasakan bagaimana sulitnya menerima pilihan atau keputusan yang sulit. Bagi saya, Tuhan masih adil, memberikan saya orang-orang yang setia menemani dan mendukung bagaimanapun keadaan saya. Saya diberikan kesempatan lebih dulu untuk merasakan betapa berartinya sebuah perjuangan, sebelum saya memasuki kehidupan luar yang sebenarnya; kehidupan bermasyarakat. Di dunia perkuliahan ini menuntut dan membiasakan kemandirian, kejujuran, dan keteguhan hati untuk saya. 

Belajar untuk menerima kelebihan dan kekurangan diri   adalah fokus utamanya.

Tetapi, perjuangan saya tidak berhenti sampai disana. Karena Tuhan punya caranya sendiri menyabarkan hati saya. Meneguhkan hati saya, menjadi sekuat baja, walaupun naluri sebagai seorang perempuan untuk peka melihat situasi yang ada, tetap terasah. 

Ya. Saya belajar dari banyak kegagalan yang saya alami. Sebenarnya Tuhan mengerti apa yang memang saya butuhkan. Dari sini, saya belajar untuk lebih menghargai orang lain, setiap orang memiliki spesialisasi masing-masing, jangan hanya mau menerima, tapi juga biasakan lah memberi. 

Mendapat sesuatu atau tidak, adalah tidak penting, karena yang terpenting adalah proses yang kita jalani menjadi pribadi yang siap terjun ke masyarakat, menjadi bahagia dengan cara kita masing-masing. Karena individu yang sehat mentalnya, tidak hanya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, tetapi harus dapat merasakan kebahagiaan (subjective well being).

Resiliensi, adalah kemampuan individu dalam mengatasi tekanan kehidupan yang dihadapi sehari-hari. Hal ini yang membuat saya survivedisini. Kalau kamu belum bisa menemukan makna kehidupan, maka temukanlah orang-orang yang bisa mengisi hari-hari mu menjadi lebih berwarna. Bahagia bisa kita ciptakan, kawan. Mengenali apa tujuan yang ingin dicapai, dan bagaimana proses yang telah ditempuh, menjadi kekuatan tersendiri untuk saya.

Selama di perkuliahan ini, saya memilih jalan yang berbeda dengan teman-teman kebanyakan, yaitu marching band, part timer, dan wirausaha kecil-kecilan. Ini yang membuat diri saya bangga menjadi diri saya sendiri. Karena rasanya bahagia bisa berkarya, bisa mandiri, dan menghasilkan uang sendiri walaupun hanya untuk tambah-tambah uang jajan, membuat saya selalu bersyukur, bahwa dibalik kegagalan yang saya alami.

 Tuhan punya caranya sendiri membuat saya berbeda #Guebeda, membuat kreatif dan aktif! Terbukti dengan ini saya memutar otak lebih keras agar ketiga kegiatan luar akademik ini dapat berjalan dengan baik, tanpa mengesampingkan akademis saya.

Seperti yang sudah disebutkan di atas, dari sekian banyak mahasiswa yang kupu-kupu (kuliah-pulang, kuliah pulang), saya tidak, hehe. Saya memilih untuk kucing-kucing (kuliah-marching, kuliah-marching). Menjadi pemain marching band adalah hal yang baru bagi saya. Benar-benar belajar dari 0. 

Jadwalnya yang padat dan menyita waktu, tak terelakkan lagi, mengharuskan saya mengatur waktu se-efisien mungkin untuk membagi antara tugas kuliah yang tidak kunjung habis, dan prestasi ke-marching band-an untuk menyabet juara di kejuaraan nasional marching band setiap tahunnya.

Color Guard.Bagi yang tidak asing, di dalam marching band ini banyak tekanan, karena kita harus dapat memberikan yang terbaik untuk menjadi satu team yang solid, wah kalau efek sampingnya sih memberikan efek kulit menghitam (karena latihan panas-panasan) dan banyak benjol-benjol di sekujur tubuh karena ada-ada saja, terkena flagcolor guardyang tingginya jauh daripada saya. hehe. 

Berat? Jelas. Tidak ada yang memungkiri setiap pekerjaan pasti akan memiliki resiko dan tantangan masing-masing. Belum lagi jam yang kadang-kadang sangat manusiawi, 10 jam sendiri dalam satu hari untuk mengejar materi-materi paket dan musik. Melelahkan, tapi menjadi keasyikan dan memori tersendiri untuk saya, dan tim. Karena jujur saja saya tidak bisa diam, petakilan kemana-mana dan maunya bergerak terus. hehe. Senang juga punya banyak teman di luar kampus yang juga memiliki hobi yang sama. 

Entah berapa banyak peluh, keluh yang terlontarkan. Tetapi, melihat proses yang sudah terjalani menjadikan saya kuat, saya tangguh, bahwa semua yang kita hadapi tidak lebih dari sekedar proses untuk selesai.

Anak kecil ayah dan ibu ini memang paling rentan sakit. Tapi mereka saya selalu berpesan untuk menjaga diri, dari rumah sering dibawakan obat-obatan lengkap, serta bekal-bekal lain yang membuat saya semakin dapat hemat. Saya bersyukur selain memiliki orang-orang terdekat yang memang bisa mendukung saya setiap saat....., duh, jadi kangen! Hihihi

 Tetap semangat dengan mimpi-mimpi nya ya, walaupun sulit, karena selalu ada tempat untuk bersandar, tempat untuk bersujud, ingat, semua akan indah pada waktunya. 

Spread the love!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun