Mohon tunggu...
L Margi
L Margi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger

Menulis segala hal terkait sastra dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Penulis Cilik dan Kisahnya

21 November 2017   05:57 Diperbarui: 21 November 2017   06:27 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wajah Aira terlihat merah; marah. Beberapa kali ia mencoret kalimat yang ia tulis pada selembar kertas dimeja. Bu Shifa, guru kelasnya meminta ia menulis cerita pendek untuk mengikuti lomba antar kelas.

          "Aira yang akan mewakili kelas kita ya, nak." Tukas Bu Shifa pagi itu dan Aira menganggukkan kepala tanda setuju.

Ia sangat suka sekali menulis, tetapi entah hari ini tak ada satu idepun yang bisa ia jadikan sebuah cerpen. Bahkan di kamar tempat ia biasa merasa nyaman untuk menulis. Karena kesalnya ia merobek kertas  di depannya menjadi sobekan-sobekan kecil; meremasnya dan melempar sesukanya. Mukanya ditekuk seperti lipatan baju yang kusut.

          "Aduh, kenapa sampai melempar seenaknya gitu sih?" Suara Kak Fara terdengar sembari masuk kamar Aira.

          "Sebel, dari tadi gak ada ide nulis cerpen buat lomba." Gerutunya.  

Aira merebahkan tubuhnya yang kurus di tempat tidur berspei polkadot warna merah. Ia merangkul guling kesayangannya sambil memiringkan badan dan memunggungi Kak Fara yang duduk di pinggir tempat tidur. Tangan Kak Fara mengelus rambut adik kesayangannya itu.

          "Kalau pikiran sedang lelah, istirahat saja dulu." Ucap Kak Fara sambil terus mengelus rambut Aira.

          "Besok cerpen itu harus selesai dan dikumpulkan, Kak."

          "Iya, tapi tidak harus dengan merobek dan membuang kertas dengan percuma, kan? Kalau saja Aira tahu berasal dari apa selembar kertas itu dibuat, pasti akan memanfaatkan dengan baik lembaran-lembaran kertas itu."

Beberapa detik kemudian Aira langsung memutar tubuhnya menghadap Kak Fara. Ia menatap wajah kakaknya dengan penasaran.

          "Memangnya darimana kak?"

          "Lembaran-lembaran kertas itu dibuat dari pohon yang sudah ditanam selama lima tahun. Satu pohon berusia lima tahun itu hanya bisa menjadi lebih kurang 80.000 lembar kertas."

          "Biasanya dari pohon apa saja yang digunakan membuat kertas?" Tanya Aira semakin penasaran.

          "Kertas dibuat dari kayu yang berasal dari pohon kayu lunak misalnya pohon pinus."

          "Hmm....begitu ya." Suara Aira terheran-heran karena ia baru tahu asal dari selembar kertas yang biasa ia gunakan menulis.  

Aira mengubah posisi tubuhnya. Saat ini ia duduk sambil tetap memangku guling di atas tempat tidurnya. Ada yang dibayangkan dalam pikirannya, tetapi lamunannya segera hilang mendengar suara kak Fara melanjutkan ceritanya.

          "Kalau saja semua orang tahu bagaimana proses membuat kertas pasti mereka akan selalu berhemat dan berhati-hati dalam menggunakannya. Bayangkan saja, butuh waktu lima tahun untuk bisa memproduksi 80.000 lembar kertas dari sebuah pohon."

          "iya, kak. Ternyata banyak sekali ya manfaat dari sebuah pohon?"

          "Tentu, selain bisa digunakan membuat kertas, pohon juga bisa memproduksi oksigen yang dihirup oleh manusia. Polusi udara juga bisa diatasi dengan adanya banyak pohon. Dan itulah kenapa alasan ayah dan ibu kita menanam pohon di pekarangan belakang rumah kita."

          "Ahaaa, aku jadi punya ide nih menulis cerpen untuk lomba besok." Tiba-tiba Aira mengangguk-anggukan kepala sambil menjentikkan jari jempol dan jari tengahnya. Iapun memeluk tubuh kakaknya sambil berbisik, "Kak Fara memang hebat."

Akhirnya Aira menulis cerpen tentang "Gadis Kecil Penghuni Hutan Pinus" dan ia yakin besok akan siap mengikuti lomba cerpen antar kelas di sekolahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun