Mohon tunggu...
Arieans_Saputra
Arieans_Saputra Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar

MNAE

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kiai Tumenggung Jayapati, Sepenggal Perjuangan Rakyat Batang Alai

31 Agustus 2021   09:00 Diperbarui: 2 September 2021   11:32 1913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pasukan Von Ende menyebarangi Sungai Batang Alai (1860), litografi karya C.F. Kelley (1887)

Prolog

Momentum Agustus yang baru saja berlalu sarat dengan nuansa kemerdekaan dan patriotisme mengingatkan pada satu episode sejarah berlatarkan Perang Banjar. Peristiwa ini tercatat pada 161 tahun silam, tepatnya pada tanggal 17 dan 27 Oktober 1860 di Batang Alai, sebuah daerah tua yang kini masuk wilayah administrasi Kecamatan Batang Alai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah di Kalimantan Selatan. Peristiwa heroik itu menampilkan seorang tokoh perlawanan ke tengah arena. Dalam catatan resmi kolonial, ia dikenal dengan nama Kiai Djajapati.

Sebetulnya tradisi keluarga lebih mengenangnya sebagai Tumenggung Jayapati. Sementara gelar Kiai sesuai sumber yang digunakan dalam tulisan ini, yaitu De Bandjermasinsche Krijg van 1859 – 1863 terbitan Thieme Arhem tahun 1865 karya Willem Adriaan Van Rees. Gelar ini mungkin mengacu pada jabatannya di era kesultanan, sebelum kesultanan itu dihapus Belanda pada 1860, di mana di buku itu Jayapati disebutkan pernah menjadi seorang Kiai atau Kepala Daerah Paramasan Amandit. Untuk sementara, penulis bersandar pada buku tersebut sebagai satu-satunya sumber tulisan ini, mengingat sumber lain memang belum ditemukan. Ke depannya, kita tentu akan mengupayakan penyempurnaan sekiranya terdapat temuan-temuan baru yang menyangkut tokoh atau topik yang diangkat.

Terhadap De Bandjermasinche Krijg, penulis melakukan reinterpretasi dan kajian ulang pada bagian-bagian tertentu dengan tanpa mengubah substansi faktualnya. Ini penting sebagai upaya netralitas konten tulisan, mengingat sejak awal karya van Rees itu memang dimaksudkan sebagai dokumentasi resmi militer Belanda tentang Perang Banjar. Jika terjemahannya disajikan secara mentah tentu akan kuat bias kolonialnya, dan dalam konteks ini Jayapati otomatis terdampar sebagai tokoh antagonis. Sudah barang tentu hal ini akan menyulitkan tercapainya target penulisan, yaitu menempatkannya sebagai tokoh perlawanan pribumi di tengah situasi konflik yang terjadi.

Sebagai catatan, hasil dari reinterpretasi terhadap De Bandjermasinche Krijg seperti disebutkan sebelumnya, akan diuraikan secara “bebas”, dalam arti penulis melakukan penyesuaian ejaan, selain sedikit “improvisasi” dalam rangka rasionalisasi logika penulisan. Di samping itu, sebagai warga Batang Alai, penulis dalam upaya reinterpretasi ini memaksimalkan pengetahuan dan kepahaman akan demografi dan geografi Batang Alai itu sendiri yang kemudian disandingkan dengan data dalam laporan perang tersebut, hal ini penting guna mengukur kadar presisi data sumber dan hidupnya alur cerita. Tetapi sekali lagi, secara garis besar maupun untuk detil-detil peristiwa dan tokoh, tulisan ini tetap setia pada substansi sumber.

Jika dibandingkan tokoh lain yang terlibat dalam Perang Banjar, nama Jayapati relatif masih jarang -- untuk tidak mengatakan tidak pernah-- dilakukan penelitian mendalam menyangkut rentetan peristiwa Perang Banjar. Apalagi diangkat sebagai fokus kajian utama. Sebagai konsekuensinya, publik banua (sebutan lain untuk publik Kalimantan Selatan)-pun kurang mengenalnya. Setidaknya jika dibandingkan nama-nama besar seperti Pangeran Antasari, Pangeran Hidayatullah, Demang Lehman, Datu Aling, Haji Buyasin, Tumenggung Jalil, Penghulu Rasyid dan lain-lain, nama tokoh ini seolah tenggelam dalam arus wacana utama. Kenyataan ini membuat kiprah sejarah Jayapati tak terekam dengan jelas. Akibatnya, perjuangannya pun seakan meninggalkan jejak-jejak sunyi baik di ranah wacana, maupun dalam sistem memori masyarakat. Padahal untuk perlawanan rakyat di daerah Batang Alai perannya terbilang signifikan. Ia bahkan sempat memberi Belanda kekalahan dalam dua kali pertempuran, dan hal itu “diakui” atau dikonfirmasi Belanda sendiri melalui sumber yang kami sebutkan di atas.

Nah, dalam kaitan itulah tulisan ini dibuat, yaitu untuk mengisi ruang kosong pada lembar-lembar wacana yang memang sudah semestinya diukirkan sekelumit nama dan kisah tentang dirinya, Kiai Tumenggung Jayapati.

 Pertempuran Pertama di Benteng Rantawan, 17 Oktober 1860

 Berawal dari mundurnya Demang Lehman pasca pertempuran Benteng Madang di daerah Batang Amandit. Sebelumnya pada September 1860, ia bersama Tumenggung Antaludin dan barisan pejuang rakyat, berhasil mempermalukan Belanda dalam 5 kali pertempuran. Peristiwa epik itu bisa disimak pada berbagai hasil penelitian terdahulu.

Dari sana, Demang Lehman mundur ke arah utara, ke daerah Alai yang memang terhubung oleh Pegunungan Meratus. Sehubungan dengan itu, Kiai Jayapati membangun "gudang" di desa Jati, sekarang Birayang Surapati, yang disinyalir sebagai penyimpanan logistik perang. Logistik tersebut dipersiapkan untuk menyambut kedatangan Demang Lehman dalam rangka melanjutkan peperangan melawan Belanda.

Mendengar laporan tentang kegiatan mencurigakan itu, Belanda kemudian mengerahkan kurang lebih 40 orang prajurit bayonet pimpinan Lettu Von Ende dan opsir Van Der Horst. Seorang penunjuk jalan pribumi dari desa Rantawan bernama Amin menawarkan diri untuk membantu, mereka mulai bergerak menuju Jati yang ditempuh selama dua setengah jam dari tangsi Belanda di Barabai. Von Ende meminta agar Amin menunjukkan di mana “gudang” itu berada. Kepadanya dijanjikan hadiah yang  besar jika dapat menunjukkan keberadaannya, namun jika tidak ancaman kematianlah yang akan didapatnya.

Bersama Amin, pasukan Belanda mencoba jalur penyergapan dari hilir Sungai Batang Alai dan telah sampai di daerah Lok Besar yang sudah sangat dekat dengan target mereka. Pelan-pelan Von Ende terus memudik sungai Batang Alai, dan sesampainya di Desa Jati tidak didapati “gudang” yang menjadi target mereka. Entah bagaimana caranya, Jayapati dan orang-orangnya rupanya berhasil menyamarkan gudang itu.                                                                     

Merasa tidak menemukan apapun di situ, Von Ende terus memudik ke rumah Jayapati di desa Rantawan yang masih berdampingan dengan Jati. Sesampainya di Rantawan, kampung dalam kosong karena penduduknya sudah mengungsi mengamankan diri. Tak disangsikan lagi, Jayapati dan segenap penduduk di sini rupanya sudah benar-benar bersiap untuk beperang. Sekalipun begitu, di rumah Jayapati ditemukan banyak tombak dan keranjang ranjau yang tak sempat ditanam. Rupanya ia sendiri tak menduga pasukan Belanda datang secepat ini.

Von Ende lalu memutuskan ia bersama pasukannya menyeberangi sungai Batang Alai yang lebarnya 40 hasta dengan permukaan air yang surut karena kemarau. Tiba-tiba terdengar tembakan dari seberang sungai. Amin mengharapkan akan ada perlawanan hebat dari kubu pejuang pribumi karena ia tahu Jayapati telah mendirikan benteng di tempat itu dan mempertahankannya dengan 120 orang pasukan pejuang. Meskipun kekuatannya kecil, Von Ende memutuskan untuk menaklukkannya.

Sesampainya di seberang sungai, benteng itu mulai tampak dari kejauhan. Untuk menjajaki kekuatan musuhnya, Von Ende membuka serangan dengan memerintahkan tembakan salvo silih berganti dari barisan pasukannya ke arah ke benteng itu. Para pejuang pribumi yang ada di benteng tak tinggal diam, mereka menjawab dengan tembakan-tembakan balasan disertai gemuruh pekik-pekik takbir, “allahuakbar….”.

Pada saat itulah Amin datang berlari kepada Von Ende, dengan nafasnya yang tersengal melaporkan bahwa dalam jarak tiga puluh langkah ia melihat benteng itu diperkuat dua buah lila di kedua sisi depannya. Moncong lila itu diarahkan tepat ke jalan yang menjadi jalur serangan mereka.

Lila sendiri merupakan jenis meriam Melayu, digunakan secara luas di kepulauan Nusantara masa itu, dan dapat disetel sebagai meriam putar. Lila setara dengan falconet Eropa, berbahan kuningan atau perunggu. Panjangnya antara 100 sampai 180 cm dengan kaliber lubang diantara 19 dan 76.2 mm. Selain dapat menembakkan peluru bundar berbobot 1,13-1,36 kg dengan jarak melebihi 360 meter, meriam ini juga dapat memuntahkan peluru sebar (grape shot atau case shot). Pada banyak peristiwa Lila biasa pula menembakkan bola-bola batu yang terbuat dari batu-batuan alam seperti yang biasa ditemui di tepi sungai.

Mendengar laporan ini, Von Ende menghentikan gerak ofensifnya. Van der Horst ia perintahkan maju untuk mengintai benteng dengan 20 orang serdadu. Dalam jarak yang kian dekat, Van der Horst memperhatikan dengan seksama. Dia melihat sebuah benteng yang dikelilingi oleh palisade (susunan batang kayu pohon dipasang vertikal dan rapat dengan ujung bagian atas masing-masing kayu diruncingkan). Palisade dipasang di tiga sudut, dan sudut keempat dibatasi oleh semak belukar dan rumpun-rumpun bambu. Setiap dinding benteng 18 hasta, dengan masing-masing palisade panjangnya 2 hasta. Benar saja laporan Amin, di dua sudut yang berlawanan bercokol dua buah lila yang siap menyalak.

Ketika Van der Horst telah mendekat sampai jarak 15 langkah dari tembok benteng, sebuah tembakan mengarah kepadanya. Ia masih bernasib mujur, karena naluri prajuritnya mendorong gerakan refleks untuk langsung berbaring di tanah. Loloslah ia dari lesatan peluru tersebut. Ia kemudian melompat, menyerbu ke depan, memanjat pagar dan membungkuk dengan gerakan cepat. Namun Moega seorang serdadu pribumi di barisannya yang melakukan penetrasi pertama terkena tembakan di lengan. Ia juga melihat di benteng itu terpasang bendera perang Jayapati dan ditemukan beberapa surat dari Pangeran Hidayatullah terkait pengiriman beras dan atap.

Melihat keadaan yang tidak menguntungkan Von Ende menghentikan operasi lapangan dan menarik pasukannya, Jayapati tak dapat ditangkap. Sementara itu Von Ende berkomentar, “Musuh terus melakukan tembakan, namun jarak yang sudah menjauh tidak terlalu membahayakan pasukannya, jelas bahwa Jayapati masih hidup dan ia terlihat semakin kuat.” Von Ende pun memutuskan kembali ke tangsi.

Meluapkan amarahnya sembari bergerak mundur Von Ende dan pasukannya membakar rumah Jayapati dan rumah-rumah penduduk beserta lumbung padinya yang memang sedari awal sudah kosong ditinggal penghuninya. Selama pergerakan mundur sampai ke Lok Besar, Von Ende terus dihujani tembakan dari kiri dan kanan, ia dan pasukannya pun terus berusaha menjaga jarak aman. Seorang pemberontak yang berhasil ditawan mencoba untuk melarikan diri dan ditembak mati.

Ekspedisi Von Ende tanggal 25 – 26 Oktober ke Bulanin

Pada tanggal 25 Oktober 1860, Von Ende mendapat informasi bahwa sehari sebelumnya Demang Lehman bersama 30 orang pengikutnya berada di Intangan (2 jam dari Bulanin) bersama 30 orang pengikutnya. Menurut informan pribumi yang berasal dari Karangan (5 jam dari Barabai), Demang Lehman menuju desa Bulanin (saat ini masuk dalam wilayah  administrasi Kecamatan Batang Alai Timur).

Di sana tinggal seorang tokoh bernama Kiai Demang Jaya Negara Seman. Menurut informan, dari Bulanin Demang Lehman selanjutnya akan bergerak menuju Jati menemui Kiai Jayapati. Kiai Demang Jaya Negara Seman sendiri tak lain adalah Saudara dari Regent der Afdeeling Martapoera (Bupati Martapura) Pangeran Jaya Pemenang pasca dihapusnya kesultanan Banjar pada 11 Juni 1860. Kiai Demang sepertinya tidak sejalan dan sepaham dengan saudaranya. Ia memilih bergabung dan berjuang bersama pejuang dari rakyat di Hulu Sungai.

Von Ende keluar untuk kedua kali dari tangsinya. Kali ini bersama opsir bernama Coevoet dan menambah pasukannya dengan 60 prajurit bayonet. Ekspedisi kali ini bertujuan mencegah pertemuan Demang Lehman dengan Kiai Jayapati. Dikhawatirkan jika dua kekuatan ini bergabung maka akan sulit untuk ditundukkan, mengingat Kiai Jayapati telah mempersiapkan logistik perang yang cukup mumpuni sebelumnya.

Desa Bulanin menjadi target Von Ende dan pasukannya. Dibutuhkan waktu 9 jam dari Barabai untuk sampai di lembah yang indah itu. Von Ende tiba sekitar pukul 15:30 sore di Bulanin. Dari kejauhan terlihat enam orang musuh dengan menunggang kuda bergegas melarikan diri ke dalam hutan.

Coevoet diperintahkan maju terlebih dahulu bersama 30 orang prajurit bayonet untuk mengepung rumah yang dicurigai sebagai kediaman Demang Lehman. Setelah didekati ternyata rumah itu sudah dalam keadaan kosong. Kedatangan Coevoet dengan pasukannya nampaknya terendus oleh pengawas dari prajurit Demang Lehman. Hal ini disinyalir oleh Coevoet dengan adanya pohon durian tinggi di depan rumah itu yang batang pohonnya telah dipotong berbentuk anak tangga. Pohon seperti ini biasanya digunakan oleh para pejuang pribumi sebagai pos pengawasan untuk memantau adanya tanda bahaya.

Coevoet mencoba masuk ke dalam rumah itu. Sebelumnya, ia melihat di halaman rumah banyak terdapat bekas telapak kaki kuda dan di dalamnya ada tiang untuk menggantung atap, kayu ulin, rumput yang baru saja dipotong dan nasi yang baru saja dimasak. Karena tidak mendapatkan apa-apa dan hari sudah memasuki malam, Coevet dan pasukannya memutuskan bermalam di halaman rumah itu dengan mendirikan bivak-bivak (tenda).

Hari berganti, besoknya tanggal 26 Oktober 1860 seluruh rumah di Bulanin diperiksa. Dua penduduk ditemukan di sebuah rumah, salah satunya melarikan diri dan yang lain mengamuk dan menikam seorang serdadu bernama Sersan Senin, kemudian ia ditembak mati. Bulanin akhirnya dibumihanguskan oleh Von Ende dan pasukannya.

Tanpa membuang-buang banyak waktu, pasukan Von Ende dan Coevoet segera bergerak menuju Jati, namun informan mengaku tidak mengetahui jalur menuju Jati. Dengan terpaksa mereka pun kembali meniti jalur Intangan yang pada hari sebelumnya dilalui. Jalur ini adalah jalur yang melelahkan, karena harus melewati banyak sekali bukit dan lembah yang tentu saja medannya tidaklah mudah.

Di sepanjang jalur antar Bulanin dan Intangan banyak ditemui pohon kayu yang baru ditebang dan nampaknya dipersiapkan untuk membuat lahan perkebunan. Hal ini menarik perhatian Von Ende dan ia bertanya kepada informan. Berdasarkan keterangan dari informan, diketahui Demang Lehman lah yang mempersiapkan perkebunan tembakau itu atas perintah Pangeran Hidayatullah.

 Pertempuran kedua di Jati, 27 Oktober 1860

Sehari kemudian setelah ekspedisi ke Bulanin, Von Ende memerintahkan kepada Coevoet untuk menuju Jati karena berdasarkan informasi sebelumnya bahwa Demang Lehman akan menemui Jayapati disana.

Coevoet berangkat membawa 30 orang pasukan bayonet untuk melakukan pengecekan dan sesampainya di Jati dari seberang sungai yang luas berdiri pasukan bersenjata dan terlihat seorang pria di atas kudanya. Alangkah terkejutnya Coevoet setelah mengetahui bahwa pria itu adalah Demang Lehman yang selama ini mereka cari-cari.

Pertempuran kembali pecah. Tak ada pilihan Von Ende selain memerintahkan Coevoet untuk menghabisi para pemberontak itu. Tembakan demi tembakan pun bersahutan dari arah seberang, sungaipun menjadi pembatas medan laga peperangan antara kedua kubu. Coevoet nekat untuk mendesak para pasukan dari pejuang pribumi, namun dua anggota pasukannya tewas. Kopral Smaalen yang memimpin penyerangan pun terkena tembakan dan terpaksa mundur.

Melihat ini Von Ende menyadari bahwa pasukannya sudah kelelahan karena sehari sebelumnya menempuh jalur yang melelahkan ditambah bekal makanan yang menipis. Di kesempatan yang sama dan dalam suasana yang berkecamuk, ia bertambah geram kepada informan yang menunjukkan posisi tidak tepat sehingga pasukannya menjadi bulan-bulanan pasukan gabungan Demang Lehman, Jayapati dan Demang Jaya Negara Seman. Informan yang tidak diketahui namanya itupun ditembak mati sebagai pelajaran bagi yang lainnya. Untuk kedua kalinya Von Ende dipukul mundur di peperangan Rantawan maupun di Jati.

Status Buronan dan Vonis Mati 

Sejak peristiwa 17 dan 27 Oktober 1860 di Rantawan dan Jati, Jayapati terus dicari dan menjadi buronan Belanda. Diperoleh informasi bahwa Jayapati sedang bersembunyi di hutan Kamuyang yang terletak di belakang sebelah utara desa Rantawan. Untuk membuktikan kebenaran informasi tersebut, pada 19 Januari 1861, pasukan Belanda di bawah pimpinan Van Haaften melakukan patroli malam ke hutan itu. Sesampaikan di Kamuyang, terjadi kontak senjata dengan sekelompok kecil pejuang pribumi, Van Haaften dan pasukannya sempat merampas beberapa pucuk senjata yang dipasok oleh Demang Lehman, namun target mereka yaitu persembunyian Jayapati tidak ditemukan.

Pada 14 April 1861, Jayapati beserta 3 orang "pemberontak" lainnya yaitu Kiai Ngabehi Jaksa Negara, Hadi Yusup dan Lurah Daras, divonis hukuman mati dalam suatu putusan pengadilan di Afdeeling Amuntai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Namun Belanda tak melaksanakan eksekusi itu karena tak kunjung dapat menangkapnya. Berita tentang empat orang “pemberontak” inipun sempat diwartakan di koran negeri Belanda Nederlandsche Staats-Courant terbitan 28 Juni 1861 dan Samarangsch advertentie-blad yang terbit pada 24 April 1861.

Jayapati tetap bersembunyi di hutan Kamuyang dan sekitarnya bersama orang-orangnya yang masih setia, ia berpindah-pindah untuk menghindari kejaran sembari terus melakukan perlawanan kepada Belanda. Untung tak dapat diraih, maut tak dapat ditolak, kusuma itu gugur, menghembuskan nafas terakhirnya di balik dingin dan rimbunnya hutan Kamuyang, tanggal dan penyebabnya tidak diketahui pasti.

Kehilangan seorang tokoh pemimpin perang seperti Jayapati tidak lah memadamkan api perlawanan kepada Belanda. Tradisi ini terus diwariskan kepada segenap keturunan dan pengikutnya. Melalui tutur magis, “bara” itu terus didengungkan turun-temurun dan siap membakar darah-darah baru. Bara itu sejatinya tetap ada dan siap menyala kapan saja, terbukti api perjuangan terus berkobar di Batang Alai sejak episode Perang Banjar tahun 1860 hingga era revolusi fisik untuk mempertahakan kemerdekaan antara tahun 1945- 1950. Status kawasan Batang Alai tetap menjadi “zona merah” bagi Belanda. Gugur satu tumbuh seribu, Batang Alai terus saja mencetak para penjuang-pejuang pemberani berhati besi, wajah mereka boleh baru tapi semangat mereka masih tetap satu.

Makam Kiai Tumenggung Jayapati sebagai situs budaya

Sebagai wujud apresiasi atas kiprah nyata selama hidupnya, makam Kiai Tumenggung Jayapati yang berada di Hutan Kamuyang, yang kini berada wilayah administrasi Desa Abung, Kecamatan Limpasu, Kabupaten Hulu Sungai Tengah ditetapkan sebagai situs Cagar Budaya oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Makam tersebut berukuran 86 cm x 216 cm dengan cungkup yang terbuat dari kayu dan beratapkan seng. Makam sudah diplester dan diberi ubin/keramik putih. Sementara gundukan tanah yang ada di permukaan makam diberi penutup kain kuning.

 Epilog

Demikianlah sekelumit cerita Kiai Tumenggung Jayapati. Mengingat terbatasnya sumber, jelas masih banyak yang perlu digali dari salah satu tokoh historis ini. Jadi, tulisan ini baru semacam rintisan untuk penelitian lebih jauh.

Sebagaimana yang disebutkan pada bagian awal, dalam merekonstruksi peristiwa masa lalu yang menyangkut Jayapati, untuk mereduksi bias Belanda, penulis melakukan reinterpretasi pada buku sumber, De Bandjermasinche Krijg. Akan tetapi, bahkan dengan upaya itu pun tak sepenuhnya dapat melepaskan bias tersebut, mengingat proses peristiwa benar-benar berdasarkan sudut pandang operasi militer mereka. Misal, penggambaran tentang kelengkapan dan jumlah pasukan yang dikerahkan, siapa komandan yang ditunjuk, dan jalannya situasi digambarkan dengan detil. Sebaliknya, peta kekuatan pihak lawan, dalam hal ini Jayapati dan kekuatan pribumi hanya digambarkan melalui laporan mata-mata, dan atau laporan pandangan mata mereka langsung saat kejadian. Kita tidak tahu bagaimana misalnya proses rekruitmen Jayapati hingga dapat menghimpun 120 orang pengikut mempertahankan benteng mereka dari serangan Belanda, relasi-relasi apa yang ia gunakan hingga mendapatkan loyalitas banyak orang? Atau, darimana mereka mendapatkan senjata-senjata, serta banyak detil-detil lain? Belum lagi menukik pada soal pilihan politik. Faktor-faktor apa yang mendorong Jayapati berada di kubu pejuang, mengingat dalam Perang Banjar elit-elit pribumi tidak satu warna. Tidak sedikit juga di antara mereka berdiri bersama kekuatan kolonial yang nantinya terbukti mampu menciptakan stabilitas dan kemapanan karir. Sekali lagi, kita buta akan hal-hal detil itu. Ini masalahnya karena minimnya sumber, terutama sumber tertulis dari pihak pribumi.

Terlepas dari persoalan-persoalan di atas, sepertinya dapat disepakati bahwa berdasarkan temuan data yang ada, ia Jayapati adalah seorang tokoh berpengaruh kuat. Faktor inilah yang membentuknya sebagai salah satu pemimpin perlawanan, khususnya di daerah Batang Alai terhadap Belanda. Bagi publik banua, khususnya yang berasal dari daerah Batang Alai sudah seyogianya mulai mengenal dan meneladani kisah yang sarat akan semangat juang dan patriotisme yang ditorehkan oleh tokoh kita ini. Dalam suasana gempita kemerdekaan ini, maka mengisinya dengan peri kebaikan dan menghindarkan diri dari laku keburukan adalah sebuah keniscayaan.

Jakarta, 01/09/2021

Situs Cagar Budaya Makan Kiai Tumenggung Jayapati
Situs Cagar Budaya Makan Kiai Tumenggung Jayapati

Peta letak desa Bulanin, dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda (1923-1927)
Peta letak desa Bulanin, dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda (1923-1927)
Berita yang memuat Jayapati dan 3 orang
Berita yang memuat Jayapati dan 3 orang "pemberontak" lainnya yang divonis hukuman mati (28 Juni 1861)

Ilustasi Lila atau meriam kecil yang acapkali digunakan dalam peperangan pada abad 20
Ilustasi Lila atau meriam kecil yang acapkali digunakan dalam peperangan pada abad 20

Jembatan Birayang yang menghubungkan desa Birayang-Jati-Rantawan
Jembatan Birayang yang menghubungkan desa Birayang-Jati-Rantawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun