Gak ada sedikitpun rasa khawatir membawa serta Nami, bayi saya usia 5 bulan, liburan ke Korea Selatan saat musim dingin seperti sekarang ini. Alasannya ada dua: Pertama, karena Nami memang gak tahan dengan cuaca panas & kedua, karena dia menyusui.
Nami lahir bulan Juli 2015, di Bali. Pulau Dewata suhu rata-rata 27ºC - 30ºC, dengan cuaca panas menyengat meski sudah masuk musim penghujan. Tapi seumur hidupnya, tubuh Nami seperti tidak bisa berkompromi dengan keadaan. Dia selalu kegerahan.
Di rumah, meski AC sudah distel dengan suhu 16ºC, tetap saja dia berkeringat. Alhasil, saya yang gak terlalu tahan dingin, selalu mematikan AC disela-sela tidur malam. Dan sewaktu Nami sadar suhu kamar sudah berubah, maka dia langsung rewel sehingga otomatis saya hidupkan kembali AC tersebut. Jadi bisa dibayangkan betapa "nyenyaknya" tidur saya dengan selingan mati-hidup AC di malam hari. Belum lagi ditambah dengan intermezzo menyusui. Karena itu, yang tergeletak di dekat kepala saat tertidur pulas bukan handphone seperti kebanyakan orang, melainkan remote AC.
Meski begitu saya tidak menyalakan AC sepanjang hari. Hanya pada saat tidur malam saja. Disamping tidak terlalu baik bagi kesehatan, biaya rekening listrik juga bisa melonjak tinggi. Untungnya, Nami tidak terlalu keberatan. Asalkan angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, dia sudah cukup puas. Apalagi kalau di pagi hari bersantai di pantai di bawah pohon sambil mendengarkan kicauan burung, sebagaimana aktivitas rutin saya & anak-anak, wahhh...tidurnya pulas sekali sampai susah dibangunkan untuk menyusui.
Entah kenapa kebiasaannya ini berbeda dengan kakak & abang-abangnya. Asumsi saya, mungkin karena saat dilahirkan suhu ruangan yang begitu dingin itulah yang pertama kali diterima oleh tubuhnya. AC di kamar bersalin distel dengan suhu 16ºC oleh adik saya yang mengantar & menemani saya melahirkan. Dia memang tidak pernah tahan panas. Saya sendiri sudah mati rasa dengan suhu ruangan yang sangat dingin, akibat begitu dasyatnya rasa mulas saat kontraksi demi kontraksi berlangsung, melebihi saat melahirkan ketiga anak saya sebelumnya. Mungkin itu alasannya.
Di Korea Selatan, bulan Januari adalah bulan paling dingin diantara bulan-bulan lain dengan suhu mencapai -20ºC. Katanya orang Indonesia yang hidup dengan iklim panas, tidak terbiasa dengan suhu ekstrim nan beku ini. Apalagi buat anak-anak, bayi pulak. Komentar semacam, "mending Nami gak usah diajak, ditinggal aja di rumah." atau "kasihan Nami dibawa juga, apa gak takut sakit nanti?", beberapa kali sempat terucap oleh teman-teman saya yang tahu soal rencana kepergian ke Korea. Saya menimpali dengan, "Gak mungkin Nami ditinggal. ASI gue ini seadanya, ga sederas busui lain yang bisa stok ASI berbotol-botol sampai penuh satu kulkas. " dan menjawab dengan, "gak papa. Kalo Nami sakit, obatnya ada di dada gue.”
Ya, betul. Saya termasuk salah satu dari sekian banyak orang yang percaya dengan kekuatan ASI. Sejauh ini, baru Nami yang benar-benar merasakan pengalaman IMD (Inisiasi Menyusui Dini) dan belum berkenalan dengan susu formula. Saat kelahiran anak pertama 11 tahun lalu, di tahun 2004 saya hanya tahu ASI Eksklusif & tidak pernah mendengar istilah IMD. Akses informasi belum semudah seperti sekarang ini. Sosial media seperti facebook, twitter, path atau instagram belum ada. Account yang dimiliki kebanyakan orang saat itu cuma friendster yang sekedar mengisi testimoni & tidak berfungsi untuk berdiskusi serta berbagi informasi.
Waktu itu saya melahirkan di Rumah Sakit (khusus) Bersalin yang tergolong mewah di Bali. Tapi, mewah belum tentu bagus kan? Saat memutuskan untuk bersalin di sana & mendaftar di awal persalinan, saya menerima formulir pendaftaran dimana di kolom permintaan khusus saya tuliskan: Melahirkan normal & ASI Eksklusif. Pada saat melahirkan, saya mengalami pendarahan hebat. Itu terjadi karena saya sudah tidak tahan menahan mulas & langsung mengejan meski belum waktunya dimana bukaan juga belum sempurna. Alhasil, setelah mengalami jahitan demi jahitan karena banyaknya pembuluh darah yang pecah, hampir seharian saya baru bisa bertemu dengan anak saya.
Anak saya yang tinggal di ruang bayi beserta bayi-bayi lainnya, akan dibawa ke kamar kalau saya hendak menyusui. Sesekali, saya yang datang ke ruang bayi. Memang tidak praktis. Saat itu saya juga belum tahu kalau bayi seharusnya berada dalam satu kamar bersama ibunya. Pulangnya, saya dibekali sekaleng susu formula mahal. Saya yang saat itu pengetahuan ASI Eksklusifnya hanya sekedar di permukaan, bertanya dengan heran pada suster, "loh Sus, kok saya dikasih susu kaleng ya? Saya kan maunya ASI Eksklusif." "Iya, Bu. Waktu itu kan Ibu pendarahan, sementara anak Ibu sudah kehausan. Jadi ya dikasih susu formula dulu. Susunya dicampur ASI juga gpp kok, Bu. Lebih sehat malah." Jawabnya dengan tidak sabaran karena ibu lain sudah menunggu untuk membawa bayinya pulang.
Andaikan saat itu saya tahu bahwa meski sambil dijahit karena pendarahan, IMD tetap dapat berlangsung. Andaikan saat itu saya tahu bahwa ASI yang dicampur dengan susu formula malah tidak dianjurkan. Andaikan saat itu saya tahu bahwa saya bisa menuntut Rumah Sakit apabila memberikan sufor pada bayi tanpa ijin & sepengetahuan saya. Andaikan saya tahu.
Tapi saat itu saya tidak tahu dan saya pulang ke rumah membawa prasangka buruk, rasa heran & pertanyaan yang tidak terjawabkan. Susu bubuk yang tinggal setengah kaleng itu tergeletak begitu saja di meja dapur. Meski sudah terkontaminasi dengan sufor, tapi saya melanjutkan hanya memberi ASI saja sampai umurnya 4,5 tahun, sampai kemudian mempersiapkan kehamilan berikutnya.
Waktu kehamilan anak selanjutnya, pengetahuan saya mengenai ASI Eksklusif & pentingnya bayi sekamar dengan ibu, sudah semakin baik. Meski pengetahuan soal IMD masih sangat cetek: sebatas bayi yang dilahirkan langsung ditaruh di dada ibunya. Di kolom permintaan khusus, saya menambahkan tulisan saya: Melahirkan normal, ASI Eksklusif, bayi sekamar dengan ibu & IMD.
Ya, meski merasa telah dikecewakan, saya tidak mencari Rumah Sakit Bersalin lain, karena toh sama saja. Kondisinya juga tidak lebih baik dari Rumah Sakit Bersalin tempat anak pertama saya dilahirkan. Beberapa teman yang melahirkan di beberapa Rumah Sakit Bersalin berbeda, melahirkan secara caesar meski mereka ingin sekali melahirkan normal. Saya banyak mendengar Dokter Kandungan yang malas mendampingi ibu-ibu untuk melahirkan normal & sering menyarankan melahirkan caesar. Disamping lebih gampang, penghasilannya juga lebih banyak.
Memang sih, tidak semua Dokter kandungan seperti itu. Tapi tetap saja, menurut saya krisis kepercayaan yang membuat gelisah para ibu hamil, akan mempengaruhi bayi dalam kandungan & proses kelahirannya kelak. Karena itu saya tetap memilih Rumah Sakit Bersalin tempat anak pertama saya dilahirkan. Rumah Sakit Bersalin lainnya kondisinya tidak lebih baik dan paling tidak, Rumah Sakit ini mendukung kelahiran normal. Begitu juga Dokter Kandungan saya. Keputusan itu saya ambil saat mengetahui ternyata saya hamil kembar. Dimasa sekarang, kelahiran anak kembar biasanya melewati proses persalinan caesar. Sementara, fokus saya adalah melahirkan normal. Bukan, bukan karena saya anti pada kelahiran caesar. Kalaupun nantinya dikemudian hari timbul masalah yang mengharuskan saya menjalani operasi caesar, pasti saya akan memilih caesar untuk menyelamatkan anak saya. Tapi paling tidak, caesar bukan pilihan pertama. Karena saya pribadi sangat takut dengan kelahiran caesar akibat tidak tahan sakit.
Di usia belasan, saya pernah mengalami operasi usus buntu. Sayatannya tidak begitu panjang, tapi pasca operasi rasa perih & ngilu masih sangat terasa sampai beberapa bulan berikutnya. Rasa sakit semakin parah saat menyetir mobil & menekan kopling. Apalagi kalau melewati "polisi tidur" & jalan berlubang, nyut-nyutan sampai ke kepala. Kalau operasi caesar, sayatannya pasti lebih panjang. Dan saya bayangkan rasa sakitnya pasti lebih besar & lebih lama. Duh...enggak deh, atutttt :p
Tapi (lagi-lagi), sayang sekali pengetahuan saya mengenai IMD tidak begitu mendalam. IMD pada bayi kembar saya hanya sekedarnya. Setelah bayi dilahirkan, Dokter meletakkan pada dada saya sekitar beberapa menit. Lalu diambil untuk dibersihkan, ditimbang & tetek bengek lainnya. Lalu saya sudah harus mengejan untuk bayi berikutnya dengan proses yang sama. Saya tidak pernah tahu, bahwa IMD artinya, begitu bayi dilahirkan & diletakkan di atas perut ibu, selanjutnya dia akan berjuang menggerakkan tubuhnya sedemikian rupa untuk mencari puting susu ibu & menyusui untuk pertama kalinya. Bisa dibilang, saya gagal IMD. Ditambah lagi saat usia mereka 4 bulan, saya mengalami baby blues parah yang membuat kami sekeluarga sempat pindah ke Jakarta (yang kemudian beberapa tahun berikutnya kembali ke Bali), agar dekat dengan keluarga. Sehingga selama beberapa hari, saat saya tidak sadarkan diri, mereka terpaksa minum susu formula. Bisa dibilang (lagi-lagi) saya gagal memberikan ASI Eksklusif pada kedua anak kembar saya.
Pada saat kehamilan berikutnya, pengetahuan saya seputar IMD sudah semakin baik. Kali ini, saya memilih melahirkan di Rumah Bersalin yang cukup terkenal dengan gentle birthnya. Begitu Nami dilahirkan, dengan lembut Bidan meletakkan Nami di atas perut saya & dia merayap dengan sekuat tenaga menggapai puting & akhirnya menyusui dengan lahap. Proses IMD saat itu sekitar 1 jam. Bidan menunggui saya dengan sabar & tidak buru-buru menggunting tali pusar & memandikannya. Apapun yang ingin dia lakukan terhadap Nami, pasti ditanyakan pada saya terlebih dahulu. Proses pengeluaran ari-ari dilakukan sambil Nami berada di atas dada, bahkan dibantu oleh kakinya yang menendang-nendang perut saya. Pengguntingan tali pusar dilakukan beberapa jam berikutnya yang diikuti dengan timbang-ukur badan, dll dan keesokan harinya Nami baru dimandikan. Yang jelas sejauh ini saya sangat puas.
Untuk ketiga kalinya saya melahirkan normal. Tapi kali ini IMD berjalan lancar & sukses. Nami tentu saja selalu bersama saya & bonusnya saya hanya membayar 1 juta rupiah saja. Biaya yang teramat sangat murah dengan pelayanan yang sangat memuaskan, jika dibandingkan biaya persalinan anak pertama & kedua-ketiga yang menghabiskan dana berjuta-juta di Rumah Sakit (khusus) Bersalin yang mewah itu.
Berikutnya, saya pikir proses menyusui akan semudah anak pertama, kedua & ketiga. Apalagi proses IMD berjalan lancar. Tentu saja saya begitu percaya diri. Tapi tidak diduga, hari berikutnya Nami susah menyusui. Payudara saya bengkak & badan Nami hangat. Sulit sekali membujuknya menyusui. Proses menyusui yang tersendat-sendat, ditambah dengan keadaan rumah yang berantakan karena tidak adanya Asisten Rumah Tangga yang (seharusnya) bisa membantu saya mengerjakan pekerjaan rumah & membantu mengurus anak-anak, juga suami yang sering keluar kota, membuat saya semakin stress & depresi berat. Tapi saya percaya, saat keinginan seseorang begitu kuat alam semesta akan membantu.
Waktu itulah saya menghubungi seorang teman anggota AIMI Bali. Dia banyak memberikan tips, saran & masukan sekaligus menampung keluhan & jeritan hati saat saya merasa ASI tidak cukup. Dia juga merekomendasikan DSA yang juga seorang konsultan laktasi yang hebat. Setelah menemui Dokter tersebut, kepala yang tadinya berat & dunia yang tadinya gelap, cerah kembali. Masalah saya ada pada pelekatan yang tidak sempurna. Itu saja. Dan segala penat hilang seketika sewaktu melihat berat badan Nami naik sampai 1,5 kg di bulan pertama.
Saat ini Nami sudah tidak bermasalah lagi dalam menyusui. Pernah suatu hari badannya panas sekali. Suhu badannya naik sampai 39,5ºC. Meski was-was, tetapi saya memilih tidak memberikannya parasetamol. Saya percaya dengan ASI. Setelah sehari semalam saya fokus menyusui terus-menerus, besoknya suhu tubuh Nami kembali stabil. Terbukti, ASI adalah obat yang paling manjur untuknya.
ASI memang tidak diragukan lagi khasiatnya. Saya pribadi percaya, ASI memang makanan, minuman sekaligus obat untuk bayi. Selain itu ASI gratis & praktis. Gak perlu ribet-ribet nyuci botol & sedia air panas. Bisa dikasih kapan saja & dimana saja. Setiap kali dia lapar & haus, saya tinggal buka kaus & menyusui. Semudah itu.
Karena itu, kepergian ke Korea dengan perubahan suhu ekstrim tidak mengurungkan niat saya untuk membawa Nami turut serta. Dan bahkan seperti yang sudah saya perkirakan sebelumnya, Nami malah seperti menemukan habitatnya di cuaca dingin yang menggigit sampai ke tulang itu. Saat di luar ruangan, tidurnya malah semakin nyenyak. Saat saya menggigil kedinginan, dia malah tertawa ceria sambil menoleh sana sini dengan rasa ingin tahunya yang sangat besar. Bahkan meski hidung saya meler-meler dan beberapa kali menciumnya (lupa kalau flu saya bisa menularinya), dia malah sehat sentosa. gak rewel sedikitpun.
Itulah hebatnya ASI
Dimanapun & kapanpun bisa saya kasih
Ke Nami, sang buah hati
Gak pernah ngerasa risih
Saat saya memberi ASI
Karena toh orang juga tidak menyadari
Dan yang penting kini terbukti
Nami tetap sehat & kuat berkat ASI
Jadi tidak perlu khawatir lagi
Yukkkk, mari....!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H