Mohon tunggu...
Liza Permasih
Liza Permasih Mohon Tunggu... Penulis - Menyukai dunia kata-kata, mencintai setiap momen yang tumbuh bersama para kesayangan.

Penulis merupakan seorang ibu dari tujuh orang anak yang menyukai dunia kata-kata sejak belia. Pernah menjadi kontributor tetap selama dua tahun di web parenting di The Asianparent Indonesia. Karya-karya fiksi penulis pernah dimuat di majalah Femina dan Gadis, sementara karya non fiksi, berupa kisah inspiratif tersebar dalam buku-buku antologi terbitan Gramedia Pustaka Utama. Selain menyukai dunia kata-kata, penulis juga aktif di dunia kuliner dengan memakai brand Dapur Momaliza. Mengambil nama yang sama dengan blog pribadinya, www.momaliza.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Turelo dan Sebuah Kisah

26 Agustus 2021   22:09 Diperbarui: 26 Agustus 2021   22:20 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            "Mengapa saya harus tidak bahagia, Kak?" Sina balik bertanya.

            "Kamu sudah kehilangan seluruh keluargamu. Bahkan... bahkan kamu sudah kehilangan kakimu, akibat tsunami itu." Runi menatap sebelah kaki Sina yang tertutup kain. Kaki itu hanya tinggal separuh. Kain panjang tidak bisa menyembunyikan betis Sina yang diamputasi akibat infeksi yang terlambat ditangani.

            Sina tersenyum. Ia menatap langit biru. Kebiruan yang damai memantul pada bola matanya yang terlihat biru. Sebiru air laut yang tenang. Sebiru langit yang damai.

            "Tuhan sudah memberikan kehidupan ini untuk saya. Saya bisa memilih untuk hidup bahagia ataupun hidup dalam penyesalan atas takdir yang menimpa diri saya. Kakak, salahkah saya bila memilih hidup dengan bahagia. Sekali pun itu tak pernah mudah pada mulanya?"

Runi tersentak. Jawaban itu di luar dugaannya. Semula Runi mengira, Sina akan menangis mengenang keluarganya yang hilang ditelan gelombang. Semula ia mengira, Sina akan merutuk takdir yang mengambil sebuah betisnya dan merengut harapan akan masa depannya.

"Tapi, mengapa kamu memilih untuk bahagia, Sina?"

" Saya lelah menyalahkan takdir, Kak. Menerima dan berhenti menyesali takdir jauh lebih mudah untuk dijalani."

Runi terdiam.

"Tapi bagaimana caranya? Bagaimana kamu bisa sekuat ini, Sina?" Runi menatap lekat wajah Sina. Gadis itu menanamkan pandangannya ke batas horison. Mencari jawaban yang sama. Sambil menarik nafas, Sina menjawab pelan.

"Saya hanya berusaha membuat orang melupakan cacat saya. Tidak membiarkan mereka mengasihani saya. Dan membuat mereka 'hanya'  melihat kelebihan yang saya miliki." Sina tersenyum dan memperlihatkan deretan gigi yang rapi bagai mutiara. Sejenak Runi terpukau. Dan mengagumi kecantikan alamiah yang memancar dari dalam diri gadis itu. Secercah kesadaran terbit dalam benaknya. Namun, ia masih perlu waktu untuk menata hati.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun