"Mengapa saya harus tidak bahagia, Kak?" Sina balik bertanya.
      "Kamu sudah kehilangan seluruh keluargamu. Bahkan... bahkan kamu sudah kehilangan kakimu, akibat tsunami itu." Runi menatap sebelah kaki Sina yang tertutup kain. Kaki itu hanya tinggal separuh. Kain panjang tidak bisa menyembunyikan betis Sina yang diamputasi akibat infeksi yang terlambat ditangani.
      Sina tersenyum. Ia menatap langit biru. Kebiruan yang damai memantul pada bola matanya yang terlihat biru. Sebiru air laut yang tenang. Sebiru langit yang damai.
      "Tuhan sudah memberikan kehidupan ini untuk saya. Saya bisa memilih untuk hidup bahagia ataupun hidup dalam penyesalan atas takdir yang menimpa diri saya. Kakak, salahkah saya bila memilih hidup dengan bahagia. Sekali pun itu tak pernah mudah pada mulanya?"
Runi tersentak. Jawaban itu di luar dugaannya. Semula Runi mengira, Sina akan menangis mengenang keluarganya yang hilang ditelan gelombang. Semula ia mengira, Sina akan merutuk takdir yang mengambil sebuah betisnya dan merengut harapan akan masa depannya.
"Tapi, mengapa kamu memilih untuk bahagia, Sina?"
" Saya lelah menyalahkan takdir, Kak. Menerima dan berhenti menyesali takdir jauh lebih mudah untuk dijalani."
Runi terdiam.
"Tapi bagaimana caranya? Bagaimana kamu bisa sekuat ini, Sina?" Runi menatap lekat wajah Sina. Gadis itu menanamkan pandangannya ke batas horison. Mencari jawaban yang sama. Sambil menarik nafas, Sina menjawab pelan.
"Saya hanya berusaha membuat orang melupakan cacat saya. Tidak membiarkan mereka mengasihani saya. Dan membuat mereka 'hanya' Â melihat kelebihan yang saya miliki." Sina tersenyum dan memperlihatkan deretan gigi yang rapi bagai mutiara. Sejenak Runi terpukau. Dan mengagumi kecantikan alamiah yang memancar dari dalam diri gadis itu. Secercah kesadaran terbit dalam benaknya. Namun, ia masih perlu waktu untuk menata hati.
***