Hai, Kompasianer!
Fiksi beraliran surealisme bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia sastra. Walau informasi-informasi edukatif mengenai jenis fiksi ini bertebaran di mana-mana, tidak banyak yang menjelaskan pedoman-pedoman yang harus dilakukan seorang calon penulis surealisme ketika hendak membuat karya. Artikel kali ini ditujukan untuk Kompasianer yang ingin mencoba menulis fiksi surealisme.
Dalam artikel ini saya akan menjelaskan pedoman-pedoman menulis fiksi surealisme yang telah saya rangkum menjadi empat poin (berdasarkan pengalaman saya membaca berbagai fiksi surealisme), serta contoh karya-karya fiksi luar biasa yang dapat dijadikan acuan.
Selamat membaca!
1. Kadar Fantasi yang Secukupnya
Fiksi surealisme adalah "jembatan" antara fiksi realis dan fiksi fantasi. Biar begitu, karena surealisme identik dengan sesuatu yang abstrak, orang-orang terkadang menganggapnya setara dengan fantasi. Kenyataannya, surealisme perlu "sebanyak mungkin" hal-hal yang realis. Apabila ada terlalu banyak unsur fantasi dalam suatu karya tulis, maka karya tersebut akan kehilangan "keanehannya".
Jika kehilangan "keanehannya", maka karya tersebut menjadi karya fantasi seutuhnya, karena tentu saja kita tidak merasa keberadaan ibu peri adalah hal yang aneh ketika membaca kisah Cinderella, bukan? Maka, untuk mencipta fiksi surealisme, pastikan karya tulis yang Kompasianer ciptakan memiliki unsur realistis yang jauh lebih banyak daripada "bumbu-bumbu aneh"-nya.
Mungkin penjelasan di atas tidak memberikan pemahaman yang sempurna, mengingat penjelasan tersebut adalah teori belaka. Maka, silakan baca cerita Metamorphosis karya Franz Kafka, agar Kompasianer mendapat pemahaman utuh terkait poin ini. Sederhananya, kisah tersebut meceritakan tentang seorang pria yang tiba-tiba berubah menjadi serangga.
Respon pria tersebut tidak berbeda jauh dengan respon kebanyakan manusia di dunia nyata, yaitu konflik batin berlebihan. Penggambaran konflik batin, bahkan usaha si pria untuk menghindar dari orang-orang di rumahnya karena perubahan fisiknya yang tidak biasa tersebut, menunjukkan bahwa Kafka tetap mengedepankan unsur-unsur realistis dalam karya yang cenderung absurd ini.
2. Metafora dan Personifikasi
Terkadang, kita memiliki pengalaman-pengalaman nyata yang terlalu sedih atau terlalu cheesy untuk dikisahkan sebagai cerita pendek atau prosa. Salah satu cara yang bisa ditempuh untuk menyampaikan kisah-kisah nyata tersebut tanpa terasa sedih atau cheesy adalah dengan menyajikannya dalam bentuk fiksi surealisme. Misalnya, ketika menulis kisah remaja dan menggambarkan seseorang yang sedang jatuh cinta diam-diam, kita tidak perlu menuliskan secara gamblang "A jatuh cinta kepada B, tapi B tidak tahu".
Cobalah untuk menuliskannya dengan kata-kata lain, misalnya yang berperan sebagai metafora untuk menggantikan kata "jatuh cinta". Kita tahu bahwa ada ungkapan butterflies in my stomach untuk menggambarkan perasaan gugup ketika hendak bertemu orang yang dicintai. Maka, kisah tersebut dapat dituliskan seperti ini:
Ketika pertama kali melihat B, kupu-kupu di perutnya beterbangan ke sana ke mari. B mana peduli, dia bahkan tidak sadar ada sepasang sayap bercorak simetris hinggap di atas kepalanya.
Contoh karya yang dapat dijadikan acuan adalah Tidur Kata di Kematian Peradaban karya Pebrianov. Berikut ini adalah kutipan karya beliau:Â
Huruf-huruf itu terdiam cukup lama. Hening. Kemudian salah satu dari mereka berkata, "Bermainlah penuh suka cita bersama kami."
"Tidak, aku ingin tidur. Pergilah kalian dari sini," kataku, kali ini dengan nada lebih lebih lembut.
"Kami butuh bantuanmu agar bisa hidup panjang."
Bisa dilihat bahwa yang ingin disampaikan beliau adalah keresahan seorang penulis ketika lama tidak menulis. Namun ketimbang menulis "aku resah karena sudah lama tidak berkarya", beliau memutuskan untuk menyampaikannya dengan mempersonifikasi huruf-huruf, dan jadilah sebuah karya surealisme yang apik.
3. Diksi yang UnikÂ
Poin ini dapat diterapkan dalam semua jenis karya fiksi, jadi silakan coba cara ini ketika menulis fiksi-fiksi jenis lain juga. Namun khususnya untuk karya fiksi surealisme, diperlukan diksi-diksi yang memanjakan mata. Hal ini sedikit tricky, karena ketika kita berbicara tentang diksi karya fiksi, pemikiran kita biasanya langsung tertuju pada pemilihan kata-kata yang rumit atau berat agar sebuah karya terasa lebih berkualitas. Menurut saya pribadi, sebagai seseorang yang cinta menulis dan cinta membaca, sebenarnya pemilihan diksi yang unik lebih penting daripada pemilihan diksi yang berat.
Karya yang dapat dijadikan acuan adalah cerpen surealisme karya Agus Noor yang berjudul Telegram. Berikut ini adalah kutipan yang digarisbawahi:
Ah, wajah yang lamat ia ingat. Wajah yang selalu murung. Kini hitam dan mengisut. Tulang pipinya mencuat. Matanya yang cekung membuat wajah itu kian tampak kesepian. Otot bertonjolan di dahi dan leher, seperti jejalin anyaman bambu rumpang.
Dalam kalimat-kalimat tersebut, beliau sedang menggambarkan kondisi fisik menyedihkan tokoh utama (yang sedang disaksikan oleh si tokoh utama sendiri) sebagai mayat. Ketimbang menulis "mayatku terlihat menyedihkan", beliau menyampaikannya dengan mendeskripsikan keadaan fisik mayat tersebut menggunakan kata-kata yang unik seperti "mengisut" (bukan "mengkerut") dan "mencuat" (bukan "menonjol").
Untuk mempermudah Kompasianer menemukan kata-kata unik, salah satu caranya adalah dengan mencari padanan kata dari kata-kata yang hendak Kompasianer gunakan, seperti misalnya di persamaankata. Biar begitu, jangan lupa untuk tetap memastikan bahwa padanan kata yang dipilih benar-benar sesuai dengan konteks karya fiksi terkait dan gaya khas Kompasianer saat menulis.
4. Tata Bahasa yang Benar
Seabstrak dan seliar apapun karya tulis surealisme yang Kompasianer tulis, jangan lupa untuk tetap berpegang pada tata bahasa yang benar. Terkadang ada karya-karya yang sengaja dibuat untuk diinterpreasi sebebas-bebasnya oleh pembaca, sehingga karya-karya tersebut dibuat seabstrak mungkin. Permasalahannya adalah seringkali karya-karya tersebut tidak disusun dengan tata bahasa yang benar karena alasan free interpreted tersebut.
Padahal, para pembaca fiksi biasanya paham juga mengenai tata bahasa, sehingga mereka dapat membedakan dengan jelas mana karya yang memang berkualitas karena kontennya yang free interpreted, dan mana yang free interpreted-nya dipaksakan (dengan membolak-balik kata secara sembarangan). Jadi, bahkan ketika Kompasiner ingin dengan sengaja membolak-balik kata-kata untuk memberikan impresi tertentu pada pembaca, jangan lupa untuk tetap berpatok pada tata bahasa yang benar, ya!
Selain poin-poin di atas, tentunya jangan lupa untuk selalu membaca buku agar wawasan mengenai fiksi surealisme dan wawasan secara umum terus bertambah. Semoga artikel ini bermanfaat. Jika ada pertanyaan lebih lanjut maupun ide-ide artikel atau fiksi yang sebaiknya saya tulis berikutnya, silakan tuliskan komentar di kolom yang tersedia atau mengirim surel ke surrealiv@gmail.com.
Terima kasih sudah membaca!Â
-
Artikel-artikel edukatif lainnya seputar fiksi dan bahasa:
Time Travelling Dalam Karya Fiksi
Unreliable Narrator Dalam Karya Fiksi
"Kapanpun" atau "Kapan Pun"?
Fiksi:
Puisi | Ragu Memilih Untuk Tetap Bodoh
Cerpen | Puluhan Nyaris Dalam Kamarmu
Cerpen | Mengulang-ulang Sarapan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI