-Kamala-
"Alka, adakah kudapan berjenis 'matahari'?" tanya saya, masih bingung dengan isi surat di tangan ini.
"Tidak, Kamala, hanya ada kue bulan. Mengapa?" Alka bertanya balik, matanya tidak lepas dari buku ilmu alam yang sedang dibacanya. Alka terlampau menyukai buku itu, ia membawanya kemana saja, bahkan ke rumah saya seperti saat ini.
"Saya baru saja dikirimi surat yang membingungkan dari manusia terkaya di dunia. Undangan ini dikirimkan ke seluruh dunia. Mungkin undangan serupa saat ini sedang menanti di kotak pos rumahmu."
"Apa isinya?" kali ini Alka menutup buku ilmu alamnya.
"Undangan makan malam... Menu utama: Matahari."
"Apa?"
Lantas saya menyerahkan surat itu kepada Alka.
-Adhisti-
Saya menerima pesan dari Ervani, sahabat saya bahwa ada semakin banyak bunga matahari yang mati di bumi ini. Bunga matahari adalah jenis tumbuhan yang paling Ervani sukai. Dulu, saya dan Ervani menangisi kepergian bunga-bunga yang mati satu persatu, namun air mata kami telah lama surut.
Percuma, air mata biar selaut pun tidak akan sanggup menyalakan kembali api kehidupan bunga-bunga itu. Saat ini, saya hanya memandangi Ervani sambil menghela napas, juga mengenang kembali hal yang terjadi di bumi bertahun-tahun yang lalu.
-Kamala-
"Mengapa memandangi saja? Baca ini," keluh saya karena Alka terus memandangi saya dengan wajah bingung.
Lalu, Alka mengambil surat itu dan mulai membacanya dalam hati, cukup lama. Setelahnya, ia memicingkan mata. "Ini meresahkan. Apakah kita sungguh akan melahap Matahari?"
Saya mengangkat bahu, "Jika itu benar, walau seandainya kita memutuskan tidak hadir, manusia-manusia lain tetap akan melahap Matahari."
"Bagaimana mungkin?"
"Mungkin ini semacam metafora belaka, Alka. Mungkin mereka tidak benar-benar akan menjamu manusia dengan Matahari yang kita kenal selama ini."
"Bisa jadi. Melahap Matahari, rasanya ganjil membayangkan manusia bisa berpikir segila itu."
-Adhisti-
Ah, manusia. Entah mereka gila atau bodoh. Mungkin bodoh lebih tepat. Bertahun-tahun yang lalu, manusia-manusia bodoh memutuskan untuk melahap seluruh Matahari. Tunggu, apakah kamu saat ini sedang mendengarkan kisah ini dari masa lalu? Dapatkah kamu membubarkan pesta makan malam itu segera?
Saya seringkali bertanya-tanya sendiri apakah mereka yang menghadiri undangan makan malam itu tidak berpikir dulu sebelum melakukannya?
-Kamala-
Setelah cukup lama saya dan Alka berpikir, akhirnya kami memutuskan untuk hadir dalam acara makan malam tersebut. Saya terbelalak melihat Matahari disajikan tak berdaya di atas meja makan yang bukan main besarnya. Ada ribuan kursi mengelilingi meja itu. Sudah banyak kursi yang diisi. Satu persatu manusia memotong sedikit bagian Matahari dan meletakannya di piring mereka masing-masing.
Mulanya saya mengambil sedikit, niat saya mencicipi saja. Suapan pertama mengejutkan saya. Matahari ternyata rasanya enak! Seperti sup tomyam, pedas dan memikat. Maka saya memutuskan untuk mengambil lebih banyak lagi.
Sejenak saya lupa saya pernah mempelajari betapa panas dan jauhnya Matahari dalam pelajaran ilmu alam dari buku kesukaan Alka. Dahulu saya juga kerap berprasangka Matahari adalah makhluk yang arogan, karena ia selalu jauh di atas sana dan sekali pun enggan menyapa. Hanya sinarnya saja yang mengintip dari jendela kamar saya.
Kini, Matahari bukan hanya kehilangan panasnya, keangkuhannya melebur dalam mulut saya dan ratusan manusia lainnya. Kunyahan demi kunyahan saya dan manusia-manusia lain seolah melenyapkan Matahari perlahan. Biar begitu, pada akhirnya kami terlalu kenyang.
-Adhisti-
Kelihatannya memang mereka kenyang karena terlampau rakus melahap Matahari, namun sesungguhnya mereka dikenyangkan keegoisan mereka sendiri, sehingga Matahari disisakan seperempat bagian.
Matahari berang dan jadi membenci manusia, lantas memutuskan untuk bersembunyi. Manusia-manusia bodoh lalu pergi meninggalkan bima sakti karena merasa tidak mungkin dapat hidup tanpa eksistensi Matahari.
Saya masih mengingat jelas permintaan maaf kawan saya yang tidak mungkin membawa saya keluar Bima Sakti bersamanya. Lantas, saya ditinggalkan. Semakin meredup suara langkah kaki kawan saya yang menjauh, semakin bergemuruh hati saya merasa kesepian, namun beberapa saat kemudian Ervani menghampiri saya. Rupanya ia juga tidak meninggalkan Bima Sakti.
Ketika matahari sadar bahwa manusia-manusia bodoh sudah tak ada lagi di bumi, bahkan dapat dipastikan kapal mereka meledak di angkasa, Matahari memunculkan dirinya hanya pada hari Kamis, demi tumbuhan-tumbuhan di bumi, yang lebih tahu berterima kasih daripada manusia-manusia bodoh yang sudah pergi itu. Ia tidak lagi datang sebilang hari seperti dulu karena trauma akibat jamuan makan malam itu.
Maka, sejak saat itu Kamis menjelma jadi Hari Perayaan Kemunculan Matahari. Seluruh tanaman yang tersisa di bumi, termasuk bunga matahari, bersorak kegirangan kala hari itu datang. Mereka semua memuja Matahari seumpama ia adalah cinta pertama yang berulang-ulang. Mereka yang sebelumnya merunduk lesu kembali tersenyum.
Pada Hari Perayaan Kemunculan Matahari, semua tanaman menari-nari sambil menyerap sebanyak mungkin energi dari Matahari yang tersisa seperempat bagian tersebut. Mereka tertawa dan bercakap. Mereka juga seringkali mengajak Matahari bersenda gurau. Meski kadang menanggapi, namun Matahari lebih banyak diam.
Perayaan selalu diakhiri dengan kebahagiaan sekaligus kesedihan. Kebahagiaan karena telah mendapatkan banyak energi untuk terus bernyawa. Kesedihan karena tidak semua tanaman kuat bertahan ketika menunggu Hari Perayaan Kemunculan Matahari berikutnya, sebagian dari mereka seringkali mati dalam penantian.
Tidakkah kamu bertanya-tanya mengapa Hari Perayaan Kemunculan Matahari jatuh pada hari Kamis? Jika kamu mendengar kisah saya ini dari masa lalu dan Matahari masih menjumpaimu setbilang hari, kamu bisa tanyakan sendiri padanya apa yang istimewa dari hari Kamis. Jangan tanya padanya terlampau pagi, ia bisa jadi masih mengantuk.
-Kamala-
Seringkali saya mengantuk namun tak tahu apakah sebaiknya terlelap atau jangan, karena saya tak lagi dapat mengenali siang dan malam. Tidak ada lagi pagi yang terlalu pagi sehingga disapa subuh, atau malam yang terlalu malam sehingga disapa larut. Itu semua karena sejak hari itu, tak ada lagi Matahari.
Saya yang merindukan Matahari akhirnya membeli setangkai bunga matahari dalam pot, warnanya memukau dan kelopaknya cantik. Mereka menjualnya dengan harga yang sangat rendah karena harapan hidup tanaman tak lagi tinggi.
Saya menamai bunga itu Adhisti, artinya matahari. "Mulai hari ini kita berkawan," ujar saya pada Adhisti. Memang tak masuk akal berpikir dia mampu mendengar saya, tapi ah, hal-hal yang terjadi di kehidupan saya akhir-akhir ini, barang satu pun tak ada yang masuk akal.
Kira-kira dua hari setelah itu, dengan tergesa, Ibu mengetuk pintu kamar saya sambil berujar, "Kamala, kemasi barang-barangmu sekarang. Kita pergi dari bima sakti sekarang juga. Tinggalkan bunga matahari yang tidak berguna itu, dia akan mati secepatnya."
Kala itu setelah berkemas, lagi, saya berucap pada Adhisti, "Adhisti, sebentar lagi seluruh manusia di bumi pergi, saya pamit. Maaf saya tidak bisa membawa kamu serta. Kupu-kupu pertama yang menghampirimu, panggil dia Ervani, artinya sahabat. Saya harap kelak dia menggantikan saya sebagai sahabatmu." Setelah itu, saya meletakkannya di halaman dan berlalu sambil bertanya-tanya apakah bunga benar-benar dapat berbincang dengan kupu-kupu.
Apakah bunga benar-benar dapat berbincang dengan kupu-kupu?
2018, L
-
Fiksi-Fiksi Lain:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H