Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Jamuan Melahap Matahari

11 Maret 2018   21:07 Diperbarui: 15 Maret 2018   01:17 1419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perayaan selalu diakhiri dengan kebahagiaan sekaligus kesedihan. Kebahagiaan karena telah mendapatkan banyak energi untuk terus bernyawa. Kesedihan karena tidak semua tanaman kuat bertahan ketika menunggu Hari Perayaan Kemunculan Matahari berikutnya, sebagian dari mereka seringkali mati dalam penantian.

Tidakkah kamu bertanya-tanya mengapa Hari Perayaan Kemunculan Matahari jatuh pada hari Kamis? Jika kamu mendengar kisah saya ini dari masa lalu dan Matahari masih menjumpaimu setbilang hari, kamu bisa tanyakan sendiri padanya apa yang istimewa dari hari Kamis. Jangan tanya padanya terlampau pagi, ia bisa jadi masih mengantuk.

-Kamala-

Seringkali saya mengantuk namun tak tahu apakah sebaiknya terlelap atau jangan, karena saya tak lagi dapat mengenali siang dan malam. Tidak ada lagi pagi yang terlalu pagi sehingga disapa subuh, atau malam yang terlalu malam sehingga disapa larut. Itu semua karena sejak hari itu, tak ada lagi Matahari.

Saya yang merindukan Matahari akhirnya membeli setangkai bunga matahari dalam pot, warnanya memukau dan kelopaknya cantik. Mereka menjualnya dengan harga yang sangat rendah karena harapan hidup tanaman tak lagi tinggi.

Saya menamai bunga itu Adhisti, artinya matahari. "Mulai hari ini kita berkawan," ujar saya pada Adhisti. Memang tak masuk akal berpikir dia mampu mendengar saya, tapi ah, hal-hal yang terjadi di kehidupan saya akhir-akhir ini, barang satu pun tak ada yang masuk akal.

Kira-kira dua hari setelah itu, dengan tergesa, Ibu mengetuk pintu kamar saya sambil berujar, "Kamala, kemasi barang-barangmu sekarang. Kita pergi dari bima sakti sekarang juga. Tinggalkan bunga matahari yang tidak berguna itu, dia akan mati secepatnya."

Kala itu setelah berkemas, lagi, saya berucap pada Adhisti, "Adhisti, sebentar lagi seluruh manusia di bumi pergi, saya pamit. Maaf saya tidak bisa membawa kamu serta. Kupu-kupu pertama yang menghampirimu, panggil dia Ervani, artinya sahabat. Saya harap kelak dia menggantikan saya sebagai sahabatmu." Setelah itu, saya meletakkannya di halaman dan berlalu sambil bertanya-tanya apakah bunga benar-benar dapat berbincang dengan kupu-kupu.

Apakah bunga benar-benar dapat berbincang dengan kupu-kupu?

2018, L

-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun