I
Ruang menulis Kompasiana bagi saya lebih dari sebuah ruang kecil dengan sebuah meja, selembar kertas putih dan pena. Kompasiana bagi saya lebih seperti rumah, besar, banyak lampu, bercat warna-warni. Ada kursi bersayap tempat saya menulis dan jutaan ide mengambang di langit-langit. Ada terlalu banyak kenangan di rumah ini, namun jika harus memilih satu saja yang paling berarti, itu adalah hari ketika saya pertama kali bertemu dengan Luana.
Luana, perempuan berambut sepundak yang selalu terlihat muram. Mulutnya yang terkatup karena sudah lelah bercerita pada manusia lain tentang ambisi-ambisinya yang mereka tertawakan, seolah memaksa saya untuk menulis kisahnya. Di rumah ini, kisahnya didengar.
Saya masih ingat pertama kali kisah Luana muncul sebagai artikel utama rumah menulis ini. Kisah-kisah yang awalnya hanya berupa paragraf-paragraf yang terasa janggal, bahkan bagi saya sendiri, dibaca oleh ratusan manusia yang entah mengaharap apa.
Saat itu saya berbisik, "hei, Luana. Kita berhasil."
II
Tak berhenti sampai di situ, kisah Luana juga dimunculkan dalam berbagai artikel, baik yang ditulis langsung oleh pengurus rumah menulis ini ([Kurasi Fiksiana] Karena Surealisme Meliarkan Imajinasimu, dan 11 Cerpen Desember 2015 Pilihan Kompasiana), mau pun yang ditulis oleh penulis-penulis senior Kompasiana yang saya kagumi, seperti Pak Ikhwanul Halim (Terinspirasi Berbagi Inspirasi), Mas Ahmad Maulana S (Dzikir Karya: Yang Fana adalah Belajar Menulis, Bebal Kita Abadi), dan sebagainya.
Selain kisah-kisah Luana, saya juga menulis kisah-kisah lain yang datang dari kegundahan Alka, Nila dan lain-lain. Beberapa dari kisah-kisah ini berdampingan dengan kisah-kisah lain dari penulis-penulis hebat yang dipertemukan dengan saya melalui komunitas-komunitas fiksi di Kompasiana, telah dibukukan menjadi antologi dan telah sampai di tangan penikmat fiksi dari berbagai daerah di Indonesia.
Dari semua buku antologi yang pernah terbit, yang paling berkesan bagi saya adalah "Malam Bulan Mati, Balkon, dan Ciuman". Saya, yang saat itu masih (dan selalu) amatir, tetiba diajak Mbak Desol untuk membuat fiksi bersambung bersama dengan penulis-penulis hebat yang sudah jauh lebih lama menggiati fiksi di kanal fiksiana, seperti mas S Aji, mbak Lilik Fatimah, mbak Putri Apriani, mas Pical Gadi dan lain-lain. Aneh rasanya menulis romansa misteri, rasanya saya yang terbiasa mengawang-ngawang diajak untuk sesekali menginjak bumi, dan berkenalan dengan Rhein yang jatuh cinta pada Gie dan bercangkir-cangkir kopi, perempuan rekaan mbak Reinara Yuki. Namun, ya, tamasya di bumi memang menyenangkan.
III
Meski telah berkisah tentang tentang banyak tokoh lain, pada akhirnya saya tetap kembali duduk sila di hadapan Luana, di lantai ruangan paling luas di rumah menulis ini. Luana selalu mengharap. Kadang ia mengharap Angkasa, kadang ia hanya mengharap segelas air putih.
Jika kamu kira seluruh tulisan ini fiksi, kamu salah. Rumah menulis ini benar-benar ada, bukan hanya itu, tahun ini adalah tahun kesembilan sejak rumah ini selesai dibangun. Luana juga benar-benar ada. Luana adalah perempuan seusiamu yang belum lama ini kamu kata-katai, padahal ia mengharap sekali saja telinganya tak panas. Luana juga adalah gadis kecil yang setiap hari meminta-minta mengharap uang (atau peluk) di lampu merah ketika kamu terjebak macet. Bisa jadi juga, Luana adalah perempuan yang kini mulai menua, yang melahirkanmu bertahun-tahun yang lalu, dan mengharap kebahagiaanmu.
Luana adalah pemilik sepasang mata yang persis matamu, yang bisa kamu temui setiap kali menatap cermin. Kamu yang paling tahu dia mengharap apa.
Rumah Menulis Kompasiana,
11-11, L
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H