Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menangis Sebegitu Tabunya dalam Dunia di Luar Kotak Merah

31 Juli 2017   16:36 Diperbarui: 4 Maret 2018   16:58 1092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parama,

Sore tadi saya terbangun di dalam kotak merah seukuran ubin kecil. Saya berjumpa dengan hari-hari di masa lampau. Kartu-kartu ucapan ulang tahun yang paling berisik.

"Selamat umur 17. Simbol lebih kecil, lalu angka tiga," ujar kartu ucapan ulang tahun pertama. Ia cantik, memiliki banyak warna, dan ada sebuah gambar permen kesukaan saya berukuran besar.

"Selamat umur 19. Kamu sekarang banyak bernyanyi, tapi tak lagi bisa saya dengar," ujar kartu ucapan ulang tahun terakhir. Warnanya hitam putih saja, dengan detail gambar not balok menari-nari di mana-mana, dan seorang wanita berambut panjang. Setidaknya begitu saya di ruang kepalamu, berambut panjang, juga lemah.

Bandul kalung di ujung kotak lebih banyak diam. Ia bijaksana karena paling tua. Harmonika perak menangis.

"Kamu tak perlu menangis karena kamu cuma satu oktaf."

"Apa menangis sebegitu tabunya dalam dunia di luar kotak merah?"

"Ya. Waktu kecil, saya tidak boleh menangis karena jatuh dan kesakitan, juga tak boleh menangis kala kehabisan puding stroberi dalam acara sekolah. Saat besar sedikit, saya tak boleh menangis ketika diejek teman-teman karena suka berganti anting-anting. Saya harus tahu itu salah saya karena baru besar sedikit sudah berlebihan. Saat dewasa, saya tak boleh menangis pada hari terakhir perjumpaan saya dengan seorang manusia yang mereka anggap tak baik. Katanya, tak baik menangisi yang tak baik. Saya tidak boleh menangisi keadaan diri. Saya hanya boleh menangis jika ada kerabat meninggal."

"Hei!" sapa mainan pinball.

"Kamu kini kusam tapi bola ini masih secantik dahulu," ujar saya sambil menunjuk bola logam dalam tubuh transparannya.

"Beberapa hal memang tak berubah sama sekali, Alka. Terutama hal-hal yang kamu simpan selamanya."

Parama,

Setelah berjumpa dengan mereka, saya terlelap. Lalu terbangun terapung di atas rambut ombakmu. Sayangnya, tak lama kemudian saya terjatuh di lantai kamar saya. Dingin.

Parama,

Saya sakit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun