Parama,
Sore tadi saya terbangun di dalam kotak merah seukuran ubin kecil. Saya berjumpa dengan hari-hari di masa lampau. Kartu-kartu ucapan ulang tahun yang paling berisik.
"Selamat umur 17. Simbol lebih kecil, lalu angka tiga," ujar kartu ucapan ulang tahun pertama. Ia cantik, memiliki banyak warna, dan ada sebuah gambar permen kesukaan saya berukuran besar.
"Selamat umur 19. Kamu sekarang banyak bernyanyi, tapi tak lagi bisa saya dengar," ujar kartu ucapan ulang tahun terakhir. Warnanya hitam putih saja, dengan detail gambar not balok menari-nari di mana-mana, dan seorang wanita berambut panjang. Setidaknya begitu saya di ruang kepalamu, berambut panjang, juga lemah.
Bandul kalung di ujung kotak lebih banyak diam. Ia bijaksana karena paling tua. Harmonika perak menangis.
"Kamu tak perlu menangis karena kamu cuma satu oktaf."
"Apa menangis sebegitu tabunya dalam dunia di luar kotak merah?"
"Ya. Waktu kecil, saya tidak boleh menangis karena jatuh dan kesakitan, juga tak boleh menangis kala kehabisan puding stroberi dalam acara sekolah. Saat besar sedikit, saya tak boleh menangis ketika diejek teman-teman karena suka berganti anting-anting. Saya harus tahu itu salah saya karena baru besar sedikit sudah berlebihan. Saat dewasa, saya tak boleh menangis pada hari terakhir perjumpaan saya dengan seorang manusia yang mereka anggap tak baik. Katanya, tak baik menangisi yang tak baik. Saya tidak boleh menangisi keadaan diri. Saya hanya boleh menangis jika ada kerabat meninggal."
"Hei!" sapa mainan pinball.
"Kamu kini kusam tapi bola ini masih secantik dahulu," ujar saya sambil menunjuk bola logam dalam tubuh transparannya.
"Beberapa hal memang tak berubah sama sekali, Alka. Terutama hal-hal yang kamu simpan selamanya."