"Mawar saja."
"21 tahun."
"Belum, tentu saja."
"Animisme."
"Apa? Mengapa tidak boleh?"
"Oh baik. Apa saja pilihannya? Hmm... Â saya pilih yang ini."
"Makanan ringan astronot."
"Bukan. Saya seorang penulis."
"Apa bubur bayi cuma boleh dimakan bayi? Apa lampu tidur cuma boleh dinyalakan di malam hari?"
"Baik. Roti bakar rasa keju."
"Membaca. Namun kadang saya juga melukis untuk mengisi waktu luang."
"Kemarin pukul tiga sore? Ya, saya membaca."
"Di awan."
"Saya tidak main-main."
"Sendiri."
"Mengapa membaca perlu kawan? Saya tidak perlu dipantau ketika sedang membaca."
"Di awan..."
"Mengapa tidak mungkin?"
"Pakai sayap, tentu saja."
"Tuan, Anda perlu lebih banyak berkawan dengan penulis."
"Tidak kenal. Wanita di seberang rumah selalu duduk di sisi jendela dan terlihat muram. Ia jarang keluar rumah dan sepertinya enggan disapa. Namun saat kematiannya diberitakan, saya sedang berada di atas awan."
"Namun bagaimana dengan alasan tukang taman yang sedang menyiram putri malu kala ia meninggal, sementara tak ada putri malu di halaman rumahnya? Atau alasan gadis sebelah rumah yang sedang berjemur di loteng, padahal saat itu hujan deras?"
"Tahukah Tuan bahwa manusia bisa terbakar dengan sendirinya akibat energi yang dihasilkan dalam diri?"
"Tuan perlu lebih banyak membaca."
"Hei, tunggu! Tunggu!"
Sejak saat itu saya tak pernah melihat Mawar di ruang itu lagi, tak juga di jalan raya atau di rumahnya. Anehnya, setiap hari sebuah gedung kelabu di kota ini kehujanan. Sepertinya, awan-awan sengaja berkumpul di sana.
Ah, sudahlah,
13 Juli 2017, Livia Halim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H