Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luana, Apa Cita-citamu?

6 April 2017   19:01 Diperbarui: 6 April 2017   19:12 1345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Luana, apa cita-citamu?

“Lagi-lagi!” batin Luana. Ini sudah yang ketiga kalinya Luana membuat e-mail, namun ia masih saja menerima  pesan misterius dari alamat e-mail yang tak dikenalnya. Isinya selalu sama.

Luana, apa cita-citamu?

Luana, apa cita-citamu?

Luana, apa cita-citamu?

Luana pernah membalas sekali, “Ini siapa? Mimpi saya jadi pelukis.” Tapi sesuai dugaan Luana sebelumnya, jawaban itu bukan yang dicari oleh si pengirim pesan. Biar begitu, Luana tidak tahu apa yang sebenarnya dicari si pengirim. Semakin banyak pesan yang masuk, Luana semakin berpikir bahwa mimpinya mungkin bukan jadi pelukis.

Di kota tempat Luana tinggal, pelukis adalah pekerjaan paling mulia dan dokter adalah pekerjaan paling hina. Semua anak muda di kota Luana bermimpi jadi pelukis. Namun, banyak dari mereka yang gagal karena persaingan yang terlalu ketat. Anak-anak muda yang gagal jadi pelukis terpaksa menjadi dokter. Kemudian mereka dicaci maki karena meminta uang dari orang sakit.

Semua orang tua di kota Luana memaksa anaknya jadi pelukis. “Pelukis itu pekerjaan yang sangat berharga, Luana,” kata ayah setiap hari saat Luana kecil dulu. Luana kecil mengangguk. “Jangan sampai kamu cuma jadi dokter. Apa bagusnya jadi dokter? Dokter adalah pekerjaan untuk orang-orang yang tidak bisa menggambar. Kemampuan mereka cuma menghafal dan meganalisa. Semua orang juga bisa meghafal dan menganalisa. Membedah mayat adalah pekerjaan yang terlalu mudah dan biasa.”

Di kota Luana, manusia yang tidak memenuhi standar orang pada umumnya akan dihina seumur hidupnya. Luana pernah mendengar ada seorang gadis beramut biru yang dikucilkan karena semua orang di kota ini berambut merah muda. Gadis itu dianggap beracun.

E-mail yang sama berulang-ulang? Itu namanya teror, Luana. Laporkan saja ke polisi.” ujar seorang kawan.

Maka Luana melaporkannya, namun polisi di kotanya menolak untuk menyelidiki hal tersebut. Mereka menganggap Luana membual.

“Adik kecil, buat apa seseorang menerormu tentang mimpi. Semua orang di kota ini tahu bahwa cita-cita setiap orang adalah jadi pelukis. Pulanglah ke rumah, membantu ibu membersihkan rumah, cuci kaki dan tidur segera.”

“Saya punya bukti terornya, Pak Polisi.”

Namun polisi hanya terbahak, mengambil secangkir kopi yang ada di meja, dan masuk ke dalam. Luana ditinggalkan sendirian di bagian depan kantor polisi. Maka Luana pulang dan memutuskan menyelidiki sendiri siapa pengirim misterius itu. Namun semakin jauh ia menerka pengirimnya, semakin jauh ia berpikir benarkah ia ingin jadi pelukis.

Benarkah saya ingin jadi pelukis?

Benarkah saya ingin jadi pelukis?

Luana membuat e-mail baru.

dubium@mail.com

Klik!

“Apa?”

Anda sudah mendaftarkan alamat e-mail ini sebelumnya. Silakan lakukan prosedur login.

Luana menengok nota kecil yang ia tempel di sudut cermin riasnya.

Luana@mail.com, password: Luana123

Luanaluana@mail.com, password: Luana456

IniLuana@mail.com, password: Luana678

Fiksi-fiksi lain:

Lelaki Berambut Ombak

Jika Saja Lupa Menghilangkan Angkasa

Sandiwara di Balik Jendela

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun