Akhirnya saya bertemu Luana lagi. Mata cokelatnya cerah, rambut dan pakaiannya rapi, dan ia terlihat sehat. Ia berkisah banyak hal. Luana bilang, pernah ada masa-masa di mana ia hanya mengurung diri di kamar.
“Tidak membaca?”
Luana menggeleng.
“Tidak menulis?”
Menggeleng lagi.
“Tidak mengirim pesan ke Angkasa?”
Lagi-lagi menggeleng.
“Tidak makan,” tambahnya. “Tapi sekarang, semuanya sudah baik-baik saja.”
Luana berkisah dulu ia bercakap dengan cermin setiap hari, selama berjam-jam hingga ia ketakutan melihat wajahnya sendiri. Ia enggan bertemu dengan orang lain, ia malu karena matanya selalu bengkak dan sembab, dan rambutnya selalu kusut. Luana menceritakan semua hal yang dialaminya pada cermin, lantas berkali-kali meminta maaf karena selalu salah. Luana pernah membanting cerminnya karena ia tidak dimaafkan. Pecahan cermin itu akhirnya melukai dirinya sendiri.
“Bukan itu hal yang seharusnya kamu lakukan jika tidak dimaafkan,” ujar saya.
“Ya, tapi semua teratasi ketika saya membeli cermin baru.”
Ia meminta maaf juga kepada cermin yang baru. Menceritakan hal-hal yang dialaminya lagi. Sesekali menangis, sesekali tertawa. Lebih sering melakukan keduanya sekaligus. Suatu kali, ia tak lagi melihat mata bengkak dan rambut kusut di cermin. Ia mulai melihat mata yang cerah meski sendu, dan rambut yang halus dan disisir rapi.
“Tapi kamu belum keluar dari kamar?” tanya saya.
Ia menggeleng. Semua hal di luar kamar mengingatkannya pada kesedihannya. Terutama langit biru yang membentang luas tempat Angkasa tinggal. Karena itu, ia membuang semua pensil warna biru di kamarnya ke jendela, begitu juga dengan selimut biru dan semua hal berwarna biru di kamarnya. Setelah merasa lebih baik, Luana akhirnya tidak lagi bicara pada cermin.
“Mulai membaca?”
Ia mengangguk.
“Mulai menulis?”
Mengangguk lagi.
“Menulis sebanyak-banyaknya agar lupa,” tambahnya.
“Menulis tentang apa?”
“Tentang hal-hal yang selama ini saya perjuangkan untuk lupakan, tentang saya yang perlahan-lahan bisa memaafkan diri sendiri. Tentang mengapa saya akhirnya menulis lagi.”
Luana tidak pernah memandang mata saya ketika bicara. Ia lebih banyak berfokus pada suara-suara dalam kepalanya dibanding suara saya. Kini, matanya berair sedikit.
“Angkasa masih tinggal di langit?” tanya saya sambil menengadah, mencoba mencari-cari keberadaannya.
Luana menutup mata, “masih.”
“Mana?”
Luana masih menutup matanya, ia tidak menjawab. Ia menyimpan langit dalam kepalanya, mencipta jalan pintas untuk melihat Angkasa dengan mata terpejam. Pipinya basah. Saya menyerahkan selembar sapu tangan padanya, namun Luana menghilang. Ia sudah kembali ke kamarnya.
-
Merangkak ke Saku Angkasa | Minum Dari Cangkir Angkasa | Angkasa Menghilang | Menginap di Dalam Kotak Pensil Warna Isi Sebelas | Mengunyah Angkasa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H