Ia meminta maaf juga kepada cermin yang baru. Menceritakan hal-hal yang dialaminya lagi. Sesekali menangis, sesekali tertawa. Lebih sering melakukan keduanya sekaligus. Suatu kali, ia tak lagi melihat mata bengkak dan rambut kusut di cermin. Ia mulai melihat mata yang cerah meski sendu, dan rambut yang halus dan disisir rapi.
“Tapi kamu belum keluar dari kamar?” tanya saya.
Ia menggeleng. Semua hal di luar kamar mengingatkannya pada kesedihannya. Terutama langit biru yang membentang luas tempat Angkasa tinggal. Karena itu, ia membuang semua pensil warna biru di kamarnya ke jendela, begitu juga dengan selimut biru dan semua hal berwarna biru di kamarnya. Setelah merasa lebih baik, Luana akhirnya tidak lagi bicara pada cermin.
“Mulai membaca?”
Ia mengangguk.
“Mulai menulis?”
Mengangguk lagi.
“Menulis sebanyak-banyaknya agar lupa,” tambahnya.
“Menulis tentang apa?”
“Tentang hal-hal yang selama ini saya perjuangkan untuk lupakan, tentang saya yang perlahan-lahan bisa memaafkan diri sendiri. Tentang mengapa saya akhirnya menulis lagi.”
Luana tidak pernah memandang mata saya ketika bicara. Ia lebih banyak berfokus pada suara-suara dalam kepalanya dibanding suara saya. Kini, matanya berair sedikit.