-Sore tadi-
“Luana, dari mana kamu dapat gaun itu?” tanya seorang gadis kecil sambil menunjuk gaun hitam pendek yang saya pakai hari ini. Saya tidak ingat pernah mengenal gadis yang duduk di sebelah saya ini. Mungkin saya lupa.
“Gaun ini milik ibu saya ketika muda, Adik Kecil. Dia memberikannya pada saya. Sebelumnya panjangnya semata kaki, tapi saya potong sendiri agar saya bisa memadukannya dengan sepatu boots selutut.”
Gadis kecil itu mengangguk mengerti “Gaun itu pasti memiliki kisah lain. Pasti ada penyebab mengapa ibumu terus menyimpan gaun mudanya hingga usiamu cukup untuk memakai gaun itu.”
“Mungkin saja,” saya tersenyum. “Gaunmu sendiri? Dari mana kamu dapat gaun itu?”
Gadis kecil itu memandang lurus ke depan. Tidak ada apa-apa di hadapannya, hanya hamparan rumput hijau yang luas. Taman tempat kami sama-sama duduk sore ini memang besar sekali. Mungkin ia memang tidak memandangi apapun, itu hanya caranya untuk mengingat sebuah kisah dalam benaknya.
“Luana suka mendengar kisah yang panjang?” tanyanya kemudian.
“Ya.”
“Satu minggu yang lalu, sebelum tidur saya bertemu dengan seseorang. Matanya bersinar dan ia memiliki sepasang sayap yang indah. Ia masuk ke kamar saya melalui jendela.”
Ah, rupanya ia terlalu banyak membaca dongeng.
“Apa yang dia lakukan di kamarmu pada malam hari? Kamu tidak takut? Maksud saya, saya akan sangat takut kalau tiba-tiba ada manusia bersayap masuk ke dalam kamar saya pada malam hari. Meski sayapnya indah dan matanya bersinar.”
“Anehnya, saya tidak takut. Saya langsung yakin bahwa dia tidak jahat. Dia duduk di ujung ranjang saya dan memperlihatkan sebuah keranjang berisi awan putih yang ia bawa. Katanya dia ingin membuatkan sebuah gaun untuk saya.”
“Gaun berbahan awan?”
“Benar Luana. Lantas ia menjahit sendiri awan itu menjadi gaun putih yang cantik ini, di depan mata saya.”
“Wah. Pasti sangat menyenangkan. Apakah dia mengatakan sesuatu padamu?”
“Dia bilang, dia ingin bertemu saya di taman ini, hari ini jam tiga sore, dan ia ingin saya memakai gaun putih ini. Setelahnya, dia pamit dan terbang ke luar,” jawabnya.
“Jadi kamu sedang menunggu dia sekarang?”
Si gadis kecil mengangguk, sambil tersenyum lebar.
Saya mengecek jam tangan saya, lantas menarik napas.
“Saya mau pulang sekarang, Adik Kecil. Kisah gaunmu menarik. Sampai bertemu lagi, ya!” ujar saya, kemudian berdiri dan berjalan pulang, tanpa memberi tahu gadis itu bahwa gaun yang dipakainya berwarna hitam.
***
-Malam ini-
Aneh. Saya masih belum tertidur selarut ini. Mungkin saya sudah terlalu banyak tidur kemarin. Mungkin juga saya menderita insomnia. Sejak tadi, saya membuang-buang waktu dengan memikirkan banyak hal. Saya memikirkan mengapa warna pelangi hanya ada tujuh, mengapa nama saya Luana, mengapa saya suka warna hitam, mengapa warna hitam bukan bagian dari warna pelangi, dan mengapa saya belum tidur.
Saya mulai berpikir sebaiknya saya mengisi waktu dengan merapikan ranjang saya. Kemudian, saya mengganti seprainya, memasangkan seprai baru dengan hati-hati, dan memastikan semua ujungnya sama rapi.
Saya ingin memejamkan mata, tapi mata saya terus memandangi jendela kamar saya,
yang sengaja tidak saya tutup.
2 Juli 2016, L
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H