[caption caption="Ilustrasi - surat (Shutterstock)"][/caption]Dua hari yang lalu saya baru membeli sebuah pena. Pena-pena yang lama sudah tidak bisa dipakai, bagian ujungnya masuk ke dalam. Kata Ibu, saya terlalu menekan penanya saat menulis dan menggambar. Tapi saya menekan pena karena sedih. Mengungkapkan rasa sedih dengan menekan pena jauh lebih baik daripada membanting meja, atau menusuk kamu.
Agar tidak kehabisan uang jajan, pena baru ini saya pakai pelan-pelan. Saya menamainya agar tidak hilang. Saya juga tidak pernah menekannya sedikit pun. Saya menulis perlahan, menggambar perlahan. Saya melakukan hal-hal yang saya bisa lakukan agar pena baru tetap awet. Saya ingin kamu juga melakukan hal-hal yang menjadi bagian kamu agar pena tidak rusak. Agar pena tidak terpaksa saya tekan-tekan ketika menulisi kamu surat. Agar pena tidak terpaksa saya tekan ketika menggambar pemikiran-pemikiranmu. Agar ujung pena tidak berakhir di bola mata kamu.
Ha. Saya bisa menghukum diri saya sendiri kalau bola mata kamu terluka.
Jadi lupakan saja.
***
Saya sudah menulis puluhan surat kepada kamu hari ini. Saya keluar dari rumah dan membawa sebuah kardus besar berisi surat-surat itu. Saya berjalan sejauh mungkin dari rumah. Semua surat saya lemparkan ke langit. Surat-surat saya sebelum hari ini selalu kembali jatuh ke tanah. Tapi hari ini, tidak ada satu pun surat yang jatuh ke tanah. Saya tahu kamu menerimanya, Angkasa. Meski tidak ada balasan secarik pun. Mungkin kamu tidak membalas karena pertanyaan-pertanyaan saya terlalu retorik.
Apa kabar, A?
Tidak ada yang lebih baik daripada tinggal di atas langit. Tidak ada yang lebih baik daripada berwarna biru muda, serupa laut, serupa pensil warna yang paling sering habis. Saya tahu, Angkasa. Saya cuma ingin ditanya kabar juga. Meski tidak ada yang menarik dari diri saya.
Apakah kamu sedang sibuk?
Kalaupun kamu sedang tidak sibuk, kamu tetap tidak mempunyai alasan yang cukup kuat untuk membalas surat saya.
Bagaimana rasanya cantik?