Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Angkasa Menghilang

28 Desember 2015   22:09 Diperbarui: 28 Desember 2015   23:11 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sedang apa, Luana?” tanya Angkasa suatu malam sambil menepuk pundak saya.

“Menanam biji mata,” jawab saya.

“Biji mata siapa?”

“Biji mata saya.”

“Mengapa?”

 “LUANA! Mengapa kamu bicara sendiri lagi?” saya mendengar suara ibu dari dalam rumah.

Angkasa menghilang.

***

Berhari-hari setelahnya, saya mencari Angkasa ke mana-mana. Saya mencari di dalam lemari pakaian, siapa tahu ia terlipat bersama dengan gaun-gaun cantik kesukaan saya. Saya mencari di dalam buku-buku partitur piano, siapa tahu ia terselip di antara nada-nada yang sering saya senandungkan. Saya juga mencari warna biru mudanya di dalam kotak pensil warna, tapi tidak ada.

“Kamu tahu di mana pensil warna biru muda Angkasa milik saya?” tanya saya kepada Kaira.

“Bukankah warna biru hanya ada sejenis?” tanyanya balik sambil menunjuk pensil warna yang selama ini saya kira disebut biru tua.

“Biru muda, Kaira! Lebih muda dari ini. Seperti warna Angkasa!”

Kaira mengangkat bahu, “lagipula, Luana, seandainya warna biru muda Angkasa yang kamu cari-cari itu benar-benar ada, seharusnya saya juga memilikinya, seharusnya semua orang yang membeli sekotak pensil warna memilikinya. Seharusnya saya bisa pinjamkan untuk kamu.”

“Sebentar, Kaira. Kalau begitu es krim rasa permen karet warnanya apa? Setahu saya warnanya biru muda, seperti Angkasa.”

“Kita sudah bukan main seringnya makan es krim rasa permen karet bersama-sama, Luana. Warnanya ungu, kan?”

Saya terdiam. Mungkin Angkasa sedang bertamasya. Kemudian saya pulang ke rumah untuk menyirami biji mata yang saya tanam sebelumnya, sambil menenteng sekotak pensil warna isi sebelas.

Biji mata yang saya tanam sudah bertumbuh cukup tinggi. Tadinya saya berniat memberikan banyak biji mata kepada Angkasa, agar ia dapat melihat warnanya sendiri melalui biji mata saya, atau agar ia bisa memakannya kala ia benci saya. Agar saya tahu kapan saya dibenci, agar saya tidak perlu kesulitan menerka arti diamnya Angkasa seperti yang selama ini selalu terjadi. Ibu sudah berkali-kali mengingatkan untuk mencabut tanaman biji mata itu. “Menuh-menuhin pekarangan rumah saja!” ujarnya.

Berkali-kali juga saya berdalih warna tanaman itu hendak saya berikan kepada Angkasa kelak, namun ibu berkata ia tidak mengenal Angkasa, dan sebelumnya ia tidak pernah mendengar saya membicarakan Angkasa. Ibu bilang saya kurang istirahat, tapi menurut saya ibu hanya lupa.

Tanaman biji mata itu tumbuh semakin tinggi dan tinggi. Akarnya juga memanjang dan merusak pot. Namun Angkasa tak juga kembali. Tanaman itu kini sudah berbuah banyak. Mungkin ibu benar, tanaman biji mata hanya memenuhi pekarangan rumah saja. Sebagian diri saya tahu Angkasa tidak akan kembali. Meski begitu, harga sekotak pensil warna tetap sama meski kini tidak ada warna biru muda Angkasa. Saya merugi.

Saya berencana untuk membuang tanaman itu.

***

Hari ini ketika saya pulang ke rumah, ibu memberikan sebuah kabar yang mengejutkan saya.

“Tadi Angkasa yang kamu sebut-sebut itu datang kemari. Ia meminta tanaman biji mata yang kamu tanam, maka ibu memberikannya.”

Kemudian saya masuk ke dalam kamar, mengobrak-abrik laci meja belajar saya dengan kalap, untuk mencari kotak pensil warna saya.

Isinya masih sebelas.

***

 

 

 

Kotak pensil warna isi sebelas,

28 Desember 2015, Livia Halim

 

Fiksi-fiksi lainnya:

Tulang Punggungmu Sakit, Luana

Minum Dari Cangkir Angkasa

Merangkak ke Saku Angkasa

Sepercik Luka di Lantai Tempat Kita Pernah Menari

Ruang Terbang Parama

Lorong Topeng Kelinci

 

Sumber ilustrasi: www.markryden.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun