Setelah bersusah payah seharian,
Akhirnya saya berhasil membelah jiwa saya jadi dua.
Sepotong untuk saya,
Sepotong lagi untuk Angkasa.
Â
Sepotong jiwa itu saya cat warna ungu pastel,
Kemudian saya lipat dengan rapi.
Padahal saya tidak mahir melipat.
Jangankan origami, melipat selimut saja tidak becus.
Â
Mata kanan saya memberi isyarat.
Saya langsung paham.
Â
Kemudian saya memasukkan sepotong jiwa dan mata kanan,
ke dalam kotak kado warna merah.
Diberi pita hijau agar cantik.
Saya selipkan kertas wangi bertuliskan,Â
'Selamat natal, Angkasa'.
Â
"Isinya apa?" tanya Angkasa ketika saya menyerahkannya.
"Yang pertama mata kanan," jawab saya.
"Mengapa?"
"Saya dengar kamu tidak tahu warnamu biru muda.
Pakai saja mata saya untuk melihatnya."
"Yang kedua?"
"Yang kedua sepotong jiwa."
"Hei, bukankah kamu mengasihi jiwa kamu?
Mengapa diberikan ke saya sepotong?"
Ah.
Â
Pertanyaanmu retorik, A.Â
Â
Â
Â
22 Desember 2015, Livia Halim
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H