Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Minum dari Cangkir Angkasa

8 Desember 2015   15:22 Diperbarui: 10 Januari 2016   13:45 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari itu saya mendapati Angkasa menangis. Rupanya Vena pergi, atau mati, saya tidak tahu, meski saya berharap yang ke dua. Tangannya bergetar, sambil menggenggam secangkir teh panas. Titik-titik air matanya jatuh ke dalam teh, dan ia meminumnya sendiri.

“Air matanya untuk apa? Agar tehnya manis? Atau agar tehnya menjelma menjadi ramuan yang bisa memanggil Vena kembali?” tanya saya ragu-ragu.

Angkasa memandang saya dengan tatapan kosong. Mungkin ia merasa tersindir, atau sedih, entahlah. Yang pasti Angkasa diam, tampaknya ia tidak mau bicara dengan saya. Maka saya juga diam, dan pergi, meski dalam hati mengutuki Vena mati-matian

Saya tahu apa yang paling Angkasa kagumi dari Vena, rambut panjangnya yang sepinggang. Warna rambut Vena hitam pekat, cantik sekali. Sama pekatnya dengan mata bundarnya, dan sayangnya sama pekatnya juga dengan hatinya.

Saya memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak sebelum pulang ke rumah. Saya menghentikan langkah ketika membaca sebuah iklan yang tertulis di pintu kaca sebuah toko, “DIJUAL: syampo pemanjang rambut, bisa memanjangkan rambut dengan cepat”. Saya pun masuk ke toko itu, mengambil sebotol syampo pemanjang rambut itu, kemudian membelinya.

Beberapa hari setelah mencoba syampo itu, saya bertanya kepada seorang kawan apakah ada perpanjangan signifikan dari rambut saya yang selama ini panjangnya tidak pernah melebihi bahu. Ia berkata tidak ada. Maka saya memutuskan akan meminum syampo ajaib itu. Saya pernah mendengar bahwa segala sesuatu lebih baik jika ditanamkan dari dalam.

Saya sendiri penasaran, seperti apa rasanya jika beberapa tetes syampo pemanjang rambut dicampurkan ke dalam teh panas. Rasanya pasti tidak akan semanis ramuan air mata Angkasa, namun apa salahnya jika rambut saya bisa bertambah panjang sampai sepinggang kelak. Mungkin kelak Angkasa akan berhenti menangis. Mungkin kelak Angkasa mau berbagi tehnya dengan saya, mungkin kelak teh Angkasa yang kami minum bersama tidak bercampur dengan air matanya, melainkan air mata Vena.

***

Saya memutuskan untuk menghampiri Angkasa pada suatu sore. Saya membawa serta syampo pemanjang rambut dan secangkir teh panas. Angkasa sedang duduk menikmati tehnya ketika ia menyadari keberadaan saya.

“Luana?” sapanya spontan ketika melihat saya.

Angkasa tidak lagi menangis. Matanya kering. Namun saya bisa mendengar suara tetes-tetes air mata di bagian lain dalam dirinya.

“Boleh ikut duduk?” tanya saya. Ia mengangguk.

Saya menuangkan syampo ajaib itu ke dalam teh saya. Angkasa memandangi apa yang saya lakukan dengan heran.

“Apa yang kamu lakukan, Luana?” tanyanya. Ia tidak terdengar penasaran, saya cukup tahu diri bahwa itu adalah pertanyaan basa-basi. Karena basa-basi, jadi tidak perlu ada jawaban.

“Cheers?” saya mengangkat cangkir saya sambil memandang matanya.

Angkasa tertawa. Tawa pertama yang saya lihat sejak kepergian Vena. Ia mungkin mengira saya tidak benar-benar ingin meminum campuran syampo pemanjang rambut dan teh di cangkir saya. Maka Angkasa juga mengangkat cangkirnya.

“Cheers!” ujarnya, masih dengan tawa yang sama, tawa yang jika diperlihatkan kepada bulan akan membuat sang bulan merasa bersalah karena selama ini selalu menganggap dirinya lah yang paling cantik.

Cangkir kami bertemu. Ting!

Angkasa langsung menghabiskan isi cangkirnya, sementara saya meneguk isi cangkir saya perlahan. Saya dapat melihat Angkasa terkejut karena saya benar-benar minum dari cangkir saya.

“Luana! Luana! Hentikan!” serunya. Ia mengambil cangkir yang saya genggam. Ia terlihat sangat khawatir.

“Kembalikan cangkirnya, Angkasa…” ujar saya. Saya tidak menyangka bahwa saya masih hidup setelah meminum syampo, bahkan saya merasa lebih segar dari sebelumnya.

“Luana, syamponya jangan diminum. Lebih baik kita berenang-renang di dalamnya,” ucap Angkasa sambil menunjuk botol syampo pemanjang rambut.

“Apa?”

Angkasa membuka tutup syampo, kemudian menggenggam tangan saya. Ia membawa saya masuk ke dalam botol syampo itu.

Aneh. Saya bisa bernafas di dalam cairan syampo. Samar-samar saya dapat melihat malam datang dengan gaun panjangnya yang paling mewah, dan bintang-bintang kecil yang cantik menari-nari di dalam botol syampo bersama kami.

Sayang sekali, semua itu tidak berlangsung lama, karena selanjutnya bintang-bintang kecil mematung. Ujung botol yang sebelumnya terlihat dengan mudahnya karena cahaya bulan yang mengintip malu-malu kini tidak lagi terlihat.  Rupanya sebuah mata sedang mengintip ke dalam botol syampo kami, mata cantik berwarna hitam pekat yang selama ini selalu dipuja Angkasa.

Angkasa lupa saya, ia terbang ke arah mata pekat.

Saya berenang-renang sambil minum syampo.

***

 

 

 

Botol syampo pemanjang rambut,

8 Desember 2015, Livia Halim

 

 

Fiksi-fiksi lain:

1. Merangkak ke Saku Angkasa

2. Ruang Terbang Parama

3. Sepercik Luka di Lantai Tempat Kita Pernah Menari

4. Lorong Topeng Kelinci

 

Sumber ilustrasi: www.markryden.com

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun