“Boleh ikut duduk?” tanya saya. Ia mengangguk.
Saya menuangkan syampo ajaib itu ke dalam teh saya. Angkasa memandangi apa yang saya lakukan dengan heran.
“Apa yang kamu lakukan, Luana?” tanyanya. Ia tidak terdengar penasaran, saya cukup tahu diri bahwa itu adalah pertanyaan basa-basi. Karena basa-basi, jadi tidak perlu ada jawaban.
“Cheers?” saya mengangkat cangkir saya sambil memandang matanya.
Angkasa tertawa. Tawa pertama yang saya lihat sejak kepergian Vena. Ia mungkin mengira saya tidak benar-benar ingin meminum campuran syampo pemanjang rambut dan teh di cangkir saya. Maka Angkasa juga mengangkat cangkirnya.
“Cheers!” ujarnya, masih dengan tawa yang sama, tawa yang jika diperlihatkan kepada bulan akan membuat sang bulan merasa bersalah karena selama ini selalu menganggap dirinya lah yang paling cantik.
Cangkir kami bertemu. Ting!
Angkasa langsung menghabiskan isi cangkirnya, sementara saya meneguk isi cangkir saya perlahan. Saya dapat melihat Angkasa terkejut karena saya benar-benar minum dari cangkir saya.
“Luana! Luana! Hentikan!” serunya. Ia mengambil cangkir yang saya genggam. Ia terlihat sangat khawatir.
“Kembalikan cangkirnya, Angkasa…” ujar saya. Saya tidak menyangka bahwa saya masih hidup setelah meminum syampo, bahkan saya merasa lebih segar dari sebelumnya.
“Luana, syamponya jangan diminum. Lebih baik kita berenang-renang di dalamnya,” ucap Angkasa sambil menunjuk botol syampo pemanjang rambut.