Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Cerpen: Sepercik Luka di Lantai Tempat Kita Pernah Menari

26 September 2015   17:46 Diperbarui: 24 November 2015   23:46 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Mala bilang kamu dulu suka menari di sini?” tanya Pijar tiba-tiba. Saya tahu ini akan jadi dialog yang langka. Dialog yang tidak tentu lahir kembali esok.

“Iya, tapi sebenarnya saya tidak bisa menari. Sekolah kami punya mata pelajaran seni tari. Maka kami berlatih di sini untuk persiapan tes mata pelajaran itu,” jawab saya.

“Nanti, kamu bisa menari di atas piano. Kalau beruntung, mungkin kaki-kakimu menginjak tuts yang tepat. Mungkin juga melahirkan nada-nada yang kelak kamu senandungkan seumur hidup,” jawaban Pijar mengehentikan detik jarum jam seketika.

“Saya tidak bisa main piano juga,” ujar saya sambil menggeleng, berusaha terlihat normal.

Pijar hanya tersenyum , kemudian melukis lagi. Saya menoleh ke arah jam dinding. Jarum-jarumnya masih membeku. Saya sendiri lupa cara bernapas.

Saya tahu buat Pijar dialog ini tidak ada artinya. Saya tahu ia bahkan tidak sadar bahwa kata-katanya menghentikan detik jarum jam. Kita semua punya firasat. Dalam hal ini saya merasa ada semacam pesan tak terjelaskan yang saya tangkap. Pesan yang menyakitkan. Saya lelah dengan senyum formalitas Pijar, dialog formalitas Pijar, dan semuanya. Semua yang dia lakukan, baginya hanyalah formalitas, sementara bagi saya, senyum dan dialognya adalah tempat liburan paling mewah di seluruh dunia.

Itulah kali pertama saya terluka. Di tangan kanan saya tiba-tiba muncul sebuah luka, dengan cahaya warna-warni memercik dari dalamnya. Saya kaget, namun semacam sadar bahwa Pijar telah menorehkan luka paling indah yang pernah saya derita, tanpa menyentuh saya secara harafiah, sedikitpun.

“Kiran, mengapa keluar percik warna-warni dari tanganmu?” tanya Pijar tiba-tiba.

“Ini luka yang tidak bisa saya jelaskan.”

Pijar tersenyum lagi, senyum formalitas lagi, kemudian kembali melukis lantai. Saya berlari ke luar.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun