Secara tidak formal, sebagai akademisi saya membuat survey secara langsung kepada 130 orang mahasiswa sebagai sampelnya dengan memberikan pertanyaan "Pada pilkada kota Batam yang akan datang, pasangan mana yang anda pilih: a). Pasangan politisi -- polisi, b). pasangan Politisi-non politisi, c). pasangan non politisi-politisi, d). pasangan non politisi-non politisi. Dari keempat alternatif jawaban sebanyak 27 orang (21%) menjawab point (a), 61 orang (47%) menjawab point (b), 22 orang (17%) menjawab point (c), dan 20 orang (15%) menjawab point (d).
Jika memperhatikan persentase jawaban di atas, sangat jelas bahwa animo masyarakat sekarang cenderung menginginkan kepala daerah kota Batam berasal dari pasangan politisi-non politisi. Ini bukan sesuatu yang baru, sebab sebagaimana telah di atas beberapa daerah kabupaten dan walikota pada pilkada 2018 yang lalu juga dimenangkan oleh duet pasangan ini. Alasannya tentu saja beragam argumentasi yang berkembang di masyarakat, namun akhir-akhir ini memang kelihatan semakin menurunnya kepercayaan masyarakat pada politisi di kota Batam ini. Dan fenomena ini bukan saja terjadi di kota Batam, akan tetapi juga secara nasional.
Boleh kita lihat bagaimana pernyataan masyarakat yang diwakili oleh mahasiswa yang berunjuk rasa di kantor DPR RI maupun di DPRD kota Batam beberapa waktu yang lalu. Â Terjadinya distrust masyarakat pada figur politisi khususnya dalam konteks pemilihan kepala daerah setidaknya dapat menjadi perhatian dan pertimbangan partai yang akan mengusung calon walikota dan wakil walikota Batam pada Pilkada 2020 mendatang. Ketidakpercayaan ini lahir akibat masyarakat menganggap kinerja politisi yang duduk di legislatif sangat diragukan. Â Â
Apatisme Masyarakat Pada Pilkada
Gejala lain yang seringkali muncul pada setiap event pemeilihan kepala daerah adalah sifat apatisme masyarakat. Mereka acuh tak acuh dengan pemilihan kepala daerah. Hal ini juga muncul akibat  rasa puas dengan kinerja dan kebijkan kepala daerah tersebut yang dianggapnya tidak berpihak pada masyarakat kalangan bawah. Sehingga hak-hak mereka seringkali terabaikan.
Sebaliknya hal yang berbeda bisa terjadi, dimana figur yang maju menjadi calon walikota dan wakil walikota adalah figur yang dianggap populer di tengah-tengah masyarakat. Tentu saja kepopuleran ini karena yang bersangkutan dianggap mampu mengambil simpati masyarakat melalui pendekatan sosial (social approach) yang telah lama ia lakukan. Olehnya itu, jika figur ini berhasil masuk dalam bursa calon baik sebagai walikota maupun wakil walikota akan menguntungkan pasangan tersebut.
Secara psikologi pemilih, mengapa duet antara pasangan politisi-politisi tidak mendapat respon positif di kalangan masyarakat pada setiap pemilihan kepala daerah adalah karena masyarakat menganggap kedua pasangan yang berasal dari kader partai cenderung lebih mengedepankan kelompoknya sendiri dibanding dengan masyarakat umum. Sehingga dalam membuat kebijakan cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat luas. Sedangkan pasangan politisi-non politisi oleh masyarakat menganggap ada keterwakilan dari masyarakat umum yang selama tidak tersentuh oleh kepentingan partai politik.
Pertimbangan lainnya, adalah bahwa kota Batam merupakan kota masuk kategori kawasan khusus. Berdiri di dalamnya industri yang tentu saja menarik perhatian besar oleh banyak kalangan. Belum lagi dengan adanya kepemimpinan ex officio dimana walikota Batam merangkap menjabat sebagai kepala BP Batam. Keadaan ini "memaksa" walikota yang akan datang sangat ideal didampingi oleh profesional yang mengetahui banyak tentang bisnis dan lain sebagainya.  Pertimbangan ini lah mengapa kota Batam  ke depan harusnya dipimpin oleh kalangan politisi yang berpengalaman berpasangan dengan non politisi yang inovatif dan transformatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H