Mohon tunggu...
Abd Hafid
Abd Hafid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Ibnu Sina Batam & STAI Ibnu Sina Batam

Doktor Pendidikan Agama Islam UIN Jakarta, Mahasiswa Manajemen SDM S3-UNJ tahun 2015 dengan status candidat Doktor 2018. Dosen Tetap STAI Ibnu Sina Batam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nilai Budaya Melayu dalam Masyarakat Plural di Kota Batam

28 September 2019   17:50 Diperbarui: 28 September 2019   17:58 3854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Tribunnews.com

 Pendapat Geertz diperkuat lagi oleh Kluckhonn yang ditulis Roger M.Keesing menyatakan bahwa agama, pertama memberi penjelasan. Agama menjawab berbagai pertanyaan yang bersifat eksistensial: bagaimana asal-mula bumi, seperti apa hubungan antara manusia dengan makhluk lain serta kekuatan alam lainnya. Kedua, agama memberi pengesahan. Agama mengakomodir adanya kekuatan dalam alam semesta yang dapat mengendalikan dan menopang  tata susila dan tata sosial masyarakat leluhur, roh atau dewa-dewa memperkuat peraturan-peraturan dan memberi pengesahan serta  arti kepada perbuatan manusia. Ketiga, agama memberi kekuatan pada manusia dalam menghadapi segala kelemahan dalam hidup, mati, penyakit, kelaparan, bencana dan kegagalan.[35]

Dalam kaitan antara agama dan adat[36] sebagai sebuah unsur budaya, Azyumari Azra menyatakan dalam bukunya berjudul Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Tradisi dan Modernisasi bahwa tidak ada pertentangan antara adat dan agama. Hubungan adat dan agama yang seperti itu sangat indah diungkapkan dalam pepatah Minang; "adat basandi syara, syara basandi kitabullah. Syara mangato adat memakai, Camin nan tidak kabau, palito nan tidak padam". ("Adat bersendi syara', syara' bersendi Kitabullah. Syara' menyatakan adat mengejawantahkan. Cermin yang tidak buram, pelita yang tidak padam").[37] Hubungan adat dengan agama digambarkan dalam lambang kelengkapan sebuah nagari (negeri). Manurut Azra lambang nagari di Minangkabau adalah balai adat dan masjid. Tidaklah lengkap dan sempurna suatu nagari apabila salah satu dari yang dua itu tidak ada.[38] Demikian juga di kota Batam, masyarakat Melayu juga memiliki ungkapan yang sama yakni "Adat Bersendi syara', syara' bersendikan kitabullah". Ungkapan ini menjadi motivasi bagi seluruh masyarakat kota Batam dalam kehidupan sehari-hari bahwa setiap aktivitas hidup angota masyarakat harus berdasarkan atas tuntunan dan syariat agama masing-masing. 

 Sidi Gazalba menilai bahwa balai adat  merupakan sebuah lembaga kebudayaan, adapun masjid adalah lembaga agama. Kedudukan masjid di samping  balai adat sebagai lambang keharmonisan antara nini mama dan alim ulama pada masyarakat Minangkabau.[39] Hamka menyimpulkan, sulit memisahkan antara adat dan agama dalam masyarakat Minangkabau. Ia bukan panduan minyak dengan air dalam susu. Islam bukan tempelan-tempatan dalam adat Minangkabau.[40]

 Dalam konteks budaya Melayu di Kota Batam, adat sebagaimana diuraikan Gazalba disebut Lembaga Adat Melayu (LAM).  Adapun Melayu sebagai sebuah budaya, terdapat banyak perbedaan definisi. Werndly, misalnya mengatakan bahwa kata "melayu" berasal dari kata "melaju" yang diambil dari dasar kata "laju" yang mengandung makna cepat, deras dan tangkas. Ini dapat diartikan bahwa orang melayu bersifat tangkas dan cerdas, segala tindak tanduk mereka cepat dan deras.[41] Begitu pun Van der Tuuk, menyatakan bahwa kata melayu berarti penyeberang. Maknanya adalah bahwa orang melayu menyeberang atau menukar agamanya dari Hindu-Budha kepada Islam. 

Kemudian Hollander, juga memberi arti melayu sebagai pengembara. Sebab  orang melayu suka mengembara atau menjelajah dari satu tempat ketempat lain.[42] Pendapat lainnya dari Harun Aminurrashid, mengatakan melayu berasal dari istilah bahasa sanskit yaitu "malaya", atau dari perkataan Tamil yaitu "malai" yang berarti bukit atau tanah tinggi.[43] Begitu juga Omar Amir Husin yang menyatakan bahwa kata melayu berasal dari satu daerah di negeri Persia yang bernama Mahaluyah. Penduduk Mahaluyah telah mengembara ke Asia Tenggara dan menetap di Sumatera dan kepulauan sekitarnya. Suku Mahaluyah itulah yang membawa pengaruh kebudayaan Persia di daerah ini (seperti dalam kesusastraan melayu) beliau juga mengatakan kata melayu mungkin berasal dari nama-nama guru yang bergelar "Mulaya", guru inilah yang berperan menyuburkan kebudayaan melayu.[44]  Selain perbedaan pendapat mengenai arti dan makna melayu, asal usul bangsa melayu juga mengalami hal yang sama. Misalnya Van Ronkel, yang mengatakan bahwa bangsa Melayu ialah orang yang bertutur bahasa Melayu dan mendiami semenanjung tanah Melayu, kepulauan Riau Lingga serta beberapa daerah sumatera khususnya di Palembang.[45]

 Integrasi antara Melayu dengan  Islam yang kuat dalam masyarakat di kota Batam  sejalan dengan  idiom  yang berbunyi "Dunia Melayu-Dunia Islam" dan "Budaya Melayu-Budaya Islam". Yang dimaksud dengan dunia Melayu (The Malay World) di sini merupakan sebuah istilah yang sudah lama digunakan di dalam literatur asing  guna mengacu pada wilayah yang lebih luas dari wilayah Nusantara hingga kawasan Asia Tenggara.  Integrasi nilai Islam dan nilai budaya Melayu yang kuat dalam masyarakat suku Melayu di kota Batam  ini tidak lahir begitu saja, akan tetapi melalui proses panjang. Misalnya saja bagaimana kehidupan masyarakat Melayu di awal-awal masuknya Islam. Dimana realitas budaya Melayu yang kuat dengan nilai kepercayaan leluhurnya. Karena itu menghadapi kenyataan seperti ini maka agama Islam yang dijunjung tinggi oleh ulama melakukan tindakan-tindakan budaya yang dilakukan secara perlahan tetapi memberi hasil yang pasti, yaitu antara lain dilakukan proses Islamisasi budaya Melayu misalnya kepercayaan atau agama sebelumnya digeser dari arah kepercayaan makhluk halus (dewa-dewa) kepada kepercayaan dan kekuasaan Allah. Atau upaya-upaya ulama memperkaya budaya Melayu dengan dibuatnya karya tulis. Itulah sebabnya sebagian besar pengarang Melayu adalah juga seorang Ulama. Ulama di samping  menulis berbagai kitab juga membuat karya sastra seperti Gurindam, Hikayat, Syair maupun Pantun Tarekat yang kesemuanya dapat memperkaya khasanah budaya Melayu yang Islami. Proses ini juga merupakan sebuah proses yang mengandung nilai-nilai pendidikan sebab semua karya tersebut baik kitab maupun sastra  ditulis dalam bahasa arab Melayu.        

Menurut Tenas Efendy[46] di dalam bukunya "Melayu Masyarakat Terbuka" menyatakan bahwa identitas Melayu sangat perlu didudukkan secara benar. Jika Melayu dipahami secara ras, di dunia ini banyak jenis ras Melayu yang tersebar dari Indonesia sampai ke Madagaskar. Dalam Melayu yang besar ini, terdapat cabang-cabang di antaranya adalah Melayu serumpun seperti kita dengan Malaysia, Brunai Darussalam dan Melayu di Singapura. Kemudian dalam Melayu serumpun ada lagi Melayu serantau, puak Melayu Riau, Deli, Jambi dan lain-lain. 

Dalam paradigma adat resam Melayu menuturkan bahwa adat bersendi syara' dan syara' bersendi Kitabullah yang merupakan ungkapan refleksionis dari suatu tatanan masyarakat yang menjunjung tinggi adat sekaligus menegakkan tiang agama. Kitabullah merujuk pada Al Qur'an yang di dalamnya memuat segala petunjuk bagi umat Islam yang berfaedah ganda (duniawi dan ukhrawi). Meletakkan adat dan agama secara beriringan di dalam sosialitas Melayu kala itu merupakan wujud nyata kekuatan budaya yang sangat indah. Ini tidak lain menjelaskan bahwa budaya Melayu itu identik dengan agama Islam. Artinya ada akulturasi agama Islam dan budaya Melayu di dalam diri orang Melayu.[47] 

 Menurut Azyumardi Azra, dalam agama termasuk agama Islam terdapat didalamnya simbol-simbol  sistem sosia-kultural yang dapat memberikan konsepsi terhadap realitas dan rancangan untuk merealisasikannya. Akan tetapi simbol-simbol terkait realitas ini tidaklah harus sama dengan realitas yang terwujud secara riil dalam kehidupan masyarakat. Ajaran agama manapun, konsepsi manusia tentang realitas tidaklah bersumber dari pengetahuan, tetapi kepercayaan pada otoritas mutlak yang berbeda dari suatu agama dengan agama lainnya. Di dalam Islam, konsepsi realitas berasal dari wahyu al-Qur'an dan Hadis. Konsepsi dasar realitas yang diberikan kedua sumber ini dipandang bersifat absolut dan karenanya, transenden dari realitas sosial.[48]

 Di samping itu agama juga merupakan realitas sosial, yang hidup dan berkembang sebagai manifestasi di dalam masyarakat. Di sini doktrin agama yang merupakan konsepsi tentang realitas yang harus berhadapan dengan kenyataan adanya, dan bahkan keharusan atau sunnatullah dalam bentuk perubahan sosial. Dengan demikian al-Qur'an yang diyakini kaum Muslimin sebagai kebenaran final yang tidak dapat diubah dan berlaku untuk segala waktu dan tempat berbenturan dengan kenyataan sosial yang selalu berubah.  Menurut Atho Mudzhar bahwa konsep integrasi atau akomodasi tersebut semakin yampak jika dikaitkan dengan pandangan yang mengatakan, bahwa Islam tidak seharusnya dilihat pada konteks agama wahyu dan doktrinal saja. Tetapi Islam harus dilihat juga sebagai fenomena dan gejala budaya dan sosial.[49]

 Hal ini sejalan dengan pendapat Max Weber bahwa tingginya tingkat perkembangan agama bukan ditentukan oleh konteks-konteks sosiologis entah di ranah kepemimpinan maupun pengikut melainkan suatu tingkat yang didalamnya struktur sosial masih menyisakan kemampuan untuk menjangkau, yang fleksibelitasnya sangat terbuka sehingga ketika inovasi kharismatik muncul apapun alasannya, jangkauan fleksibelitas yang terbatas namun sangat penting ini memampukan peluang penginovasian terwujud, dan yang pada akhirnya jadi terlembagakan.[50]   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun