"Assalamu'alaikum, Zen."
Dari luar rumah Zen, ada dua orang temannya yang memanggil. Mereka setia menunggu jawaban dari penghuni rumah. Tak selang berapa lama, barulah ada respon dari Zen, "Wa'alaikumsalam, ayo masuk."
"Sebentar iya, mau manggil bunda."
Zen mempersilakan teman-temannya untuk duduk dan bergegas memanggil bunda nya di dapur.
"Bunda, Ali dan Ahmad sudah datang."
"Oh iya? Baiklah, bunda cuci tangan dulu."
Setelah mencuci tangan, bunda Halimah berjalan menuju ruang tamu yang diikuti Zen di belakangnya.
"Eh, kalian sudah datang?"
"Iya nih, bunda."
Ali dan Ahmad menyalami bunda Halimah.
"Zen sudah bilang sama bunda, kalau kalian akan datang kesini. Jadi, bunda rencana mau masak makanan yang lezat."
"Hehe, tidak perlu repot-repot, bunda. Saya sama Ali datang kesini cuma ingin bermain saja, mumpung hari libur juga. Maaf bunda, kami tidak membawa oleh-oleh buat bunda." Ucap Ahmad yang merasa sungkan.
"Tidak apa-apa. Bunda malah lebih senang kalian berkunjung kesini. Iya sudah, bunda ke dapur dulu. Zen, bersikaplah menghormati tamu meskipun itu temanmu sendiri."
"Iya, bunda."
Setelah bunda beranjak dari ruang tamu, Zen menuju kamarnya mengambil sebuah permainan catur dan kembali.
"Sambil nunggu bunda masak, main catur dulu aja."
Ali dan Ahmad hanya mengiyakan ajakan Zen. Mereka bertiga bermain secara gantian.
"Zen, bunda minta tolong, nak?" Ucap bunda yang tiba-tiba datang.
"Boleh, kenapa bunda?"
"Kamu bisa ke pasar? Bunda titip, tolong belikan ikan asin dan ikan tongkol. Ini uangnya."
Bunda menyodorkan uang sebesar Rp. 10.000 kepada Zen, "Nanti kembaliannya dibuat beli cabai besar."
"Siap, bunda. Kalian mau ikut, ngga nih?" Ajak Zen beralih memandangi kedua temannya.
"Iya, ikut!" Seru mereka bebarengan.
Mereka bergegas keluar rumah mengambil sepeda kayuh masing-masing. Selama di perjalanan, mereka tampak asik satu sama lain.
"Sepedanya parkir disini aja. Ayo!"
Setelah sampai, mereka berjalan memasuki pasar tradisional. Bau yang tidak sedap menyeruak ke hidung mereka. Tangan mulai menutup hidung untuk menghindari bau khas pasar tradisional yang menyengat itu.
"Zen, langkahnya dipercepat, dong!" Perintah Ali yang sudah muak dan rasanya ingin muntah.
Sesuai dengan permintaan Ali, Zen mempercepat langkahnya menuju penjual ikan langganan bundanya.
"Assalamu'alaikum, pakdhe Toni."
"Wa'alaikumsalam, loh kamu toh Zen. Mau beli apa, nak?"
"Ini bunda titip mau beli ikan asin sama ikan tongkol, pakdhe. Tolong dibungkuskan iya,
pakdhe."
"Siap!"
Pakdhe Toni mengambil ikan yang dipesan Zen dan siap untuk dibungkus. Sementara Zen memperhatikan kedua temannya yang setia menunggu di belakang dirinya.
"Kalian gak capek berdiri disitu? Kesini aja." Zen melambaikan tangannya menyuruh Ali dan Ahmad segera menghampirinya.
Mereka berdua yang paham maksud Zen akhirnya memutuskan menghampiri, karena sadar posisi awal mereka berdiri sedikit jauh dengan tempat Zen dan penjual ikannya ditambah dengan orang-orang pasar berlalu lalang yang berdesak-desakan.
"Ini Zen." ucap pakdhe Toni menyerahkan bungkusan plastik berisi ikan yang dipesan Zen.
"Harganya berapa, pakdhe?"
"Rp. 7.000 aja."
Zen mengambil uang di sakunya dan memberikannya kepada pakdhe Toni dan mendapatkan kembalian, "Ini kembaliannya."
"Terima kasih, pakdhe. Saya balik dulu." Pamit Zen seraya menganggukkan kepalanya dan berjalan meninggalkan kedai pakdhe Toni.
Ali dan Ahmad pun melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Zen. Mereka mengikuti langkahnya.
"Zen, aku sama Ali nunggu di tempat parkir sepeda aja, iya." Ahmad mulai tidak betah terus-terusan berada di dalam pasar. Rasanya dia mau pingsan di tempat itu.
"Kalo kamu sendiri, Ali?" tanya Zen.
"Ngikut aja." ucapnya pasrah.
"Masa iya kalian mau ninggalin aku sendirian sih? Sungguh keterlaluan, kalian tega." Keluh Zen yang dibuat-buat seperti orang alay, padahal niatnya hanya bercanda.
"Jijik, Zen." sahut Ali yang membuat tawa Zen terdengar.
Zen tersenyum, "Aku tau kalian tidak terbiasa dengan bau khas pasar tradisional, tapi setidaknya dengan kalian merasakan seperti ini kalian tidak akan menjadi manusia yang dikit-dikit ngeluh. Tunjukkan dong kalau kalian itu laki-laki."
"Ngeledek banget sih kamu," balas Ahmad dengan tatapan sinis.
Dalam hati, rasanya Zen ingin tertawa puas. Dia melanjutkan langkahnya.
"Tinggal satu lagi, kita harus beli cabai besar. Itu toko nya." ucap Zen sambil menunjukkan.
"Ya Allah, kapan kami bisa keluar dari pasar ini?" Gumam Ali dalam hati yang sudah menampakkan wajah seperti orang kelelahan. Akan tetapi, wajahnya terlihat sangat lucu karena bulatan seperti donat di pipinya.
Ahmad menoleh, dia melihat wajah Ali yang menurutnya sangat lucu, "Hahahaha, kenapa sih mukanya gitu amat, Al?"
Tawa Ahmad mengundang perhatian beberapa orang di sekitarnya. Dia sadar akan kondisi, "Astaghfirullah, maaf-maaf, kelewatan."
"Kenapa sih, mad?" tanya Zen.
"Lihat deh muka Ali. Dia keliatan lelah banget iya, hahaha."
Zen menanggapi dengan tawa kecil, "Ali Ali, kenapa kamu lucu sih? Kelihatan gendut pipinya."
"Iya, emang aku gendut kali." jawab Ali dengan wajah judes.
"Becanda Ali, sensi amat."
Ali tidak menanggapi sedikitpun.
Ahmad dan Zen geleng-geleng kepala. Mereka tetap melanjutkan langkahnya ke kedai sayur.
"Bukdhe, beli cabai besarnya."
Sama seperti sebelumnya, Ali dan Ahmad memperhatikan interaksi antara Zen dan penjual dari jarak beberapa meter di belakangnya.
Saat mengedarkan pandangan ke sekitar, pandangan Ali menangkap sosok kakek tua sedang duduk yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Dilihatnya kakek itu sedang khusyuk membaca sesuatu dengan bibir bergerak.
"Apa yang dibaca kakek itu?" Tanya Ali pada dirinya sendiri.
"Mad, Ahmad." Ali menepuk-nepuk pundak Ahmad sampai dia merasa sebal karena tepukan Ali yang lumayan keras.
"Sakit, Al. Apaan sih?"
"Lihat tuh. Kakek tua yang baca itu."
Ahmad mencoba melihat objek yang ditunjuk teman gendutnya. Dari sana memang terlihat, "Iya, kenapa dengan kakek itu?"
"Beliau lagi baca apa, iya? Dia pengemis bukan? Soalnya tadi ada ibu-ibu naruh uang di botol depannya kakek itu."
"Iya gatau, kok tanya saya?" sahut Ahmad.
"Gak boleh gitu. Aku serius, Mad."
"Sudah, yuk balik!" Tiba-tiba Zen muncul dengan bungkusan plastik ikan dan cabai di tangannya.
"Sebentar Zen, kamu liat nggak kakek tua itu?"
Zen memicingkan matanya, "Iya liat, kenapa?"
"Kita samperin aja, yuk!" ajak Ali.
Mereka bertiga berjalan menghampiri kakek tua itu. Dari jarak sekitar 3 meter, mereka merasakan kejanggalan. Memang benar kata Ali, kakek tua itu sedang membaca. Akan tetapi... Zen mulai mendekati kakek tua itu terlebih dahulu.
"Aku merasa bingung terhadap sikap kakek tua itu, kenapa melakukan hal seperti itu? Kenapa tidak seperti pengemis pada umumnya?" Pikir Zen.
"Assalamu'alaikum, kakek." Zen menyapa.
Kakek tersebut merasa kaget dengan kehadiran tiga orang anak laki-laki dihadapannya,
"Wa'alaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh, nak. Ada apa?"
'Ternyata benar dugaanku,' gumam Zen dalam hati.
"Apa kakek seorang pengemis? Tadi teman saya lihat ada ibu-ibu menaruh uang di botol ini."
ucap Zen sambil menunjuk botol di depan kakek tersebut.
"Hahahahaha" tawa sang kakek pecah setelah mendengarkan pertanyaan yang dilontarkan
oleh anak muda didepannya.
Mereka bingung.
"Saya bukan pengemis, nak."
"Tapi, kenapa kakek membaca Al-Quran di tempat ini?" Beralih Ahmad yang bertanya.
Kakek itu membenarkan posisinya untuk memberikan ruang untuk dirinya.
"Kemarilah, wahai anak muda. Kalian duduk disini dulu." ujar kakek itu sambil menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya.
Ali, Ahmad dan Zen menurut. Mereka duduk bersebelahan dengan si kakek. Dan kakek itu melontarkan sebuah pertanyaan, "Kapan terakhir kali kalian membaca Al-Quran?"
Mereka bertiga diam sejenak memikirkan jawaban dari pertanyaan si kakek, dan Ali mengawali, "Saya tadi subuh, kek."
"Iya saya juga. Kami bertiga terakhir membaca Al-Quran tadi subuh setelah waktu sholat berjamaah di masjid." lanjut Ahmad menambahkan.
"Wow keren, Alhamdulillah. Kalian anak-anak yang sholeh."
"Aamiin..." jawab mereka bertiga.
"Sekarang ini sudah jamannya modern. Teknologi sudah canggih, sehingga kegiatan manusia juga bertambah sibuk. Sebagian dari kita sudah jarang membaca Al-Quran karena tergantikan dengan yang namanya ponsel genggam."
Mereka menyimak penjelasan dari si kakek.
"Jadi, saya menjadikan ruang yang berbentuk persegi ini untuk tempat saya membaca Al-Quran. Tenang saja, InsyaaAllah tempat ini bersih dan suci. Karena, saya membersihkan setiap sebelum duduk disini. Dengan begitu, di lain hal, saya juga memperingati orang-orang yang lalu-lalang disini agar senantiasa membaca Al-Quran. Jadi, pesan saya kepada kalian, bacalah Al-Quran setiap hari. Setidaknya dalam satu hari kita hanya membaca satu ayat. Terkadang kita lupa karena sibuk dengan pekerjaan kita, sehingga tidak sempat membaca. Nau'dzubillah iya, nak." lanjut sang kakek.
"Kakek mulai kapan ada disini?" tanya Ahmad.
"Saya sudah satu bulan ada di tempat ini. Saya tidak meminta dengan paksaan kepada orang supaya memberi saya uang. Biar mereka memberi dengan ikhlas. Hasilnya, sebagian saya berikan untuk orang yang membutuhkan dan anak yatim, dan sebagiannya lagi untuk saya sendiri." jawab si kakek.
Zen menarik napas dalam, "MasyaaAllah, saya baru pertama kali bertemu dengan orang seperti kakek. Kakek sangat unik, semoga Allah selalu memberikan rezeki, kebahagiaan dan kesehatan untuk kakek."
"Aamiin. Doa yang baik kembali juga kepada kalian."
"Kalo begitu, kami mau balik dulu iya kakek, sudah ditunggu bunda di rumah."
"Baiklah, hati-hati di jalan."
Mereka mengangguk.
Ali, Ahmad dan Zen keluar dari area pasar menuju tempat sepeda yang mereka parkir.
"Wah, aku tidak menyangka bertemu orang seperti itu. Lumayan kita dapat ilmu iya, habis ini kita harus lebih giat ngaji." ujar Ali.
"Iya bener, Al. Sesibuk apapun kita dengan kegiatan kita sendiri, jangan sampe lupa baca Al-Quran walaupun hanya satu ayat." sambung Ahmad.
"Bagus. Yaudah yuk! Bunda pasti menunggu." jawab Zen mengayuh sepedanya dan meninggalkan Ali dan Ahmad.
Saat mereka berdua tersadar, Ali berteriak, "Woi, Zen! Jangan tinggalin kita dong!"
"Lama, kalian melamun!" seru Zen dari kejauhan.
Tak tinggal diam, Ali dan Ahmad segera mengambil sepedanya dan menyusul Zen yang sudah lumayan jauh.
Saat Zen sampai di halaman rumah, barulah disusul oleh Ali dan Ahmad di belakangnya.
"Gak asik, mainnya ninggalin temen sendiri." Ali sengaja menyindir Zen.
Tanpa mendengarkan ocehan dari Ali, Zen langsung masuk ke dalam rumahnya untuk memberikan bungkusan yang bunda nya pesan. Ali dan Ahmad saling memandang satu sama lain.
"Dasar, Zen mah memang begitu. Yaudah, yuk kita duduk di sofa ruang tamu aja." ajak Ahmad yang disetujui Ali.
Mereka menunggu Zen dan akhirnya muncul, dengan jahilnya dia menggoda kedua temannya, "Loh kalian masih ada disini? Gak pulang?"
"Kamu ngusir kita?" Jawab Ali dengan nada ketusnya.
"Hahaha, tidak aku hanya bercanda. Aku tidak tega mengusir teman baikku ini. Yuk kita lanjutin main catur nya!"
"Hadeh, kamu ini Zen, Zen." ucap Ahmad seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Akhirnya, mereka terlihat sangat bahagia. Mereka bermain sampai menjelang waktu sore dan berpamitan untuk kembali ke rumah masing-masing.
Nayla - XI IBB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H