Mohon tunggu...
Fact Checker UI
Fact Checker UI Mohon Tunggu... Mahasiswa - UKM Fact Checker Universitas Indonesia

Fact Checker Universitas Indonesia adalah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang bergerak di bidang literasi digital dan periksa fakta. UKM ini telah berdiri sejak tahun 2020 dan memiliki tujuan sebagai forum untuk mahasiswa melakukan kegiatan periksa fakta, mengedukasi publik, dan mengurangi penyebaran hoaks di masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Attention Economy: Cabang Akar dari Disinformasi di Era Digitalisasi

19 April 2023   07:00 Diperbarui: 19 April 2023   15:05 1067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Disinformasi yang tercipta dari berbagai attention-seeker—berbagai rumor, hoaks, propaganda, clickbait—kerap kali dimonetisasikan oleh mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Ryan, et. al. (2020) menunjukkan bahwa sekelompok kecil situs prokonspirasi menerima lebih banyak engagement di media sosial daripada situs yang umumnya dianggap sebagai outlet media konvensional yang biasa. Kasus-kasus investasi bodong di Indonesia yang terjadi pada tahun lalu pun berawal dari influencers yang berhasil menggaet perhatian netizen menggunakan penyebaran disinformasi.

Bijak dalam Penggunaan Gawai sebagai Penangkal Disinformasi

Sebagai target dari attention-seeker, kita perlu tahu bahwa internet tidak selalu ‘jujur’. Berbagai teknologi seperti troll bot dan deepfake membuat jarak antara individu—munculnya berbagai konflik—dengan mempolarisasi dan memunculkan sisi terburuk dalam diri kita—memaki, menipu dan lain sebagainya. 

Sebuah studi baru-baru ini oleh Kantor Statistik Pusat Irlandia (CSO) memperkirakan bahwa sekitar 62% dari semua informasi di internet tidak dapat diandalkan. Karena berbagai disinformasi menyebar lebih cepat daripada kebenaran di internet, taktik marketing yang tidak etis secara efektif berperan dalam bias konfirmasi bawaan—hanya melihat dan meneliti sesuatu dari satu sumber atau sisi saja—kita, semakin memperkuat kita dalam sistem kepercayaan kita yang ada, mencegah kita mengeksplorasi ide-ide baru, dan menutup peluang untuk mempertimbangkan pandangan dunia baru.

Menggunakan gawai dalam keadaan sadar sepenuhnya—seperti kritis dalam sebab dan akibat dari suatu penggunaan—bisa menjadi salah satu tanggapan yang baik mengenai ‘kotor’-nya suatu internet. Dengan adanya kesadaran penuh, kemampuan kita dalam memanajemen perhatian kita akan semakin optimal. Kita juga perlu mengontrol nafsu kita akan mengonsumsi suatu informasi dan tidak takut akan ketertinggalan informasi (atau seringkali disebut fenomena FOMO). Dengan upaya inilah kita dapat membuat pilihan kita untuk memanfaatkan suatu informasi dengan semakin efisien dan efektif serta menghasilkan outcome yang positif.

Kendali Penuh ada pada Diri Kita Sendiri

Bagaikan pisau bermata dua, konsep attention economy ini memiliki sisi positif maupun negatif. Bagi para attention-seeker, penyajian konten atau iklan yang dapat menarik perhatian mengarah pada engagement yang lebih besar, ingatan merek yang lebih baik, dan kepercayaan yang lebih baik dengan ‘target’-nya dan berujung pada kinerja positif pada keuntungan mereka. Namun, ada kalanya motif keuntungan yang berlebihan memberikan insentif kepada individu atau badan untuk melakukan perbuatan yang tidak etis.

Sebagai target dari para attention-seeker, kita sadar bahwa waktu kita terbatas—begitu juga dengan perhatian kita. Perhatian kita yang terbatas memiliki nilai ekonomis bagi para attention-seeker untuk mendapatkan suatu keuntungan. Tingkat keberhasilan para content creator, brand atau platform digital bergantung pada kita. Begitu juga dengan sesuatu yang viral dan terkenal yang bergantung pada perhatian yang kita tujukan. Semakin bijak pilihan kita untuk mengalokasi perhatian kita, maka secara agregat akan menghasilkan dampak positif secara masif dan berkelanjutan pada aktivitas media sosial kita. 

Ditulis oleh: Muhammad Zaidan | Ilmu Ekonomi UI 2021 | Koordinator Divisi Edukasi Literasi Fact Checker UI 2023

Referensi.

Gentry, A. (2019). The attention economy is breeding addiction, fraud, and hate — and this is what we need to do to save it. Business Insider. [Diakses pada 13 April 2023] URL: https://www.businessinsider.com/broken-attention-economy-op-ed-2019-3 

Cloarec, J. (2020). The personalization–privacy paradox in the attention economy. Technological Forecasting and Social Change, 161, 120299. https://doi.org/10.1016/j.techfore.2020.120299 

Ryan, C. D., Schaul, A. J., Butner, R., & Swarthout, J. T. (2020). Monetizing disinformation in the attention economy: The case of genetically modified organisms (GMOs). European Management Journal, 38(1), 7–18.  https://doi.org/10.1016/j.emj.2019.11.002 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun