Mohon tunggu...
Fact Checker UI
Fact Checker UI Mohon Tunggu... Mahasiswa - UKM Fact Checker Universitas Indonesia

Fact Checker Universitas Indonesia adalah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang bergerak di bidang literasi digital dan periksa fakta. UKM ini telah berdiri sejak tahun 2020 dan memiliki tujuan sebagai forum untuk mahasiswa melakukan kegiatan periksa fakta, mengedukasi publik, dan mengurangi penyebaran hoaks di masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kebebasan Menyatakan Pendapat dalam Demokrasi

20 September 2021   14:32 Diperbarui: 20 September 2021   14:36 4995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Asal Usul Demokrasi

Sejarah mengenai demokrasi bermula dari bangsa Yunani. Sebab munculnya demokrasi pada saat itu dikarenakan rakyat lelah terhadap sistem yang berlaku pada masa tersebut yang selalu bergonta ganti sesuai  kehendak para Raja. Berangkat dari gerakan sosial yang mengikutsertakan rakyat dalam menentukan kebijakan pemerintah, sistem demokrasi mulai berkembang. Memahami mengenai demokrasi perlu untuk mengetahui definisi terlebih dahulu dari demokrasi. 

Menurut istilah, demokrasi berasal dari dua kata yaitu demos dan kratos. Demos memiliki arti rakyat sedangkan kratos memiliki arti pemerintahan. Maka jika kedua makna tersebut digabungkan maka demokrasi memiliki arti pemerintahan rakyat. Arti dari pemerintahan rakyat adalah bahwasannya seluruh kebijakan yang dibuat negara akan melibatkan rakyat. Salah satu bagian dari demokrasi adalah kebebasan menyatakan pendapat. 

Kebebasan berpendapat termasuk bagian yang penting dari demokrasi, kebebasan tersebut mempunyai dasar hukum yang diatur dalam pasal 28 UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang menyatakan tentang kebebasan bertanggung jawab dan bertindak untuk menyampaikan pendapat dimuka umum. 

Maka demokrasi mempunyai pilar bahwasanya menyampaikan pendapat itu bebas akan tetapi berpendapat harus bertanggung jawab dan ada faktanya, serta jangan menyakiti satu sama lain. Sebab pada kehidupan sekarang ini kita diatur dengan hak asasi manusia, lantaran hak kita juga dibatasi dengan hak orang lain. Jika Berpendapat, sampaikanlah dengan cerdas dan tidak menimbulkan perpecahan karena SARA.

 

Demokrasi Menyatakan Pendapat di Indonesia

Kemerdekaan berpendapat menjadi dasar kehidupan masyarakat yang demokratis. Sebagai negara demokrasi, Indonesia harus dapat menjamin kemerdekaan berpendapat rakyatnya. Hal tersebut perlu dilakukan sebagai wujud negara yang mengedepankan asas demokrasi. Dalam perwujudannya, penting untuk dilakukan  penekanan terhadap pentingnya hak atas kemerdekaan berpendapat.

Indonesia menjamin secara konstitusional kebebasan menyatakan pendapat. Kebebasan berpendapat dinyatakan dalam UUD 1945 Pasal 28, bahwa 'Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang'. Dalam UUD 1945 Pasal 28E Ayat 3 juga disebutkan, bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dengan demikian, warga negara Indonesia berhak menyatakan pendapat dan mengeluarkan pikiran secara bebas sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Hak atas kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum juga dijelaskan pada Pasal 1 UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum yang merupakan hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan melalui berbagai hal, seperti unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, atau mimbar bebas. Bentuk penyampaian pendapat tersebut juga berkaitan dengan persoalan pers dan penyiaran yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Etika menyatakan Pendapat

Dalam kehidupan manusia etika merupakan suatu hal bernilai dan dijunjung tinggi. Menurut Richard J. dalam Karimah dan Wahyudin (2010), Etika adalah suatu percobaan untuk meneliti tingkah laku manusia yang mana merupakan cerminan dari isi jiwa dan hati nurani seseorang. Penuturan tersebut dapat diartikan bahwasannya seseorang yang beretika baik merupakan seseorang yang baik dan berbudi pekerti luhur dan begitu pula sebaliknya. 

Dalam kehidupan demokrasi berpendapat penerapan etika juga sangat diperhatikan. Benito Asdhie Kodiyat (2018) dalam tulisannya yang berjudul "Etika Dalam Menyampaikan Pendapat Di Media Sosial Dalam Perspektif Hak Konstitusional Warga Negara" menyampaikan bahwa terdapat beberapa penilaian etika komunikasi insani yang dapat diterapkan dalam berpendapat yang meliputi:

  1. Penghormatan atau keyakinan terhadap wibawa dan harga diri individual.
  2. Keterbukaan atau keyakinan pada pemerataan kesempatan. 
  3. Kebebasan yang disertai tanggung jawab. 
  4. Keyakinan terhadap kemampuan setiap orang dalam memahami hakikat demokrasi.

Selain komunikasi insani dalam berkomunikasi, berikut merupakan etika umum dalam berkomunikasi untuk menyampaikan pendapat secara langsung. Pertama, sampaikanlah pendapat dengan sopan yaitu dengan cara memperhatikan tata bahasa dan intonasi suara. Kedua, mengetahui batasan kapasitas pengetahuan yang dimiliki mengenai topik tersebut untuk menghindari terjadinya perdebatan yang tidak diinginkan, jika tidak begitu menguasai dapat mempersiapkan tindakan antisipasi. 

Ketiga, memiliki dasar argumen yang kuat dan jelas agar pendapat yang disampaikan kuat dan objektif. Keempat, tidak memotong lawan bicara ketika menyampaikan pendapat, ini merupakan dasar etika yang harus dimiliki ketika sedang berkomunikasi. Terakhir, ketika menyampaikan pendapat sangat penting untuk tidak menyerang lawan bicara dengan topik pribadi yang mungkin tidak sesuai dengan topik yang sedang dibawakan.

Etika dalam berpendapat juga terlampirkan dalam aturan hukum. Misalnya, UU nomor 39 pasal 23 ayat 2 tahun 1999 yang berbunyi, "Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa". Jadi, setiap orang bebas mengeluarkan pendapat namun harus tetap dalam dalam batasan etika agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.

Dalam UUD 1945 pasal 28J ayat 2 juga dijelaskan bahwa, "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis".  

Aturan hukum di Indonesia sangat mendukung etika dalam berpendapat. Berpendapat yang patuh akan etika dan hukum akan menumbuhkan persatuan dan keadilan. Harapan kepatuhan ini ditujukan agar tidak ada pihak yang dirugikan dan untuk meminimalkan perselisihan. Seharusnya berpendapat bisa menjadi media untuk menjadi lebih baik akibat pertukaran argumen yang positif, bukan menjadi media untuk saling menjatuhkan dan menjerumuskan. 

Hoaks Merampas Kedaulatan Rakyat

Demokrasi di Indonesia merupakan demokrasi yang mengedepankan kedaulatan rakyat, yakni pemilihan dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga pemerintah seluruhnya yang dipilih oleh rakyat secara langsung. Penetapan aturan ini didasarkan pada keinginan kuat pemerintah untuk mengembangkan sistem pemilu yang lebih demokratis. 

Semua warga negara yang berpartisipasi dalam pemilihan harus dilindungi dari rasa takut, penipuan dan kecurangan lainnya. Hal ini sesuai dengan isi Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV pasal 28G bahwa di dalam negara demokrasi, "Setiap orang berhak atas perlindungan dari pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi".

 Namun belakangan ini banyak terjadi kecurangan dalam pemilihan umum. Salah satu jenis hoaks yang paling umum belakangan ini adalah penyebaran hoaks di media sosial. Penipuan media sosial untuk menyerang calon pasangan pesaing lain kepentingan pribadi. Hoaks kini bahkan sudah menjadi bagian dari politik dan tidak bisa dipisahkan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara. Kecenderungan yang relatif sama adalah penggunaan hoaks yang disengaja untuk menghasut massa. Efek paling kecil dari hoaks adalah membuat marah publik dan, dalam kasus terburuk, dapat merugikan korban.

Menyebarkan hoaks pada sebuah pesta demokrasi merupakan sebuah kejahatan demokrasi yang wajib  dilawan lantaran hoaks merampas kedaulatan masyarakat yang ingin menentukan pemimpinnya menggunakan kemerdekaan dan kebebasan yang dimilikinya. 

Titi Anggraeni selaku Direktur Eksekutif Perludem (Juli 2010 - Agustus 2020) dalam diskusi bertajuk 'Residu Demokrasi: Hate Speech dan Hoax' menyampaikan bahwa demokrasi pada prinsipnya  adalah kedaulatan warga yang dilaksanakan menggunakan asas LUBER (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia). Pada konteks Pemilu, waktu melaksanakan kedaulatannya wajib menurut kehendak bebas dan merdeka, yang mana keputusan bebas dan merdeka itu wajib dibuat dari informasi yang jujur dan benar. Maka waktu keputusan itu dibuat dengan informasi yang bohong maka sama saja memanipulasi kedaulatan rakyat dan itu termasuk tindakan kejahatan demokrasi sesungguhnya.

Konteks pemilu harus diikuti dengan penegakan aturan penyebaran hoaks yang tidak hanya dibatasi pada penegakan aturan Pemilu semata, namun juga dengan menggunakan UU lain seperti UU ITE, KUHP, UU Anti Diskriminasi, dan lainnya. Selanjutnya Titi Anggraeni menjelaskan, "Jika hanya mengandalkan itu saja maka tidak akan mampu optimal dalam penegakan hukum Pemilu. Selain itu, hanya terbatas dalam proses kampanye saja padahal penyebaran hoaks itu bisa terjadi sebelum dan sehabis kampanye bahkan saat hari pemungutan suara, sebagai akibatnya penegakan Hukum Pemilu tidak  mampu sekedar mengandalkan kepemiluan namun harus disertai dengan terintegrasi pada anggaran main yang ada."

 Dalam konteks melawan praktik hoaks, Para elit politik, penyelenggara, dan tokoh publik harus menjadi bagian dan ikut serta dalam melawan hoaks, termasuk melakukan literasi digital bagi Pemilu. Disamping itu, masyarakat harus mendukung penghambatan penyebaran hoaks dengan cara ikut tidak menyebar informasi apapun yang kebenarannya belum jelas secara akurat. 

Saran dan Kesimpulan

Diperlukan adanya kerjasama antara pemerintah dan situs-situs jejaring sosial untuk membantu mencabut konten ilegal melalui platformnya. Contohnya, berita dan gambar yang menyesatkan diblokir dan dihilangkan dari mesin pencari di internet. Namun, Kominfo juga perlu memberikan prosedur yang terbuka atas alasan mengenai situs yang diblokir. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya kegaduhan dalam masyarakat. Pemerintah juga hendaknya membangun kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mengantisipasi adanya penyebarluasan berita hoaks di internet.

Sebagai  negara yang menjunjung tinggi kebebasan dalam demokrasi, menyampaikan pendapat serta pers sudah sepatutnya seluruh masyarakat menggunakannya secara bijak. Dalam menyampaikan pendapat setiap warga negara harus memperhatikan etika ketika mengungkapkan pendapat misalnya seperti tidak menyela pembicaraan, mengungkapkan dengan bahasa yang baik serta tidak menyinggung SARA serta yang paling penting ialah saling mendengarkan dan menerima pendapat yang disampaikan. 

Selain itu sebagai langkah turut serta dalam menikmati kebebasan pers ini  sebagai warga negara harus menggunakan media sosial serta media pemberitaan secara bijak dan turut aktif dalam memberantas penyebaran berita hoaks minimal tidak ikut menyebarluaskan berita hoaks supaya berita hoaks tadi tidak menyebar , hal tersebut menjadi langkah strategis dalam menciptakan kedaulatan dan kondisi yang kondusif di masyarakat. 

Referensi:

Hutomo, D. (2019, July 19). Pembatasan Berkomentar di Medsos Merampas Hak Kebebasan Berpendapat?  

Kurniawan, G. (2015). Kebebasan Sebagai Hakekat Demokrasi. INOVATIF| Jurnal Ilmu Hukum, 8(1). 

Kodiyat, B. A. (2018). ETIKA DALAM MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MEDIA SOSIAL DALAM PERSFEKTIF HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA. Jurnal EduTech, 1-11.

Manurung, J. R. (2020). PILKADA DAN BAHAYA PENYEBARAN BERITA HOAX DI MEDIA SOSIAL. 

Nasution, M. S. (2017). 5 Etika dan Tata Krama Menyampaikan Pendapat pada Orang Lain. Retrieved from Liputan 6: https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2945633/5-etika-dan-tata-krama-menyampaikan-pendapat-pada-orang-lain

Suwarta, T. H. (2018). Hoaks Merampas Kedaulatan Rakyat. 

https://kominfo.go.id/content/detail/17270/hoaks-makin-merajalela-jelang-pemilu/0/sorotan_media

Tuahunse, T. (2015). Budaya Demokrasi dan Kemerdekaan Berpendapat. Universitas Negeri Gorontalo. 

Syamsir, S. (2015). Demokratisasi Hak Berpikir dan Berkreasi Warga Negara di Indonesia. INOVATIF| Jurnal Ilmu Hukum, 8(1).

Yovita. (2017). Cara Demokratis Melawan Hoaks. 

Formadiksi UM. (2021, September 15). Kebebasan Berpendapat Sebagai Bagian dari Demokrasi Internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun