Menyebarkan hoaks pada sebuah pesta demokrasi merupakan sebuah kejahatan demokrasi yang wajib  dilawan lantaran hoaks merampas kedaulatan masyarakat yang ingin menentukan pemimpinnya menggunakan kemerdekaan dan kebebasan yang dimilikinya.Â
Titi Anggraeni selaku Direktur Eksekutif Perludem (Juli 2010 - Agustus 2020) dalam diskusi bertajuk 'Residu Demokrasi: Hate Speech dan Hoax' menyampaikan bahwa demokrasi pada prinsipnya  adalah kedaulatan warga yang dilaksanakan menggunakan asas LUBER (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia). Pada konteks Pemilu, waktu melaksanakan kedaulatannya wajib menurut kehendak bebas dan merdeka, yang mana keputusan bebas dan merdeka itu wajib dibuat dari informasi yang jujur dan benar. Maka waktu keputusan itu dibuat dengan informasi yang bohong maka sama saja memanipulasi kedaulatan rakyat dan itu termasuk tindakan kejahatan demokrasi sesungguhnya.
Konteks pemilu harus diikuti dengan penegakan aturan penyebaran hoaks yang tidak hanya dibatasi pada penegakan aturan Pemilu semata, namun juga dengan menggunakan UU lain seperti UU ITE, KUHP, UU Anti Diskriminasi, dan lainnya. Selanjutnya Titi Anggraeni menjelaskan, "Jika hanya mengandalkan itu saja maka tidak akan mampu optimal dalam penegakan hukum Pemilu. Selain itu, hanya terbatas dalam proses kampanye saja padahal penyebaran hoaks itu bisa terjadi sebelum dan sehabis kampanye bahkan saat hari pemungutan suara, sebagai akibatnya penegakan Hukum Pemilu tidak  mampu sekedar mengandalkan kepemiluan namun harus disertai dengan terintegrasi pada anggaran main yang ada."
 Dalam konteks melawan praktik hoaks, Para elit politik, penyelenggara, dan tokoh publik harus menjadi bagian dan ikut serta dalam melawan hoaks, termasuk melakukan literasi digital bagi Pemilu. Disamping itu, masyarakat harus mendukung penghambatan penyebaran hoaks dengan cara ikut tidak menyebar informasi apapun yang kebenarannya belum jelas secara akurat.Â
Saran dan Kesimpulan
Diperlukan adanya kerjasama antara pemerintah dan situs-situs jejaring sosial untuk membantu mencabut konten ilegal melalui platformnya. Contohnya, berita dan gambar yang menyesatkan diblokir dan dihilangkan dari mesin pencari di internet. Namun, Kominfo juga perlu memberikan prosedur yang terbuka atas alasan mengenai situs yang diblokir. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya kegaduhan dalam masyarakat. Pemerintah juga hendaknya membangun kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mengantisipasi adanya penyebarluasan berita hoaks di internet.
Sebagai  negara yang menjunjung tinggi kebebasan dalam demokrasi, menyampaikan pendapat serta pers sudah sepatutnya seluruh masyarakat menggunakannya secara bijak. Dalam menyampaikan pendapat setiap warga negara harus memperhatikan etika ketika mengungkapkan pendapat misalnya seperti tidak menyela pembicaraan, mengungkapkan dengan bahasa yang baik serta tidak menyinggung SARA serta yang paling penting ialah saling mendengarkan dan menerima pendapat yang disampaikan.Â
Selain itu sebagai langkah turut serta dalam menikmati kebebasan pers ini  sebagai warga negara harus menggunakan media sosial serta media pemberitaan secara bijak dan turut aktif dalam memberantas penyebaran berita hoaks minimal tidak ikut menyebarluaskan berita hoaks supaya berita hoaks tadi tidak menyebar , hal tersebut menjadi langkah strategis dalam menciptakan kedaulatan dan kondisi yang kondusif di masyarakat.Â
Referensi:
Hutomo, D. (2019, July 19). Pembatasan Berkomentar di Medsos Merampas Hak Kebebasan Berpendapat? Â
Kurniawan, G. (2015). Kebebasan Sebagai Hakekat Demokrasi. INOVATIF| Jurnal Ilmu Hukum, 8(1).Â