Mohon tunggu...
Lita Tania
Lita Tania Mohon Tunggu... Lainnya - Student
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Student in Indonesia University of Education

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penilaian terhadap Suatu Karya Sastra

13 Juli 2020   16:32 Diperbarui: 13 Juli 2020   16:36 1449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kepuitikan, keartistikan dan keestetikan bahasa puisi disebabkan oleh kreativitas penyair dalam membangun puisinya dengan menggunakan aspek-aspek kepuitikan di dalamnya. Kepuitikan dapat diartikan sebagai suatu keindahan yang ditimbulkan melalui penggunaan bahasa yang liris dan padat akan penyampaian makna. 

Melalui sebuah karya yang puitis, seorang pengarang dapat menuangkan berbagai aspek dan gagasan yang ingin disampaikannya dengan indah. Hal ini sebagaimana terlihat pada puisi “Ziarah untuk Sebuah Fitrah” karya Nenden Lilis A.,  yang menggunakan beberapa aspek-aspek kepuitikan di dalamnya yaitu berupa kata-kata konotatif, kata-kata berjiwa, figura bahasa, serta permainan rima dalam puisinya.

Kata-kata yang digunakan dalam puisi ini merupakan hasil pemilihan kata-kata yang sangat cermat. Kata-kata ini juga merupakan hasil pertimbangan dari berbagai hal, baik itu makna ataupun susunan bunyinya, dan terdapat hubungan antara kata yang satu dengan kata lain di setiap baris dan baitnya. Kata-kata yang dipilih pun bersifat puitis, memiliki efek keindahan, bunyi yang indah serta memiliki keharmonisan dengan kata-kata lainnya. 

Kata-kata dalam puisi ini banyak menggunakan kata yang bermakna tidak sebenarnya. Kata-kata itu telah mengalami penambahan-penambahan, baik itu berdasarkan pengalaman, kesan, imajinasi dan sebagainya. Sehingga kata-kata dalam puisi ini dapat dikatakan banyak menggunakan makna konotatif atau kiasan. Kata konotatif itu misalnya terlihat pada larik “jiwaku berpuasa”. Dalam hal ini kata “berpuasa” bukanlah suatu kata yang memiliki makna sebenarnya yaitu tidak makan dan minum. Melainkan berpuasa dalam larik ini memiliki makna lain yaitu jiwa yang sedang puasa atau dalam arti lain sedang mengosongkan jiwa dari berbagai hal.

Lanjut, kata-kata berjiwa. Kata-kata berjiwa merupakan kata atau susunan kata dalam puisi yang menimbulkan khayalan atau imajiansi. Kata-kata ini juga sudah diberi suasana tertentu, berisi perasaan dan pengalaman jiwa penyair sehingga terasa hidup dan memukau. Sebagaimana terlihat pada larik “kini redup, sembab, dingin, tak ada kata dan warna”. 

Pada larik tersebut imajinasi yang dihadirkan ialah imajinasi visual dan taktil. Dengan daya imajiansi tersebut, pembaca seolah-olah merasa, mendengar atau melihat sesuatu yang diungkapkan penyair mengenai kondisi rumah yang dahulunya cerah, terang, dan berwarna, namun kini menjadi redup.

Selain itu kata-kata berjiwa terlihat pada larik “tapi mengapa terlanjur enggan membersihkan debu-debu dari pigura-pigura kenangan”. Dalam larik tersebut penyair mahir membuat pembaca menjadi seolah-olah melihat, mendengar, dan merasakan apa yang dilukiskan penyair. Pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan. 

Penyair berusaha mengonkretkan hal yang ingin dikemukakan, agar pembaca dapat membayangkan dengan lebih hidup apa yang dimaksud olehnya mengenai dirinya yang sudah terlanjur tidak mau untuk mengingat kenangan-kenangan yang tercantum dalam bingkai foto kenangan yang kini sudah dipenuhi oleh debu.  Terakhir kata-kata berjiwa ini juga terlihat pada larik “kursi-kursi tua kebanggaan”, dimana makna dari larik tersebut ialah kursi yang sudah menjadi saksi hidup pemiliknya, atau dalam artian kursi yang merupakan teman hidupnya.

Penyair dalam puisi ini menggunakan bahasa yang bersusun sehingga dapat dikatakan bahwa penyair menggunakan bahasa figuratif (majas). Hal ini menyebabkan puisinya menjadi primastik, yang artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Majas dalam hal ini merupakan bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara membandingkan dengan benda atau kata lain. Majas dalam puisi ini mengiaskan atau mempersamakan sesuatu dengan hal lain. 

Maksudnya agar gambaran benda yang dibandingkan itu lebih jelas. Dengan hadirnya majas membuat bahasa dalam puisi ini menghasilkan kesenangan imajinatif dan menjadikan puisi lebih nikmat untuk dibaca. Adapun dengan hadirnya majas dalam puisi ini dapat menambah intensitas perasaan penyair untuk puisinya dan menyampaikan sikap penyair yang banyak dan luas dengan bahasa yang singkat.

Gaya figuratif bahasa pada puisi ini ialah gaya bahasa metafora. Terlihat pada larik “di ranjang ini aku hanya meraba bayang”. Dalam larik tersebut terdapat metafora di dalamnya. Penggunaan frasa “meraba bayang”, memiliki arti yaitu menjamah bayang. Jadi penyair seolah-olah sedang menjamah bayangan kenangan di atas ranjang. 

Lanjut, gaya bahasa metafora juga terlihat pada larik “di halaman, tanaman-tanaman kita kian kerontang dirabut paksa para pejalan”. Penggunaan klausa “dirabut paksa para pejalan” memiliki arti bahwa tanaman tersebut kini tidak terurus dan sudah diambil alih oleh orang yang melintas atau dalam arti sudah terinjak-injak oleh para pengguna jalan dengan seenaknya.

Lalu gaya bahasa metafora dalam puisi ini juga terlihat pada larik “seakan tak ku songsong fitrahku kembali”. Larik tersebut memiliki makna metafor yaitu enggan untuk berbenah diri seperti sediakala. Kemudian majas metafora juga terlihat pada larik “O apakah suatu hari dapat kuziarahi untuk ku hikmati?”, 

Pada larik tersebut ziarah merupakan suatu objek perbandingan dengan objek lain yang serupa sifatnya. Maksud ziarah disini ialah mengenang atau mengunjungi kembali kenangan-kenangan tersebut baik itu yang buruk ataupun tidak, dan bertanya-tanya, apakah kenangan-kenangan tersebut dapat ia terima semua bahkan dapat diambil hikmahnya atau tidak, serta menghidupkan kembali fitrah atau jiwanya yang dahulu mati.  

Bunyi bahasa dalam puisi menghasilkan rima. Rima dalam hal ini ialah pengulangan bunyi dalam puisi. Rima merupakan unsur yang dapat memperindah puisi. Rima dalam puisi ini sangatlah indah terlihat pada pengulangan bunyi huruf vokal I di bagian-bagian akhir puisi yakni “dan di hati, ada yang diam-diam terkulai mati”. “O, apakah suatu hari dapat ku ziarahi untuk ku hikmati?”. Pengulangan tersebut terjadi pada kata “hati dan mati”, serta “ziarahi, dan hikmati”.

Dalam menulis puisi, memilih kata dengan diksi yang baik belumlah cukup. Suatu puisi haruslah indah. Memiliki nilai estetika yang menarik dan pembaca merasa tertarik serta terbawa emosi seakan-akan sama dengan emosi sang penyair. Pembaca diupayakan dapat merasakan seperti apa yang dirasakan oleh sang penyair. Maka dari itu puisi haruslah menarik dengan memberikan efek-efek kepuitikan di dalamnya.

Efek-efek dari kepuitikan tersebut berdampak bagi estetika dan daya ungkap puisi, yakni menjadikan puisi ini dapat memberikan kenikmatan imajinatif kepada pembaca, menjadi sebuah jalan untuk menyampaikan imaji tambahan dalam puisi yang dalam hal ini dapat mengkonkritkan sesuatu yang bersifat abstrak sehingga puisi terasa lebih sensual, merupakan suatu cara untuk menambah intensitas emosi, serta merupakan alat pemusatan dan sekaligus sebagai alat untuk menyatakan sesuatu secara jelas.

Adapun efek-efek lain dari kepuitisan tersebut ialah dapat menghidupkan lukisan dan membuat plastis gambaran kenyataan, perasaan yang akan diungkapkan menjadi lebih nyata terasa, lebih ekspresif, serta sebagai alat keindahan karena kata-kata kiasan lebih indah daripada kata-kata yang dipakai secara harfiah.  

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwasanya efek-efek kepuitikan ini menyebabkan puisi “Ziarah untuk Sebuah Fitrah” karya Nenden Lilis A., menjadi menarik, segar, hidup, serta menimbulkan kejelasan gambaran angan. Pembaca menjadi bisa membangkitkan suasana dan kesan dalam puisi ini. Penggunaan aspek-aspek kepuitikan juga menjadikan puisi ini lebih dapat mengena di hati pada saat membacanya. Aspek-aspek kepuitikan itu tidak hanya di padu dengan diksi-diksinya saja, tetapi juga di padu dengan efek estetika dan daya ungkap pada puisi tersebut.

-Setapak di Ujung Pilu-

Karya Lita Tania 

Merangkai sebuah sendu

Menjadi begitu merdu

Menyapa sebuah senja

Yang kini tak lagi jingga

Aku di sana

Di bawah rintik hujan

Diiringi senandung alam

Bersama rindu yang kugenggam

Mendengar deru air

Yang terus menerus berderai

Mengusik telinga yang beranjak tuli

Menanti dirimu yang tak kunjung hadir

Tak akan kuulangi cerita sendu

Bersamamu hanyalah semu

Lalu berakhir candu

Kini aku disini

Bersama lembaran putih

Yang akan kurakit sendiri

Dan kulukis seni yang tak terbeli.

2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun