Betapa tidak, Â ketika persediaan barang (stok) bawang putih menipis maka pemerintah melalui Bulog melakukan operasi pasar dengan harapan gejolak kenaikan harga bawang tersebut dapat diatasi, kebutuhan konsumen terpenuhi.
Akan tetapi dalam realitanya, sangat disayangkan untuk mendapatkan bawang putih ini harus melalui prosedur yang tidak mudah. Disyaratkan bahwa untuk mendapatkan bawang putih via Bulog minimal pembelian 20 (duapuluh) kilogram. Bagi pedagang kecil seperti penulis ketentuan ini jelas memberatkan, sehingga hanya mereka yang bermodal besar saja yang bisa memenuhi apa yang disyararatkan pihak Bulog tersebut.
Sebagai implikasinya, bukan tidak mungkin harga bawang putih nantinya akan banyak ditentukan oleh para pemodal besar. Para pemilik kapital cenderung leluasa untuk ikut campur memainkan harga bawang putih di pasaran.
Jika masih demikian adanya, distribusi dan mekanisme pasar yang tidak merata, tidak menjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja, minimnya perlindungan hak konsumen dan perlakuan adil bagi seluruh rakyat - maka dapat dipertanyakan bahwa gejala liberalisasi terhadap barang kebutuhan pokok kini mulai terasa dan merasuki atau lambat laun akankah mempengaruhi sistem perekonomian kita?Â
Hal ini agaknya kurang bersesuaian dengan konsep ekonomi kerakyatan yang tercetus sejak berlakunya era reformasi tahun 1998. Disebutkan bahwa ekonomi kerakyatan merupakan suatu kegiatan ekonomi yang memberi kesempatan bagi seluruh rakyat untuk bisa berpartisipasi sehingga perekonomian terlaksana dan berkembang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H