Â
Setiap menjelang ramadhan, tepatnya di bulan Sya'ban atau dalam kalender Jawa dinamakan ruwah, di dalam komunitas masyarakat Jawa ditemui salah satu tradisi yang disebut sadran. Bagi para pelakunya dapat juga disebut nyadran yaitu melakukan salah satu kegiatan yang berlangsung sekali dalam setahun sebelum puasa Ramadhan.
Nyadran merupakan sebuah prosesi dan bagian dari tradisi atau budaya yang turun temurun sejak dahulu penulis masih kecil di lingkungan leluhur sudah melakukan hal tersebut.Â
Prosesi nyadran diantaranya melakukan bersih-bersih makam para sesepuh/leluhur, membuat masakan tradisional dan dibagi-bagikan (apem, dan makanan tradisional lain sejenis), disusul acara selamatan, berdo'a, dengan mengambil tempat di seputaran area pemakaman.
Belum lama ini, tepatnya hari Minggu (7/4/2019) yang lalu, penulis sejenak kembali ke kampung halaman di sebuah pedesaan (wilayah Kecamatan Salaman, Kab. Magelang) mengikuti acara tradisi nyadranan tersebut yang berlangsung meriah penuh keakraban dan persaudaraan.
Nyadran sebagai kegiatan budaya dan dilakukan oleh sejumlah komunitas yang tergabung dalam ahli waris siapa saja yang dimakamkan di lokasi pemakan tersebut. Tanpa memandang status sosial seseorang, sehingga tidak ada sekat-sekat yang membedakan satu sama lain.
Berkumpul bersama dalam suasana sederhana, pembukaan, ceramah singkat oleh panitia, berdo'a dan nyekar (tabur bunga di makan leluhur) yang selanjutnya masing-masing yang datang membawa pulang berupa satu paket oleh-oleh berupa makanan ala desa yang dibagikan oleh panitia.
Menariknya tradisi nyadran yang berlangsung setiap tahun ini bukan hanya prosesinya yang sudah berlangsung dari waktu ke waktu secara rutin yang intinya mengenang para leluhur, silsilah dalam keluarga, menghormati, dan memetik perilaku baik yang telah diajarkannya. Seperti halnya dalam pepatah Jawa yang menyebutkan, "Mikul dhuwur mendem jero" yang artinya ajaran-ajaran yang baik kita lanjutkan/junjung tinggi, yang dianggap kurang baik kita tanam-dalam atau kita tinggalkan".
Di kampung asal penulis tersebut, kegiatan nyadran dilakukan dan dikoordinasi oleh panitia (Paguyuban Sadran Belakang Kewedanan atau PSBK). Segala kegiatan yang berlangsung didukung oleh komunitas melalui iuran sukarela/setiap ahli waris. Kini kompleks pemakaman yang dikenal dengan sebutan Makam Simbah K Jahi Salam, Salaman, Kabupaten Magelang nampak bersih, indah dan semakin tertata rapi.
Menurut Sekretaris Panitia Sadran PSBK, Suhardono Dalilan bahwa semua rencana kerja dimulai dari rencana yang telah disusun bersama, dipikul bersama, untuk memenuhi kepentingan bersama, pengelolaan anggaran dilakukan secara terbuka/transparan, siapa saja boleh mengetahui tentang penerimaan dan pengeluaran sehingga kedepannya diharapkan tradisi ini tetap berkelanjutan.
Hingga penutupan acara berupa tradisi nyadran, dilaporkan rincian beberapa kegiatan yang telah dilakukan beserta pendanaannya. Sedangkan untuk tahun berikutnya disebutkan, dari iuran di hari ini (7/4/2019) PSBK telah mencatat dan terkumpul dana sebesar Rp 15.448.500,- yang selanjutnya dipergunakan untuk rehab kompleks makam, perawatan serta memenuhi kelengkapan fasilitas pendukung lainnya.
Demikian sekilas gambaran tentang berlangsungnya salah satu tradisi nyadran dalam lingkungan masyarakat Jawa yang tentunya merupakan budaya dan banyak memiliki nilai-nilai sosial-kemasyarakatan terutama dalam kebersamaan, maksud dan tujuan, bergotong royong saling membantu menuju kebaikan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H