Dibanding sekolah-sekolah lain, baik di lembaga pendidikan negeri maupun swasta ternyata di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Yogyakarta memiliki sedikit beda terutama dalam hal evaluasi pembelajaran seperti kenaikan kelas ataupun penentuan kelulusan para siswa-siswinya.
Perbedaan dengan sekolah-sekolah lain dapat dilihat dari acara penerimaan atau penyerahan rapor kenaikan kelas di sekolah tersebut. Tak seperti sekolah pada umumnya, di SMK ini dalam proses seremoni kenaikan kelas  - tidak diberlakukan sistim ranking 10 besar murid setara yang termasuk kategori berprestasi.
Secara umum semua murid dianggap sama, dan hanyalah lingkungan internal guru yang mengetahui perkembangan setiap peserta didik. Prestasi atau lebih tepatnya evaluasi belajar cukup dituliskan dalam nilai rapor masing-masing yang setiap semester/kenaikan kelas diterimakan melalui orang tua atau wali murid.
Sedangkan untuk mengetahui perkembangan, termasuk permasalahan setiap siswa/murid, dalam hal ini pihak sekolah menyediakan fasilitas konseling atau guru kelas yang selalu siap meladeni bagi siapa saja yang memerlukan.
Nah sebagai salah satu orang tua murid yang mewakili anak sedang belajar menuntut ilmu di sekolah kejuruan ini pastinya penulis merasakan ada sesuatu menarik untuk dicermati, sebagai langkah baru dalam arti ketiadaan ranking (10 besar murid berprestasi) yang didalamnya terkandung maksud berkait proses pendidikan di sekolah tersebut.
Secara prinsip dalam tulisan ini, mengenai ada atau tidaknya penerapan evaluasi berdasarkan ranking murid berprestasi tidaklah perlu dipersoalkan. Masing-masing tentu memiliki kelebihan dan kelemahan yang semuanya telah dipertimbangkan oleh penyelenggara pendidikan sebagai kebijakan otonominya.
Ketiadaan sistim rangking seperti disebutkan diatas menurut penulis pastinya layak untuk dipahami dan diapresiasi. Banyak hal positif yang dapat memberikan kontribusi terhadap proses pembelajaran para murid di sekolah. Antara lain:
Tidak menumbuhkan adanya pembedaan (melalui ranking) antara murid yang dikategorikan "pintar" dan  "bodoh" dalam penilaian/penguasaan materi yang diajarkan. Tiadanya pemisahan atas kategori tersebut lebih memungkinkan hilangnya beban bagi masing-masing penyandang sehingga terjalin suasana belajar dalam kelompok berbarengan.
Kondisi demikian selanjutnya bisa berdampak lebih jauh yaitu akan memupuk tumbuhnya kerja sama antar peserta didik, menggugah rasa toleransi, saling membantu dalam pembelajaran bersama di lingkungan sekolah.
Lain halnya bilamana sistem rangking (10 besar) diberlakukan, hanya akan menumbuhkan para murid untuk bersikap kompetitif dan cenderung lebih individual. Walaupun ini ada yang menganggap baik namun - sisi kelemahannya masih ditemui. Termasuk diantaranya membuka peluang kemungkinan di kalangan murid akan menempuh "berbagai cara" bahkan bisa menyalahi prosedur pendidikan hanya demi tujuan meraih ranking semata.
Tidak diberlakukannya sistim rangking seperti di sekolah kejuruan dimana anak penulis mengenyam pendidikan ini sangat dimungkinkan berlangsungnya proses belajar bersama  antar murid, murid dengan guru dan lingkungan sekolah, memperkuat kekeluargaan serta dapat bekerja sama, tolong menolong atau saling membantu.
Pembiasaan kondisi seperti ini selanjutnya turut mendukung bahwa pembelajaran di negeri tercinta bisa berlangsung dalam sebuah proses yang membumi, mencerdaskan anak bangsa tanpa meninggalkan budaya yang melekat didalamnya.
Oleh sebab itu, ketiadaan sistem ranking bagi peserta didik akan menggugah kebersamaan dalam proses belajar-mengajar, berkolaborasi, saling menyesuaikan kemampuan dan saling berbagi dalam suatu forum ko-operatif (bukan kompetitif) sehingga interaksi yang terbangun demi kemajuan masa depan sejalan dengan karakter bangsa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H