Yang namanya ketergantungan hanya pada satu barang/benda apalagi ketagihan merupakan kebiasaan yang kurang baik dan biasanya hanya mengundang masalah baru dikemudian hari.
Pembiasaan ketergantungan atau ketagihan yang akhirnya menjadi pola dalam kehidupan sehari-hari akan mengganggu manakala barang yang dibutuhkan tidak tersedia atau sulit diperoleh sehingga bisa menimbulkan gejolak sosial.
Ketergantungan hanya pada beras sebagai makanan pokok juga demikian adanya. Beras yang berasal dari tanaman padi dalam berbagai jenisnya semakin nge-trendmenjadi pilihan utama makanan pokok manusia di hampir semua tempat. Bahkan sebagian kalangan cenderung menjadikan gaya hidup dalam artian memilih beras tertentu untuk dikonsumsi, padahal esensi atau fungsinya sama yaitu sebagai karbohidrat untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Ditambah lagi kekurangcermatan dalam pengelolaan dibidang pangan/pertanian akan menambah persoalan baru berkelanjutan. Seperti halnya ketika harga beras naik seperti sekarang, respon bermunculan dimana-mana. Ini sangat wajar, mengingat permintaan tidak sesuai dengan penawaran, barang yang dibutuhkan cenderung berkurang jumlahnya dan terjadilah hukum pasar.
Mengapa harga beras naik?
Gejala kelangkaan atau semakin menipisnya stok beras nasional sesungguhnya sudah terdeteksi sejak penghujung tahun 2017 lalu. Dalam headline Harian Kompas, edisi 4 Desember 2017, halaman 1, berjudul: Waspadai Gejolak Beras, telah memberikan gambaran nyata yang cukup komprehensif.
Disebutkan bahwa kekurangan atau kehabisan gabah terjadi di beberapa penggilingan padi, bahkan beberapa usaha penggilingan tak beroperasi karena pasokan gabah terus berkurang. Kalaupun masih ada usaha penggilingan yang beroperasi, namun biaya yang dikeluarkan kurang sesuai dengan HET khususnya beras medium yang saat itu dipatok Rp 9.450/kg, dengan asumsi harga gabah kering Rp 5.000/kg.
Semakin berkurangnya pasokan gabah ini disusul harganyapun yang juga merangkak naik maka wajar bilamana bermuara pada kanaikan harga beras di pasaran. Respon pemerintah dengan kebijakan penentuan Harga Eceran Tertinggi (HET) -- ini ternyata kurang mampu mengatasi masalah.
Operasi pasar yang dilakukan pemerintah ternyata kurang mampu menstabilkan harga, ini mengingat beras yang didrop ke pasar tidak laku, tidak disuka komsumen pada umumnya. Mungkin karena dianggap beras tersebut berkualitas rendah, dianggap "beras raskin", padahal beras tersebut sesungguhnya tergolong jenis beras yang layak untuk dikonsumsi. Kesalahan persepsi dan gaya hidup ini menyebabkan operasi pasar kurang efektif.
Di beberapa tempat pada minggu-minggu yang lalu, operasi resmi gabungan termasuk di lokasi penulis menjual sembako juga sudah dilakukan -- untuk mengantisipasi kemungkinan adanya spekulan dan mafia beras, namun upaya yang telah dilakukan tersebut juga tidak berpengaruh, harga beras tetap masih tinggi. Hingga saat ini untuk beras premium dijual Rp 9,000 s/d Rp 10.000/kg, sedangkan beras medium Rp 12.500 s/d Rp 14.000/kg.
Tentu saja gejolak harga beras yang cenderung naik atau berfluktuasi tersebut tidak perlu terjadi -- bilamana pengelolaan pangan/pertanian dilakukan secara cermat sejak awal mula. Gagal panen akibat perubahan cuaca, banjir/tanah longsor, merebaknya hama tanaman dan faktor penghambat lain - seharusnya bisa dipetakan melalui perencanaan dinamis dan berkelanjutan.