Mohon tunggu...
Sulistyo
Sulistyo Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Dagang

Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Upaya Pelestarian Sumber Daya Alam dan Kearifan Lokal

18 Oktober 2017   21:26 Diperbarui: 18 Oktober 2017   22:12 8134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan jaman ditandai era globalisasi telah mengubah pola hidup dan gaya hidup manusia di muka bumi ini, tak terkecuali bagi Indonesia. Globalisasi yang juga dibarengi percepatan di bidang teknologi khususnya teknologi informasi menjadikan masyarakat sedunia saling berbagi informasi untuk menunjang segala aktivitas sehari-hari menjadi lebih cepat, efisien.

Globalisasi dengan seperangkat nilai peradaban yang menyertainya sudah barang tentu tidak bisa dihindari. Globalisasi pastinya juga erat dengan era baru yang sering disebut pasar bebas dan yang nota bene liberalisasi termasuk didalamnya.

Sebagai konsekuensi diantaranya industri dan perdagangan akan semakin terpacu. Proyek-proyek padat modal bertumbuh dimana-mana dan sumber daya alam cenderung terkuras yang jika tidak terkendalikan berdampak lebih serius berjangka panjang.

Realitas ini harus dihadapi dan diterima namun kita perlu bersikap kritis sehingga dampak yang kemungkinan timbul dikemudian hari bisa disikapi supaya sebagai suatu bangsa tidak akan kehilangan sumber daya alam dan menurunnya kualitas lingkungan hidup demi masa depan generasi penerus.

Daoed Yoesoef dalam artikelnya berjudul: Kewajiban Hak Asasi Manusia (Kompas, 17/10/2017, halaman 6), menekankan bahwa manusia tidak hanya meneriakkan hak asasi tetapi juga harus disertai kewajiban asasi yang melekat atau tidak bisa dipisahkan.

Artikel yang cukup komprehensif serta mendalam kupasannya, berperspektif filosofis dan edukasional dengan menyontohkan perlakuan kita (manusia) terhadap Bumi, dimana kita sudah lama mengabaikan hak asasinya. Kita juga lupa tentang kewajiban asasi Bumi tersebut. Akibatnya, sistem ekologi semakin parah, tanah longsor, kekeringan di daerah hilir, perbukitan dan tebing semakin gundul, pergerakan tanah. Karena lalai dan tidak peduli, kita kehilangan the capacity to foresee and to foresall.

Pada akhir tulisannya, terpetik pesan moral yang perlu digarisbawahi bahwa sebelum terlambat, ditegaskan perlunya kwajiban asasi human dan menjadikannya landasan untuk melestarikan lima unsur pokok alami, antara lain: H, U, K, U, M sebagai rangkaian akronim H = Hutan, U = Udara, Kali = aliran/persediaan air, U = Unsur  kekayaan alam (naturalendowment), dan M = Membumi, merawat tanah tempat kita berpijak.. 

Munculnya fenomena (perusakan alam) seperti dituliskan diatas tidak terlepas dari sebab-sebab yang melatar belakanginya, salah satu penyebab sangat boleh jadi dikarenakan pengetahuan manusia yang masih minim tentang arti penting sumber daya alam dan lingkungan hidup. Pola pikir praktis dan pragmatis tanpa mempertimbangkan masa depan -- telah menjadikan manusia bertindak asal-asalan (ngawur) dan hanya memenuhi hasratnya secara sepihak.

Penyebab lain yaitu keserakahan manusia yang seharusnya menjaga Bumi, namun sebaliknya demi kepentingan ekonomi atas nama proyek padat modal dan demi target perolehan profit -- selanjutnya penjajahan (eksploitasi) manusia terhadap sumber daya alam semakin ganas, yang berakibat menurunnya kualitas lingkungan hidup.

Sesungguhnya masalah ini sudah diantisipasi dengan berlakunya Undang-Undang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007, yang telah memberi kewenangan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk melakukan peningkatan diri sesuai dengan potensi sumber daya, karakteristik, dan budaya (kearifan lokal) di daerah masing-masing.

Namun pendekatan normatif berdasar ketentuan yuridis formal demikian nampak masih kurang efektif, disana-sini masih berlangsung kasus-kasus "pemerkosaan sumber daya alam" secara berlebihan. Kasus "Lumpur Lapindo" dan kasus illegal logging di Kalimantan dalam hal ini dapat dicontohkan.

Di era global ditandai pasar bebasnya seperti sekarang, seiring tumbuh pesatnya dunia industri dan perdagangan akankah sumber daya alam dan lingkungan hidup masih bisa dilestarikan?

Semua itu adalah  tantangan, menggugah kita sebagai makhluk manusia untuk tidak melulu meneriakkan hak, dan mengabaikan kewajiban. Manusia memang mempunyai hak untuk menikmati sumber daya alam yang telah dikaruniakan, namun bukan berarti hal ini hanya untuk memenuhi kepentingan sempit, untuk kepentingan pribadi/golongan. Lebih dari itu sumber alam seperti bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Disinilah letak kewajiban bahwa alam harus dijaga, dirawat demi keseimbangan, keserasian kehidupan manusia di bumi.

Pendekatan secara normatif yang selama ini berlangsung agaknya belum mampu menyelesaikan masalah, apalagi hanya dibarengi angka-angka dan persentase seolah-olah menunjukkan suatu kelayakan untuk mempermulus pelaksanaan proyek ambisius untuk mengeruk keuntungan sepihak dan berjangka pendek.

Otonomi daerah yang diberikan kepada masing-masing kabupaten/kota sebenarnya terkandung makna sebagai langkah atau upaya pemberdayaan (empowering) masyarakat di daerah. Potensi yang ada di daerah bisa dimanfaatkan atau dilibatkan untuk ikut berpartisipasi dalam rangka mengembangkan daerahnya.

Karenanya, pendekatan dalam pelaksanaan pembangunan yang berbasis kebudayaan setempat merupakan aspek yang tak bisa diabaikan. Upaya melestarikan sumber daya alam dan keserasian lingkungan hidup sesungguhnya sudah tercakup dalam kearifan lokal (local wisdom) di masing-masing daerah. Aspek ini seringkali dilupakan oleh para pengambil kebijakan tanpa disadari bahwa dalam suatu komunitas masyarakat maupun suku-suku yang ada di negeri ini sudah berjalan aturan setempat mengenai pengelolaan hutan, sungai, ladang, dan sumber daya alam lainnya. 

Penyelenggaraan penataan ruang sudah saatnya dilakukan melalui pendekatan multi dimensional, melibatkan semua unsur/potensi setempat, termasuk aspek kebudayaan yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal. Misalnya di masyarakat Jawa, konsep pelestarian sumber daya alam tercakup  dalam kalimat  Memayu Hayuning Buwono (menjaga/mengelola keselarasan alam semesta).

Dimaksudkan pula Memayu Hayuning Buwono merupakan perbuatan etis Jawa yang memiliki kedalaman makna berkaitan dengan pembelaan atau pengabdian demi keselarasan indahnya tata alam kehidupan (Riyanto, 2015:467). Ini tentunya sejalan dengan apa yang disebut: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sekali lagi sangat disayangkan bahwa otonomi daerah (pelimpahan sebagian wewenang dari pemerintah pusat ke daerah, termasuk pengelolaan sumber daya alam)  belum dimaknai atau disalah persepsikan sehingga persoalan penataan ruang serta upaya pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup masih berjalan kurang optimal.

Kasus-kasus perusakan terkait sumber daya alam dan lingkungan hidup akan selalu ditemui bilamana otonomi daerah hanya dipersepsi secara sempit, hanya menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD)  tanpa memikirkan kepentingan lebih luas dan berjangka panjang.

Bacaan:

Kearifan Lokal Pancasila, Butir-butir Filsafat Keindonesiaan. Editor: Armada Riyanto, dkk. Penerbit: PT Kanisius Yogyakarta, 2015.

Kewajiban Hak Asasi Manusia,Artikel oleh: Daoed Yoesoef, Harian Kompas, edisi 17 Oktober 2017, halaman 6).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun