Mohon tunggu...
Sulistyo
Sulistyo Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Dagang

Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kualitas Karya Ilmiah Masih Mengundang Tanya

10 Oktober 2017   21:48 Diperbarui: 10 Oktober 2017   22:38 1229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Puncak dari suatu pembelajaran terutama bagi mahasiswa/i di perguruan tinggi sering di-istilahkan dengan menyusun karya ilmiah berupa Tugas Akhir, Skripsi (Strata-1), Tesis (Strata-2), dan Disertasi (Strata-3/Doktoral) yang harus ditempuh dan diujikan di depan para dosen/guru besar guna meraih sertifikat di bidang ilmu yang ditekuni.

Karya ilmiah yang biasanya dimulai dari usulan proposal penelitian/riset merupakan gagasan yang dituangkan melalui unsur-unsur penelitian dan kegiatannya berlangsung secara sistematis berkelanjutan. Usulan proposal riset/penelitian ini berfungsi sebagai acuan atau pedoman dalam melaksanakan riset/penelitian sesuai topik (masalah) yang dipilih.

Tentu saja unsur dari kegiatan penelitian berbeda antara disiplin ilmu yang satu dengan lainhya, pendekatannya juga beda sehingga bilamana proposal riset sudah disetujui oleh pembimbing sesuai metodenya - disusul kemudian dilakukan pengumpulan/pengolahan data sebagai bahan analisis.

Sekilas gambaran diatas selanjutnya dapat dikatakan bahwa proses melakukan aktivitas karya ilmiah ini banyak menyita waktu, tenaga, maupun pemikiran.  Itupun bilamana ditemui kesalahan atau kekurangan data harus kembali (ke lokasi peneilitian) untuk melengkapi. Hal demikian sebagai konsekuensi dengan maksud agar karya ilmiah yang akan diujikan bisa dipertanggung jawabkan dan memiliki bobot kebenaran ilmiah.

Sangatlah naif tentunya apabila belakangan muncul berita di media bahwa ditemui merebaknya penyusunan karya ilmiah yang dilakukan orang lain kemudian diatas namakan mahasiswa/i yang bersangkutan. Sama halnya ini sebagai proses jual-beli karya ilmiah yang pastinya merupakan salah satu bentuk pelanggaran etika dalam lingkup perguruan tinggi.

Berita di halaman muka Harian Kompas edisi 7/10/2017 dituliskan lead: Seiring maraknya kasus penjiplakan karya ilmiah di perguruan tinggi, praktik joki skripsi, tesis dan disertasi juga terus berkembang. Dalam era digital, penyedia jasa pembuatan karya tulis untuk meraih gelar sarjana, master dan doktor semakin berani berpromosi.

Sungguh peristiwa ini merupakan  pukulan bagi kalangan perguruan tinggi, walaupun tidak semuanya melakukan hal yang sama -- namun beberapa kasus yang sempat terungkap tersebut ikut mencoreng moreng dunia keilmuan dan kita semakin meragukan kualitas gelar yang disandang para lulusan yang melakukannya.

Ada beberapa kemungkinan mengapa kasus-kasus pembuatan karya tulis ilmiah untuk ditukar dengan sejumlah uang atau sebut saja "jual beli" skripsi, tesis, disertasi ini masih berlangsung.

Pertama, secara umum sangat dimungkinkan proses pembelajaran di perguruan tinggi belum berjalan secara optimal, terutama penguasaan mahasiswa terhadap materi metode penelitian belum atau tidak dipahami. Gagalnya pemahaman ini menjadikan penyusunan karya ilmiah terhambat karena banyak kesalahan yang harus dibenahi bahkan bisa juga diulang hingga memenuhi syarat/tuntutan metodemya.      

Terjadinya kesalahan dalam menyusun karya ilmiah yang seharusnya menjadi tantangan, justru dianggap "momok" sehingga mengambil jalan pintas untuk "memakai orang lain yang dibayar" untuk merampungkan karya ilmiahnya.

Kedua, cara pandang seseorang dalam memasuki perguruan tinggi tidak selalu sama. Disatu sisi ada yang memang bertujuan untuk menuntut ilmu sesuai bidang yang dipilihnya. Pada kelompok ini, proses penyusunan karya ilmiah, serumit apapun prosesnya akan tetap dijalani karena memang berniatan untuk fokus mendalami ilmu yang ditekuni.

Namun ada pula yang memandang bahwa masuk perguruan tinggi bertujuan untuk mencari gelar/sertifikat, mungkin juga ini berkait mengejar status sosial. Nah, kelompok yang inilah biasanya tidak mau repot-repot pada urusan yang rumit seperti menyusun karya ilmiah yang memang prosesnya relatif lama (cermat, teliti, tekun, penuh tantangan, dan berani memperbaiki kesalahan, siap diuji serta penuh tanggung jawab).

Kelompok ini (pemburu gelar dan status sosial) cenderung bersikap praktis dan pragmatis, segala sesuatu maunya harus seketika jadi. Dan ini yang mendorong tumbuhnya 'biro jasa karya ilmiah" atau terjadinya kasus jual beli karya ilmiah diberberapa tempat. 

Sangat memprihatinkan bilamana kelompok pemburu gelar dan status sosial tersebut masih  merebak dimana-mana. Citra perguruan tinggi menjadi menurun ibarat "setitik nila -- merusak susu sebelanga", kualitas karya ilmiahnya masih mengundang tanya sehingga kelulusannyapun pantas diragukan.

Dunia perguruan tinggi yang diharapkan mampu bekontribusi dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia akan berangsur-angsur suram. Pendidikan tinggi hanya menjadikan menara gading yang ikut meluluskan mereka yang tidak berprestasi.

Jangan-jangan nantinya semakin menggejala bahwa seseorang masuk/ikutan kuliah di perguruan tinggi -- tidak lebih dari sekedar pilihan gaya hidup (life style) di era kekinian? Persoalan ini perlu segera dicari solusinya terutama oleh pihak-pihak yang berkompeten. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun