Terlebih dahulu perlu diketahui tulisan ini bukanlah bermaksud menggurui, apalagi bermaksud menonjolkan pihak tertentu (Jawa). Jauh dari itu, sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dalam budaya Jawa dikenal banyak nasehat yang berasal dari sesepuh/leluhur, sudah menjadi tradisi turun temurun dan seringkali menjadi tuntunan dalam berperilaku bagi masyarakatnya.
Seperti halnya berbagai  daerah di tanah air tercinta ini, di Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, Ambon, dan Papua (Sabang sampai Merauke) juga pastinya dikenal berbagai karya seni, budaya dan sastra yang jika dimaknai tentunya mengandung tuntunan yang arif dan bijak bilamana diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Itulah Indonesia ! Bhinneka Tunggal Ika ! Dimana nilai-nilai kebudayaan daerah sudah terangkum dalam Pancasila.
Perlu juga dipahami bahwa bertemunya satu budaya dengan budaya lain (antar daerah) di  negeri ini sungguh merupakan potensi sekaligus kekayaan tersendiri. Budaya atau kebudayaan dalam konteks kata kerja -- lebih menjadikan aset nasional -- yang menunjukkan karakter bangsa. Hidup dalam kemajemukan, saling menghargai, bertoleransi, sehingga nilai-nilai budaya yang dijalani bisa saling berbagi, melengkapi, yang pada gilirannya terjadi kebersamaan langkah, maksud dan tujuan untuk mengisi kemerdekaan.
Dalam kaitan tulisan ini, demikian halnya masyarakat Jawa dalam menjalani kehidupan di segala bidang masih banyak melakukan tuntunan seperti dinasehatkan dalam budayanya. Â Adapun beberapa nasehat (Jawa: pitutur) yang perlu penulis bagikan disini antara lain:
- "Ngono ya ngono, ning aja ngono"
Terjemahan bebasnya: melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak orang lain, namun sebisanya jangan menyakiti perasaan orang lain tersebut.
Salah satu contoh penerapannya: di era demokrasi ini setiap orang berhak menyatakan pendapat, termasuk melakukan kritik bilamana ditemui keputusan/kebijakan atau pernyataan tertentu yang tidak sesuai dengan pemikirannya. Namun demikian cara melakukan kritik dan penyampaiannya perlu memperhatikan etika/kesantunan.
- "Sekti tanpa aji, menang tanpa ngasorake"
Terjemahan bebasnya: dalam mengalahkan musuh atau lawan, Â jangan sampai membuat lawan merasa direndahkan, baik direndahkan martabat atau harga dirinya.
Salah satu contoh penerapannya: ketika kita memenangkan dalam suatu pertandingan/lomba atau persaingan apapun maka kita perlu tetap rendah hati dan selalu menghargai lawan tanpa terkesan meremehkannya.
- "Aja golek menange dewe, dalan gawat becik disimpang"
Terjemahan bebasnya: jangan selalu mencari menang sendiri, agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, jangan pula melibatkan diri didalam perdebatan dengan orang yang maunya menangan sendiri.
Salah satu contoh penerapannya: dalam pergaulan di segala bidang janganlah egois, merasa paling hebat, paling benar (baca: orang lain dianggap tidak ada artinya). Dalam rapat organisasi atau kehidupan bersama misalnya, seyogyanya kita tidak perlu menyalahkan, tetapi cukup saling memahami sehingga terbangun kepentingan yang sama. Sebaiknya kita menghindari atau menjauhkan diri dari perdebatan orang yang berkarakter selalu merasa paling benar.
- "Kudu angon wektu, tumindak kudu manut kala mangsa"
- Terjemahan bebasnya: seharusnya kita selalu memperhatikan waktu (suasana dan tempat) dalam segala hal, setiap perilaku maupun tindakan harus dan selalu mempertimbangkan situasi maupun kondisi.
Salah satu contoh penerapannya: apabila kita melakukan berbagai aktivitas dan tindakan apapun tidaklah asal-asalan atau semau gue, segalanya harus disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Dalam bertindak atau berperilaku harus selalu mempertimbangkan timing yang tepat.
- "Wong golek kemakmuran iku ora klebu kadonyan. Sing sapa ngegungake bandhane, wirang lamun sirna bandhane"
Terjemahan bebasnya: orang yang mencari kesejahteraan itu bukan hanya menyangkut materi atau  keduniawian. Siapa saja yang membanggakan kekayaan atau materi, akan malu apabila di waktu kemudian kekayaannya itu hilang.
Salah satu contoh penerapannya: didalam kita bekerja memang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan. Namun kesejahteraan tidak hanya diukur dengan materi atau keduniawian belaka. Konsep Jawa menerapkan keseimbangan bahwa sejahtera itu menyangkut lahir dan batin. Orang yang berlimpah kekayaan berupa materi -- belum tentu sejahtera batinnya. Karena materi itu sifatnya hanya sementara dan suatu saat akan sirna. Itu sebabnya, kita tidak perlu selalu mengagungkan materi dalam kehidupan ini.
Dekian sekelumit nasehat-nasehat yang tercakup dalam budaya Jawa yang bisa penulis bagikan, masih banyak lagi nasehat lain yang bisa dipahami sebagai tuntunan dalam bersikap dan berperilaku.
Disini penulis berharap dari rekan-rekan kompasianer yang tersebar luas, terutama yang berada di lain daerah untuk menuliskan hal serupa, utamanya menyangkut budaya masing-masing sehingga kita bisa saling berbagi, saling melengkapi sekaligus ikut menggambarkan dan melestarikan khazanah budaya Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H