Mohon tunggu...
Listiyo Fitri
Listiyo Fitri Mohon Tunggu... karyawan swasta -

ingin sesederhana bung hatta, tapi kuat seperti bung karno\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

(The Behind Story of) Kartini

21 Oktober 2013   19:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:12 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Syarat pernikahan

Lamaran ternyata datang dari Bupati Rembang, duda dimana istrinya telah meninggal, dan telah mempunyai tiga garwo ampil (selir). Ayahnya khawatir apa yang akan dipikirkan Kartini dengan kondisi ini, karena beliau tahu persis pemikiran-pemikiran Kartini tentang pernikahan. Kartini meminta waktu 3 hari untuk memikirkannya. Tidak seperti perempuan pada jamannya yang baru bertemu dengan calon suaminya pada waktu menikah, Kartini ingin berkomunikasi dengan pelamarnya dan mencari tau tentang calonnya. Dia adalah Adipati Djojoadiningrat, pejabat yang cakap dalam menjalankan tugasnya sebagai Bupati Rembang, setelah lulus HBS melanjutkan pendidikan di Sekolah Pertanian Wageningen, Netherland. Catatan pendidikan sangat penting bagi Kartini. Kartini mengajukan sejumlah syarat, dia bersedia diperistri hanya jika Bupati Rembang menyetujui gagasan dan cita-citanya, diperbolehkan membuka sekolah dan mengajar, dan membawa ahli ukir dari Jepara agar tetap bisa mengembangkan kerajinan itu secara komersial di Rembang. Dalam prosesi pernikahan, Kartini meminta pada saat upacara tidak ada prosesi jalan jongkok, berlutut, dan menyembah kaki mempelai pria, dan dia akan menggunakan bahasa jawa ngoko, bukan krama inggil ke suaminya sebagai penegasan bahwa seorang istri haruslah sederajat.

Tak diduga, semua syarat itu ternyata disetujui oleh sang bupati. Selain karena memang pandangan modernnya, ternyata Kartini adalah "wasiat jatinya", seperti yang dikutip dalam Liputan Khusus Tempo edisi Kartini. Djojoadiningrat menganggap menikah dengan Kartini adalah wasiat dari mendiang istrinya yang hatus dipenuhi. Mendiang istrinya, Sukarmilah sangat mengagumi Kartini dan pemikiran-pemikirannya. Sebelum meninggal, sang istri berpesan kepadanya agar menikah dengan Kartini demi anak-anak mereka.
Dari semuanya yang paling memberatkan Kartini adalah bahwa sang ayah sangat ingin melihat dia menikah. Ada banyak tekanan pada ayahnya, intrik, kasak kusuk, dan fitnah pada dirinya untuk ayahnya dari bangsawan-bangsawan lain. Ditambah dengan kondisi kesehatan ayahnya yang semakin memburuk setelah terkena serangan jantung.

Dengan berat hati, Kartini menerima lamaran dari Bupati. Kartini sadar pilihannya memupus harapan-harapan lamanya. Seperti yang diungkapkan Kartini pada suratnya "...ah, tapi siapa di bumi ini dapat membanggakan bahwa ia dapat menentukan sendiri seluruh hidupnya? Orang menemui orang lain, terjadi pergulatan, dan jalan hidupnya dibelokkan ke jurusan lain... Apa salahnya menempuh jalan itu?"

Semoga tulisan ini tidak malah ikut menurunkan arti seorang Kartini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun